Wednesday, July 9, 2014

Umbu dan Puisi Indonesia

Oleh F. Rahardi

Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
Aneh, aku jadi ingat pada Umbu
(Taufiq Ismail, Beri Daku Sumba, 1970)

Siapakah Umbu? Hingga penyair Taufiq Ismail, menyebut nama itu dalam salah satu puisinya? Umbu, nama lengkapnya Umbu Landu Paranggi, adalah sosok misterius. Ia selalu menghindar dari publisitas. Tetapi dialah sumber energi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan puisi Indonesia modern, sejak tahun 1960an sampai sekarang. “Saya bisa menjadi seperti sekarang ini, karena didikan Umbu”, Komentar demikian sangat sering saya dengar langsung dari penyair yang sedang naik daun.


Tahun 1970an, Yogyakarta adalah kota yang paling banyak melahirkan penyair. Redaktur Majalah Horison, yang ketika itu berkantor di Balai Budaya, selalu kebanjiran kiriman puisi dari Yogya. Pada akhir 1960 dan awal 1970an, di kota gudeg memang bermukim Penyair Kirjomulyo, Rendra, Darmanto Yatman dan Sapardi Djoko Damono. Tetapi lahirnya nama-nama seperti Korie Layun Rampan, Linus Suryadi dan Emha Ainun Najib, lebih disebabkan oleh kehadiran Umbu. Meskipun ia, tidak pernah sekali pun mengklaim hal seperti ini.

Tahun 1975, banyak penyair seangkatan tiga nama itu muncul ke permukaan sastra Indonesia dari Yogya. Pada tahun 1975 itu, tiba-tiba Umbu menghilang. Beberapa teman mengatakan bahwa ia pulang kempung ke Waikabubak, di Sumba Barat. Tetapi kemudian ketahuan ia bermukim di Denpasar, Bali. Sekarang, Bali dari Pulau Dewata ini banyak bermunculan penyair berbakat. Banyak di antara nama itu yang kemudian hadir sebagai penyair papan atas Indonesia. Nama yang menonjol antara lain Oka Rusmini dan Warih Wisatsana.

Dalam perkembangan puisi modern Indonesia sekarang ini; Jakarta, Bandung dan Yogyakarta kalah dengan Denpasar. Bahkan dengan Tanjungkarang pun, Jakarta tertinggal jauh. Perkembangan kepenyairan yang mengejutkan di Bali, salah satunya adalah karena kehadiran Umbu. Meski kali ini pun, ia tetap misterius. Bahkan jauh lebih misterius dibanding ketika ia masih bermukim di Yogya dulu.

Memprihatinkan

Perkembangan puisi modern Indonesia, selama satu dekade terakhir ini sebenarnya sangat memprihatinkan. Paling tidak jika dibandingkan dengan perkembangan cerpen dan novel. Artinya, dalam sepuluh tahun terakhir, banyak ditulis cerpen dan novel bermutu. Tetapi tidak ada puisi bagus. Peristiwa dahsyat Mei 1998, ternyata juga tidak melahirkan apa-apa. Bahkan tsunami pun hanya melahirkan banyak “puisi proyek”. Di tengah kondisi puisi Indonesia modern yang loyo ini,
Umbu tetap konsisten dengan perannya seperti ketika bermukim di Yogya dulu.

Selain kalah dengan cerpenis dan novelis, penyair Indonesia dekade 1990 dan 2000an sekarang ini, juga kalah jauh dibanding dengan penyair dekade sebelumnya (1970 dan 1980an), Paling tidak, tahun 1970 dan 1980an banyak kejutan yang antara lain dibuat Sutardji Calzoum Bachri. Setelah itu khasanah puisi modern Indonesia datar-datar saja dan tetap didominasi nama-nama lama. Mulai dari Sitor Situmorang, Ramadhan KH yang baru saja meninggal, Rendra, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.

Para penyair itu kelahiran tahun 1930 dan 1940an. Sitor bahkan kelahiran 1924. Mereka yang lahir sekitar tahun 1950an, sebagian besar merupakan “didikan Umbu di Yogya”. Mereka ini banyak yang gugur di tengah jalan. Ada yang meninggal dalam arti sebenarnya seperti Linus Suryadi dan Hamid Jabar.  Tetapi banyak yang kehabisan energi lalu kapok jadi penyair. Ada yang jadi praktisi hukum, politisi, wartawan. Ada pula yang bingung memilih identitas, ada yang menjadi “bapak rumah tangga”.

Generasi kelahiran 1950an yang masih hidup dan relatif menonjol tinggal Afrizal Malna yang tetap konsisten sebagai penyair, Korie Layun Rampan sebagai kritikus sastra dan Emha sebagai  seleb. Generasi yang lahir tahun 1960an, 1970an dan 1980an, kebanyakan kurang bunyi, karena mereka tidak sepenuh hati berprofesi sebagai penyair. Di sinilah kita bisa sangat hormat pada totalitas Umbu, yang tetap gigih memberi motivasi para calon penyair. Padahal sudah ketahuan bahwa profesi penyair tidak menjanjikan apa-apa secara finansial.

Pelopor PSK

Umbu Landu Paranggi sudah mulai menulis puisi, esai dan artikel di Yogyakarta sejak tahun 1950an. Tetapi puisinya tidak pernah menonjol dan menarik perhatian para kritikus. Perannya dalam perkembangan puisi Indonesia modern, justru penting ketika tahun 1968 ia mendirikan Persada Studi Klub (PSK). Kelompok ini didirikannya bersama penyair Suwarna Pragolapati, Iman Budi Santosa dan Teguh Ranusastra Asmara.

PSK yang punya rubrik puisi di Mingguan Pelopor ini, segera menarik minat generasi muda. Ketika itu di Yogyakarta juga sudah  terbit majalah Semangat (remaja) dan Basis (budaya), yang juga memuat puisi. Ruang puisi Basis ketika itu diasuh oleh penyair Sapardi Djoko Damono. Rendra yang baru saja pulang dari AS dan mendirikan Bengkel Teater juga sangat mewarnai kehidupan berkesenian di Yogya. Akhir tahun 1960an dan awal 1970an, Yogya benar-benar merupakan “lahan persemaian penyair”.

Tahun-tahun itu, Indonesia memang baru dalam suasana euforia karena terbebas dari kekangan pemerintah Soekarno. Sementara pemerintahan Soeharto masih belum otoriter. Ketika itulah Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Majalah Horison lahir. Dibanding TIM dan Horison, PSKnya Umbu sangat kecil. Tetapi totalitas terhadap profesi yang dicontohkan Umbu, sungguh luarbiasa. Hingga ia pun memperoleh julukan sebagai “Presiden Penyair Malioboro”.

Memang sulit untuk merumuskan peran Umbu dalam perkembangan puisi Indonesia Modern. Meskipun peran itu ada dan sangat besar. Kesulitan demikian, kurang lebih sama apabila kita harus menjelaskan “makna” sebuah puisi. Meskipun kekuatan puisi itu jelas bisa kita rasakan. Umbu, kelahiran Waikabubak 10 Agustus 1943, sekarang sudah berusia 63 tahun. Ia tetap total dalam memberi inspirasi kepada para penyair muda, bahkan juga penyair tua seperti Taufiq Ismail.


F. Rahardi, Penyair, Wartawan.
sumber :Kompas Minggu, 14 Mei 2006

No comments:

Post a Comment