M.G. Wibisono
Penulis Lepas, Tinggal di Yogyakarta
Sifat Petualang
Umbu Wulang Landu Paranggi nama lengkapnya. Bangsawan
kelahiran Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur 10 Agustus
1943. Suatu daerah pasti mempunyai nuansa dan citra tersendiri untuk membentuk
suatu kelompok atau organisasi, seperti simbol-simbol dan predikat tertentu.
Seperti daerah Sumba dengan simbol kuda dan kayu cendana. Umbu adalah sebutan
nama depan untuk anak lelaki dan Rambu nama depan untuk wanita, khusus yang
berdarah ningrat. Seperti anak remaja lain yang berasal dari kampung halamannya,
setelah menamatkan pelajarannya di SMA melanjutkan pelajarannya ke perguruan
tinggi di Pulau Jawa kebanyakan masuk ke Universitas Kristen Satya Wacana di
Salatiga. Tetapi petualangan Umbu Landu Paranggi dimulai sejak SMP, begitu
lulus langsung ke pulau Jawa dengan harapan bisa masuk Taman Siswa. Karena
terkesan dengan model pengajaran Ki Hajar Dewantara yang diterapkan di Taman
Siswa. Tetapi perjalanan kapal laut mengalami keterlambatan, sehingga sampai di
Jogja pendaftaran di Taman Siswa sudah ditutup. Pilihannya mendaftar di SMA
BOPKRI I, setelah lulus melanjutkan ke Fakultas Sosial Politik di Universitas
Gadjah Mada Jurusan Sosiatri dan di Universitas Janabadra Jurusan Hukum. Tetapi
kuliahnya di 2 universitas itu gagal, tidak dilanjutkan. Gagal juga memenuhi
harapan orang tuanya untuk menggantikan kedudukan di kampung halamannya.
Seperti pengakuannya ”tidak peduli segala gelar, hidup adalah puisi.”
Ungkapannya dalam puisi:
Sajak Kecil
I
dengan mencintai
puisi-puisi ini
sukma dari sukmaku
terbukalah medan laga
sekaligus kubu
hidup takkan pernah aman
kapan dan di manapun
selamanya terancam bahaya
dan kebenaran sunyi itu
penawar duka bersahaja
selalu risau mengembara
mustahil seperti misteri
bayang-bayang rahasia
bayang-bayang bersilangan
bayang lintas bayang
pelintasanku
dengan mencintai
puisi-puisi ini
sukma dari sukmaku
terbukalah medan laga
sekaligus kubu
hidup takkan pernah aman
kapan dan di manapun
selamanya terancam bahaya
dan kebenaran sunyi itu
penawar duka bersahaja
selalu risau mengembara
mustahil seperti misteri
bayang-bayang rahasia
bayang-bayang bersilangan
bayang lintas bayang
pelintasanku
II
dengan mempercayai
kata kata kata
yang kutulis ini
jiwa dari jiwaku
jadilah raja diraja
sekaligus budak belian
sebuah kerajaan
purbani
lebih dari napasku
bernama senantiasa
nasibmu
umbu landu paranggi
dengan mempercayai
kata kata kata
yang kutulis ini
jiwa dari jiwaku
jadilah raja diraja
sekaligus budak belian
sebuah kerajaan
purbani
lebih dari napasku
bernama senantiasa
nasibmu
umbu landu paranggi
Kalau kita cermati puisi di atas ”terbukalah medan laga /
sekaligus kubu” Umbu Landu Paranggi membuka front pertempuran bagi dirinya
sendiri sekaligus kubu pertahanan, sehingga terjadi tarik-menarik yang dahsyat
antara sikap pragmatis dan idealis. Akhirnya memilih lorong-lorong kesunyian
dan keasingan sebagai seorang penyair. Menurut John Keats, ”puisi adalah
satu-satunya yang mampu merangkul keasingan. Penyair dikaruniai ketabahan
ekstra untuk bersemayam dalam jagat keremang-remangan tanpa sedetikpun tergoda
berpaling pada kemutlakan. Di tengah hiruk-pikuk dunia, penyait berkontemplasi
antara keakraban dan keasingan”. (Donny Gahral Adian. Tanah Tak Berjejak Para
Penyair, Kompas, 2 Mei 2003. hal. 42). ”Selalu risau mengembara” bagi seorang
petualang kreatif tidak betah berlama-lama dalam keadaan monoton. Selalu
bergerak dan mengembangkan imajinasinya. Untuk selalu berkarya, di Bali
sekarang pun juga sama seperti yang dilakukan seperti di Yogyakarta dahulu.
Memasuki Jagad Sastra
Ketika tahun 1965, para penyair terpecah dalam beberapa
kubu. Lektra milik PKI, LKN milik PNI, Lesbumi milik NU dan lain-lain. Sesudah
tahun 1965, di Yogyakarta berdiri kelompok penyair independent membentuk
kelompok study klub sastra ”Mantika” 1966-1968, dengan dukungan Abdul Hadi WM,
Umbu Landu Paranggi, Darmanto YT dkk, ketika ”Mantika”mati 1968, maka segera
Umbu Landu Paranggi mengambil alih ”Persada” yang sebelumnya 1966-1968 dipegang
penyair Masry AG, dijadikan PSK (Persada Study Klub).
Ketika itu ada mingguan ”Pelopor” yang terbit 22 Januari
1950 sebagai embrio mingguan ”Pelopor Yogya” yang bermarkas di Jalan Malioboro
175, inilah Umbu Landu Paranggi pada Rabu Paing jam 15.00 – 18.00 WIB pada
tanggal 5 Maret 1969 mendirikan suatu study klub sastra terutama dalam bidang
puisi yang dinamakan Persada Studi Klub (PSK). Tujuh proklamator di antaranya :
Umbu Landu Paranggi, Iman Budhi Santosa, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarno
Pragolopati, Suparno S Adhy, Ipan Sugiyanto Sugito, Mugiyono Gitowarsono.
Menurut catatan Ragil Suwarno Pragolopati, anggota PSK lebih
kurang 1.555 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebab yang dianggap
anggota PSK bukan yang hanya tinggal di Yogyakarta saja, tetapi yang mengirim
puisi ke media ”Pelopor Yogya” juga dianggap anggota PSK. Dirinya memberi
bimbingan bagi pengarang muda, terutama dalam bidang puisi. Dalam membimbing
anak buahnya penuh dengan ketelitian dan kesabaran, selain itu Umbu Landu
Paranggi siang-malam ada di Malioboro dan mengetahui dengan persis sudut-sudut
Malioboro sehingga oleh anak-anak asuhnya dijuluki ”Presiden Malioboro” semacam
”counter” bagi lembaga formal. Di media ”Pelopor Yogya” bisa ditemui berbagai
macam jenis tulisan ada : berita, artikel, cerpen, esei, dan puisi. Tetapi
kenapa puisi yang mendapat apresiasi lebih dominan, karena menulis novel,
roman, novelet, membutuhkan modal dan perabot banyak. Relatif mudah adalah
menulis cerpen. Tetapi yang paling gampang adalah menulis sajak. Remy Silado
dengan puisi ”Mbeling” nya memiliki kredo : ”Puisi itu tidak sakral. Menulis
puisi itu mudah. Kedudukan puisi di bawah alas kaki”. Intinya : menulis puisi
itu mudah. Jagad remaja adalah dunia kaum muda, alam dominasi para pemula.
Untuk puisi dapat ditulis dengan bekal praktis dan minim, puisi tidak
membutuhkan klimaks, antiklimaks, dialog, narasi, trik, plot, dramatika,
konflik dll karena unsur demikian tidak menentukan nilai. Bekalnya cukup : ide,
bahasa puitis, metafora, imajinasi, dan kreatifitas. Puisi adalah jenis karya
fiksi paling praktis, bisa dibawa dan dibaca di mana saja, bahkan dalam
demonstrasi pun bisa dibacakan puisi tidak mungkin dibacakan cerpen atau novel.
Puisi pun bisa menjadi semacam loncatan proses kreatif, Mao Tse Tung dari RRC
dan Ho Chin Mien dari Vietnam adalah tokoh semasa remaja juga menulis puiti.
Beberapa wartawan seperti : Suparno S Adhy, Arie Giyarto, Mulyadi Adhisupo,
Teguh RSA, RS Rudhatan, Mustofa W Hasyim, Arswendo Atmowiloto, Agus Dermawan T,
dulu juga berproses melalui puisi, sebelum menemukan diri sendiri dan
profesinya kini. Puisi menjadi loncatan dalam proses kreatif. Orang didorong
jadi sensitif, kreatif, imajinatif. Banyak orang top naik profesi lewat puisi.
Bidang garapan PSK apresiasi dan kreasi yang ditumbuhkan
menjadi tradisi kepenulisan, apresiasi, kontak langsung antar pribadi untuk
memperluas wawasan. Kreasi, cara bersaing setiap pribadi untuk kemajuan daya
ilmu sastra, seni sastra, dokumentasi sastra, teori sastra, dan praktek sastra
sesama teman. Media yang dipakai: tatap muka bersama tiap Rabu petang, temu
diri antar pribadi setiap hari, rubrik khusus ”Persada” dan ”Sabana” pada
halaman spesial mingguan ”Pelopor Yogya”, diskusi bulanan, surat-menyurat antar
kolega.
Polemik lisan maupun tertulis terutama mengambil media
pergaulan secara langsung. Di luar kelompoknya PSK menyusup ke kampung, kampus,
asrama, bahkan sampai luar wilayah Yogyakarta, digunakan sebagai media yang
merakyat. Segala media formal dan non formal digunakan untuk komunikasi sastra
: radio, surat kabar, majalah, arisan, ceramah, warung kopi, menggelandang
sepanjang jalan, koresponden, dll.
Umbu Landu Paranggi sendiri selalu memberi spirit kepada
pengarang muda dengan semacam suntikan kreatif di antara pengarang muda saling
terjadi kompetisi yang menggairahkan untuk berkarya. Sehingga waktu itu
Malioboro menjadi ”surga seniman.” Dalam membimbing anak buahnya selalu memberi
tekanan betapa pentingnya untuk selalu mencari medan kreatif baru. ”Peristiwa
penciptaan seni adalah satu dimensi yang otonom di mana seniman memiliki
kebebasan yang mutlak. Ia bebas mencari, mereka-reka, dan bebas menciptakan apa
saja.” (Emha Ainun Najib, Proporsi Moral Dalam Dunia Seni dan Seniman Basis,
Maret 1978 XXVII. 6 hal 186).
Dalam mingguan ”Pelopor Yogya” Umbu Landu Paranggi membuat 3
klasifikasi untuk pemuatan puisi :
- Pawai : puisi yang sepenuhnya belum
sanggup berbicara sebagai karya puisi, tapi tulisan ini sudah jalan.
- Kompetisi : puisi yang sudah jalan,
tapi belum hadir sebagai puisi yang matang, imajinasi belum menemukan kata yang
tepat, intuisi belum penuh, dan belum otentik.
- Sabana : puisi yang sudah matang, sudah
dapat bicara sebagai karya puisi.
Di Sabana juga dimunculkan puisi milik penyair senior seperti : Rendra, Sapardi
Djoko Damono, Gunawan Muhammad dll. Sehingga puisi milik penyair PSK yang
disandingkan dengan puisi penyair senior di atas bisa membuat perbandingan dan
penilaian dengan puisinya sendiri. Selain itu puisi-puisi yang muncul dirubrik
Sabana sudah bisa disejajarkan dengan puisi-puisi yang muncul di majalah Basis
dan Horison yang dijadikan standar kepenyairan nasional waktu itu.
Selain di PSK sendiri ada banyak sangkar-sangkar apresiasi
untuk mengolah situasi dan kondisi bagi apresiasi dan kreasi sastra, terutama
menetaskan benih-bakat puitika. Sangkar itu tidak selamanya prima, di sana-sini
terkadang awut-awutan, lemah, kering, sepi, dan compang-camping dan penuh
keterbatasan, tapi sang bakat unggul pun boleh lahir biar seperti apapun
kualitasnya. Beberapa kampus yang memiliki jurusan bahasa tentu ada sangkar
sastra seperti : FIB UGM, Fakultas Sastra UNY, Fakultas Sastra UAD, Fakultas
Sastra USD, Fakultas Sastra Sarwi, dan Fakultas Sastra UTY. Sangkar lainnya
adalah lembar sastra-budaya media umum dan pers kampus. Tetapi sangkar yang
lebih merangsang, subur, dan hangat adalah atmosfir yang tercipta berkat sikap
puitika dosen sastra di kampusnya masing-masing.
Beberapa sangkar sastra di Yogyakarta yang pernah disinggahi
Umbu Landu Paranggi di antaranya:
- PKPI (Persatuan Karyawan pengarang Indonesia)
Cabang Yogyakarta pernah menjadi sekretaris.
- Mingguan Sendi milik Ashadi Siregar : menjadi
redaktur.
- Pelopor Yogya milik Jussac Mr : menjadi
redaktur sastra-budaya.
- Bali Post milik ABG Satria Naradha : menjadi
redaktur sastra-budaya.
Antologi yang memuat puisinya :
- Manifest terdiri 9 penyair penerbit PKPI pada
1968 dengan pengantar Dick Hartoko.
- Tonggak jilid 3 dengan editor Linus Suryadi
AG.
Raja dan “Budak” Puisi
Pada era 1970-an, Umbu Landu Paranggi dan anak buahnya
menciptakan kredo “puisi adalah segala-galanya” setiap detak napas dan denyut
nadi adalah puisi. Tetapi kredo itu dibantah habis-habisan, bahkan berhasil
dimentahkan oleh Ragil Suwarno Pragolopati, yang juga salah seorang pendiri
PSK. “Puisi bukanlah segala-galanya tetapi hanyalah sesuatu.” Sehingga penyair
tidak diperbudak oleh puisi, tetapi antara penyair dan puisi saling mengisi dan
melengkapi. Kehidupan tanpa seni terasa hambar dan kering, karena puisi tanpa
kehadiran manusia tiada muncul karya yang indah. Penyair senior Iman Budhi
Santosa dalam makalahnya yang berjudul “Musuh Penyair adalah Sajak” yang
disampaikan dalam acara pengadilan penyair yang diadakan di Sanggar Perwathin.
Penyair harus menjinakkan kata-kata yang masih liar, penyair harus menjadi raja
dan merajai setiap kata yang dipilih dan akhirnya puisi menjadi sublim, larut
dalam
jiwanya bahkan dalam kehidupan sehair-hari. Sang pendobrak angkatan 45 Chairil Anwar untuk memilih satu kata perlu berhari-hari, bahkan kalau perlu : menimbang, memilih, membuang, baru menyatukan. Sehingga setiap kata yang dipilih benar-benar mempunyai bobot dan makna yang mendalam. Yang mampu melewati ruang-waktu dan menerobos jamannya, hingga sampai sekarang tetap bergema.
jiwanya bahkan dalam kehidupan sehair-hari. Sang pendobrak angkatan 45 Chairil Anwar untuk memilih satu kata perlu berhari-hari, bahkan kalau perlu : menimbang, memilih, membuang, baru menyatukan. Sehingga setiap kata yang dipilih benar-benar mempunyai bobot dan makna yang mendalam. Yang mampu melewati ruang-waktu dan menerobos jamannya, hingga sampai sekarang tetap bergema.
Puisi setiap dasawarsa pasti ada ciri khas, dalam dasawarsa
1950-1960 lahirlah sajak-sajak balada puisi berintikan cerita khas generasi
Rendra, Dasawarsa 1960-1970 melahirkan sajak-sajak gelap dan abstrak ciri khas
generasi Sapardi Djoko Damono dan Abdul Hadi WM. Sajak gelap itu meluas di
kalangan penyair muda : Iman Budhi Santosa, Teguh RSA, Emha Ainun Najib, Jihad
Hisyam, Suripto Harsah, Slamet Kuntohaditomo, dkk. Dasawarsa 1970 – 1980
melahirkan beragam jenis puisi. Ada puisi lirik gaya Linus Suryadi AG, Korrie
Layun Rampan, Suminto A Sayuti, dkk. Ada puisi mbeling gaya Yudhistira ANM
Massardi, Bambang Darto, Syaif Bakham, Ipiq Tanoyo, dan Ayu Sutarto dkk. Ada
jenis puisi wayang dan kejawen model Suminto A Sayuti, dan Linus Suryadi AG.
Ada puisi religius dan protes sosial gaya Emha Ainun Najib, Darmanto YT,
Ahmadun YH, Linus Suryadi AG dkk. Variasi cukup banyak dan kaya tema.
Misteri Umbu Landu Paranggi
Sampai saat ini misteri Umbu Landu Paranggi belum
terpecahkan, berikut misteriusnya sampai membawa ”korban” bagi pelacak yang
ingin mengetahui tentang dirinya. Salah seorang yang menjadi “korban” adalah
Warih Wisatsana seorang wartawan Bali Post yang mengundurkan diri dari tugasnya
untuk menggeluti dunia perpuisian. Umbu Landu Paranggi dalam baris puisinya
”kapan di mana pun / selamanya terancam bahaya” bahkan tempat untuk sekedar
merebahkan badannya pun tidak diketahui tempatnya, selalu berpindah-pindah.
Tantangan di Yogyakarta sudah habis dan meninggalkan komunitasnya pulang
ke kampung halamannya. Selama 3 tahun “at home” beranak dan beristri, kalau
musim penghujan beternak dan bertani, kalau musim kemarau berkelana. Ada
ungkapan Linus Suryadi AG yang pas untuk dijadikan renungan “Penyair bersaksi
dan berdiri di pinggir”.
Magnet Umbu Landu Paranggi
Lewat “Pos Konsultasi” dirinya memberi saran, kritik, dan
motivasi yang lain. ”Dirinya begitu care dengan anak buahnya Umbu memperhatikan
setiap puisi, pertumbuhan kreatifnya, dan santunan yang tidak general,
melainkan menekuni watak kecenderungannya, bahkan latar belakang hidup tiap
penulisnya. Kalau dia keliru memutuskan pemuatan sebuah puisi, sehingga
dianggap merugikan perkembangan penyairnya, Umbu tak segan-segan mendatangi
rumah penulis untuk meralat dan menormalkan kembali prosesnya.” (Emha Ainun
Najib, (1991) Slilit Sang Kiai, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, hal. 210).
Bahkan anak buahnya diajak terjun langsung tentang bagaimana
proses terjadinya sebuah media, dari bentuk tulisan ke editor naskah, korektor,
percetakan, sampai koran siap beredar, anak buahnya diajak sampai ke ruang
percetakan dan kalau sampai pagi hari tidur beralas koran di samping mesin
percetakan yang gemuruh. Sekarang anak buahnya tersebar di mana-mana : Dalam
bidang pers : editor dan wartawan, bidang sastra: penyair, novelis, eseis.
”Nama-nama seperti : Linus Suryadi AG, Emha Ainun Najib, Agus Dermawan T, Joko
S Passandaran, Yudhistira ANM Massardi. Adalah hasil godokan kompetisi PSK.
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, nama-nama tersebut mendapat tempat
tersendiri atas sumbangan mereka pada sastra Indonesia” (Korrie Layun Rampan,
Suara Pancaran Sastra, Penerbit Yayasan Arus, 1984, Jakarta). Begitu kuatnya
magnet Umbu Landu Paranggi, sampai gemanya ke luar negeri ada rombongan penulis
Malaysia yang belajar di PSK. Bahkan ada yang beberapa waktu menjadi cantrik di
PSK Siti Zainon Ismail yang juga belajar di ASRI. Sampai sekarang PSK dan Umbu
Landu Paranggi masih dimitoskan oleh anak buahnya, karena dirinya mampu
mempertahankan tradisi penulisan kreatif di antara penulis di Yogyakarta. Sejak
dirinya meninggalkan Yogyakarta pada bulan Juli 1975, sampai sekarang anak
buahnya masih merindukan dirinya. Emha Ainun Najib menuliskan kerinduannya di
”Kedaulatan Rakyat, RS Rudhatan menuliskan tentang dirinya di harian Bernas,
dan masih banyak lagi anak buah lainnya menuliskan tentang dirinya. Umbu Landu
Paranggi tinggal di Yogyakarta selama 15 tahun dari 1960 – 1975, dan sekarang
tinggal di Bali sebagai redaktur sastra-budaya di Bali Post.
Romantisme Malioboro
Masa-masa proses kreatif dan pencarian identitas dialami
semua orang. Begitu juga yang terjadi di komunitas Malioboro ini, remaja-remaja
yang sedang berproses begitu keras dan dingin. Bahkan mengidentifikasikan
dengan tokoh idolanya, semacam Chairil Anwar, hidup bohemian, berambut
gondrong, dan segala identitas yang melekat pada citra diri seorang seniman.
Ada ciri khusus waktu itu yang berambut gondrong yaitu: penyair PSK, mahasiswa
ASRI, dan seniman Bengkel Teater. Kadang-kadang sepanjang lorong Malioboro
diadakan poetry singing yaitu menyanyikan puisi bersama-sama, ada Ebiet G Ade,
Deded R Murad, dan Umbu Landu Paranggi sendiri. Di Bali puisi Umbu Landu
Paranggi dikasetkan seperti yang dilakukan Tan Lio Ie semacam ”Tujuh Lagu Patah
Kata.”
Dalam setiap debut sering penyair berkompetisi dengan
beberapa rival pasti ada minoritas unggulan dan mayoritas rontokan. Pada
1968-1970 Teguh RSA berkompetisi dengan Ipan Sugiyanto Sugito, Iman Budhi
Santosa lawannya Suparno S Adhy. Ketika Iman Budhi Santosa dan Teguh RSA
berjaya 1970-1975, mereka disaingi dan disalip meteor dahsyat Emha Ainun Najib
yang sedang berpacu dengan deretan penyair : Jihad Hisyam, Suripto Harsah,
Slamet Kuntohaditomo dan RS Rudhatan. Pada 1972 – 1975 Linus Suryadi AG
kompetisi dengan Rusly S Purma, Korrie Layun Rampan kompetisi dengan Atas
Danusubroto.
Kompetisi itu sehat, menang-kalah biasa. Pada 1965 – 1975, hampir
setiap surat kabar mempunyai 2 rubrik seni-budaya untuk senior dan yunior.
Eksponen punya ”Ekspo Remaja” dan ”Seni Budaya” ”Pelopor Yogya” punya ”Persada”
dan ”Sabana.” Masa kini punya ”Insani” dan ”Kulminasi” Minggu Pagi dan
Kedaulatan Rakyat juga ada lembar sastra-budaya. Tetapi iklim sudah lain,
dimensi ada yang hilang dari kehidupan puitika di Yogyakarta. Suasana budaya
sudah sirna di Malioboro, taman Garuda, jalan rimbun Senopati, alun-alun Utara.
Yogyakarta sudah berubah, orang harus menerima segala perubahan dengan bijaksana.
Sebenarnya suasana budaya sejak 1975 – 1980 sudah
compang-camping, Malioboro sebagai urat nadi kepenyairan sejak 1950 – 1960
sudah lenyap. Tapi anehnya Yogyakarta tetap melahirkan penyair, mereka
berproses di Yogyakarta mencari ilmu, atau kerja. Jika kematangan sudah
tercapai dan kemantapan telah dimiliki, mereka pun pergi. Di Yogyakarta jika
penyair baru berdatangan tidak ada yang mengelu-elukan, jika penyair besar
pergi tidak ada yang memberikan ratapan.
Sikap Penyair
Ketika Umbu Landu Paranggi mengasuh lembar sastra-budaya
yang pertama kali dibina adalah sikap bathin anak asuhnya. Sebelum dirinya
meninggalkan Yogyakarta dirinya memberikan pesan kepada setiap anak asuhnya di
PSK berupa ”Magnetisme Sastra” dan warisan itu tetap relevan sepanjang abad. Bahwa
manusia adalah makhluk yang mempunyai magnet yang sanggup tarik-menarik di
antara jiwa yang lain. Seniman memiliki kategori magnet yang kuat. Umbu Landu
Paranggi dan anak buahnya sering mendatangkan atau mendatangi sastrawan besar
untuk diskusi atau menyerap ilmu magnet mereka. Rendra dalam bukunya ”Menimbang
Tradisi” mengungkapkan bahwa imajinasi adalah harta karun yang tidak bisa
dipengaruhi oleh apapun, tidak habis untuk dieksplorasi.
Tulisan ini pernah dipublikasikan di
http://emgewibisono.wordpress.com/. 10 Februari 2009.
No comments:
Post a Comment