Wednesday, July 9, 2014

Malioboro, Umbu, dan Yogyakarta Kita

Oleh Warih Wisatsana

Nama Yogyakarta, bagi pelancong dari mana pun, pertama-tama selalu merujuk pada Malioboro. Sedangkan bagi pencinta sastra, utamanya para penyair, pedestrian nan populer itu lebih mengingatkan pada sosok penuh mitos: Umbu Landu Paranggi. Ustadz Umbu, begitu Emha Ainun Nadjib menyebutnya, memainkan peran yang hingga kini boleh dikata tak tergantikan. Lewat ruang budaya Mingguan Pelopor yang diasuhnya, ia menciptakan atmosfer pergaulan kreatif yang gayeng, hangat, dan guyub.


Tekun dan penuh dedikasi, penyair asal Sumba ini menyiangi benih- benih sastrawan yang kala itu datang dari segenap penjuru Tanah Air. Seakan menjadi "pesaing" dari TIM ( Taman Ismail Marzuki) Jakarta, Malioboro di era tahun 1970-an tersebut tak pelak adalah sebuah republik sastra tersendiri dengan Umbu sebagai presidennya. Dan, karena itu, ia pernah mendapat julukan "Presiden Malioboro".

Namun, waktu memang tak berjalan mundur, sekian presiden negeri ini telah berganti. Malioboro bukan lagi tempat seniman bohemian begadang semalaman memetik bulan atau melamunkan hidup seribu tahun. Para seniman tak lagi menjadikan kawasan eksotik itu sebagai ruang untuk bersosialisasi. Sebagaimana belakangan terjadi di Paris, mereka "tersisih" dan memilih kafe-kafe (warung) pinggiran kota.

Budaya pop, buah dari kapitalisme global, menyerbu di segala lini jalan sepotong ini. Boleh jadi atas nama postmodern, tak ada batasan lagi antara seni tinggi dan seni rendah, papan-papan iklan yang seronok dan banal sah-sah saja mengepung Tugu yang bersejarah dan sakral. Di kaki lima, masyarakat dari tradisi yang komunal bersanding dengan yang berciri individual. Selangkah dari mal yang sejuk dan berderang, kita jumpai angkringan dan nasi kucing yang temaram. Apa boleh buat, Yogyakarta memang telah berubah perangainya.
Lalu, apa yang ingin kita sesalkan? Apa yang ingin kita kenang? Mungkin tak ada, atau boleh jadi segalanya. Namun, yang pasti era Umbu, yang telah melahirkan seniman mumpuni dari Emha hingga Linus Suryadi (alm) serta lainnya, memang telah lampau. Pola pergaulan dan proses kreatif berkesenian, sejalan dengan aneka perubahan kosmologi kota, mengalami pula tahapan adaptasi dan sinergi. Tentu saja Yogyakarta ini masih kuasa melahirkan penyair, pelukis, dan juga intelektual yang tetap diperhitungkan. Tapi, di sisi lain patut pula dicermati ke arah mana sebenarnya daerah istimewa ini tengah melaju. Tata kota

Tata kota yang berubah, dengan bangunan-bangunan kasatmata yang tak terbayangkan, bersanding dengan jejak sejarah yang ingin dilestarikan, secara nyata menggambarkan betapa dahsyatnya pergulatan itu. Sebagaimana kota-kota "tua" lainnya di Indonesia, lantaran keniscayaan sejarahnya, mesti menghadapi perubahan dari tatanan budaya agraris yang komunal ke budaya modern yang bercirikan semangat individual.
Tak pelak hal mana ini menimbulkan benturan dan ketegangan antara nilai-nilai lokal, di satu sisi, dan dengan nilai-nilai global di sisi lainnya. Ini bisa jadi akan atau tengah membentuk suatu alienasi kultural yang tak jelas juntrungannya. Sebagai akibatnya,disadari atau tidak, persoalan identitas lambat laun akan mengemuka di semua lini kehidupan.

Dengan diakuinya resmi oleh negara sebagai daerah istimewa, dan kini dengan otonomi serta desentralisasi, Yogyakarta seolah memang telah menemukan perangkat institusional yang memungkinkan segenap warganya mengekspresikan jati dirinya dalam kesatuan negara multikultural ala Indonesia.

Sementara itu, tidak dapat disangkal, sejak Orde Baru bahkan hingga era kini, modal raksaksa asing maupun nasional diam-diam telah merombak segenap tatanan perekonomian dan sosial dan menempatkan kebudayaan setempat yang adiluhung itu, perlahan tetapi pasti, menjadi suatu unsur minor dari keseluruhan sistem sosial yang tengah mengalami percepatan perubahan itu. Wajah Kota Yogyakarta, tak lama lagi, tak akan beda dengan Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, ataupun Jakarta yang memang sering bertindak jadi patron itu.

Yogyakarta memang tengah beringsut dan berada satu gerbong dengan perjalanan kota-kota yang dilokomotifi oleh kapitalisme. Keberadaan mal telah membuat seluruh tatanan sosial-pergaulan wilayah ini berubah drastis. Papan-papan reklame serta tawaran- tawaran untuk membeli telah mengooptasi kota. Apakah ini yang disebut modern? Jawabannya bisa beragam. Boleh jadi pula obsesi meniru kota-kota modern seperti Singapura atau Hongkong, misalnya, telah memicu kita untuk memilih tanpa mengindahkan lagi warisan sub- kultur Jawa yang pekat.

Dalam kaitan dengan persoalan identitas, seorang sastrawan, dalam esainya yang bertajuk Identitas, dengan nada murung menyuratkan, "Jika kondisi ini terus-menerus berlangsung, kita lagi- lagi akan berhadapan muka dengan persoalan identitas! Akan tetapi, persoalan identitas yang menghadang sekarang tidak lagi mempersoalkan kolektivitas dan pentingnya penamaan, tetapi lebih kepada kemerosotan jati diri".

Dalam konteks ini, kita patut berharap tampilnya peran intelektual dan budayawan yang lugas dan cerdas, tak terlambat dan "gagap" menghadapi rentetan kejadian, manis atau pahit, sebagai akibat serbuan kapitalisme global tersebut. Dalam pertanyaan yang paling sederhana, namun esensial, bagaimanakah memaknai dan menyikapi perubahan perangai kota ini?

Dulu, semasa revolusi kemerdekaan, Yogyakarta punya peran sejarah yang sungguh penting (sempat jadi ibu kota negara ), dan tak terbayangkan pula apa nasib republik bila Sinuwun Sultan kala itu tak punya batin yang ikhlas dan pandangan jauh ke depan.

Oleh sebab itu, menelaah alur sejarahnya yang istimewa, Yogyakarta dalam pandangan dan penghayatan kita tempo dulu dan juga mesti kini, pada galibnya bukanlah semata sebuah kota yang molek nan eksotik, melainkan sebuah ruang renung tempat sang warga atau pengunjung dari mana pun negeri ini mempertanyakan sekaligus mencari jawab atas keindonesiaannya atau kebangsaannya. Bercermin pada puisi, boleh jadi kita mengenal diri. Wallahualam.


Warih Wisatsana Penyair, Sedang Ulang-alik Bali-Yogyakarta


sumber : ? 

No comments:

Post a Comment