Oleh Warih Wisatsana
Tekun dan penuh dedikasi, penyair asal
Namun, waktu memang tak berjalan mundur, sekian presiden negeri ini telah berganti. Malioboro bukan lagi tempat seniman bohemian begadang semalaman memetik bulan atau melamunkan hidup seribu tahun.
Budaya pop, buah dari kapitalisme global, menyerbu di segala lini jalan sepotong ini. Boleh jadi atas nama postmodern, tak ada batasan lagi antara seni tinggi dan seni rendah, papan-papan iklan yang seronok dan banal sah-sah saja mengepung Tugu yang bersejarah dan sakral. Di kaki
Lalu, apa yang ingin kita sesalkan? Apa yang ingin kita kenang? Mungkin tak ada, atau boleh jadi segalanya. Namun, yang pasti era Umbu, yang telah melahirkan seniman mumpuni dari Emha hingga Linus Suryadi (alm) serta lainnya, memang telah lampau. Pola pergaulan dan proses kreatif berkesenian, sejalan dengan aneka perubahan kosmologi
Tata
Tak pelak hal mana ini menimbulkan benturan dan ketegangan antara nilai-nilai lokal, di satu sisi, dan dengan nilai-nilai global di sisi lainnya. Ini bisa jadi akan atau tengah membentuk suatu alienasi kultural yang tak jelas juntrungannya. Sebagai akibatnya,disadari atau tidak, persoalan identitas lambat laun akan mengemuka di semua lini kehidupan.
Dengan diakuinya resmi oleh negara sebagai daerah istimewa, dan kini dengan otonomi serta desentralisasi, Yogyakarta seolah memang telah menemukan perangkat institusional yang memungkinkan segenap warganya mengekspresikan jati dirinya dalam kesatuan negara multikultural ala
Sementara itu, tidak dapat disangkal, sejak Orde Baru bahkan hingga era kini, modal raksaksa asing maupun nasional diam-diam telah merombak segenap tatanan perekonomian dan sosial dan menempatkan kebudayaan setempat yang adiluhung itu, perlahan tetapi pasti, menjadi suatu unsur minor dari keseluruhan sistem sosial yang tengah mengalami percepatan perubahan itu. Wajah Kota Yogyakarta, tak lama lagi, tak akan beda dengan Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, ataupun Jakarta yang memang sering bertindak jadi patron itu.
Dalam kaitan dengan persoalan identitas, seorang sastrawan, dalam esainya yang bertajuk Identitas, dengan nada murung menyuratkan, "Jika kondisi ini terus-menerus berlangsung, kita lagi- lagi akan berhadapan muka dengan persoalan identitas! Akan tetapi, persoalan identitas yang menghadang sekarang tidak lagi mempersoalkan kolektivitas dan pentingnya penamaan, tetapi lebih kepada kemerosotan jati diri".
Dalam konteks ini, kita patut berharap tampilnya peran intelektual dan budayawan yang lugas dan cerdas, tak terlambat dan "gagap" menghadapi rentetan kejadian, manis atau pahit, sebagai akibat serbuan kapitalisme global tersebut. Dalam pertanyaan yang paling sederhana, namun esensial, bagaimanakah memaknai dan menyikapi perubahan perangai
Dulu, semasa revolusi kemerdekaan, Yogyakarta punya peran sejarah yang sungguh penting (sempat jadi ibu
Oleh sebab itu, menelaah alur sejarahnya yang istimewa, Yogyakarta dalam pandangan dan penghayatan kita tempo dulu dan juga mesti kini, pada galibnya bukanlah semata sebuah kota yang molek nan eksotik, melainkan sebuah ruang renung tempat sang warga atau pengunjung dari mana pun negeri ini mempertanyakan sekaligus mencari jawab atas keindonesiaannya atau kebangsaannya. Bercermin pada puisi, boleh jadi kita mengenal diri. Wallahualam.
Warih Wisatsana Penyair, Sedang Ulang-alik Bali-Yogyakarta
sumber : ?
No comments:
Post a Comment