Monday, June 6, 2016

Dua Malam Yang Mengharukan

Dua Malam Yang Mengharukan

Teks dan foto oleh Wayan Jengki Sunarta*


Entah mimpi apa yang membuat Umbu Landu Paranggi meminta panggung dua malam berturut-turut untuk baca puisi dan berorasi di Jatijagat Kampung Puisi (JKP), sebuah komunitas kesenian di Denpasar. Meski Umbu sering menyambangi JKP dan menemani para penyair muda berkesenian, mantan Presiden Malioboro ini sangat jarang mau terlibat dalam acara baca puisi. Umbu biasanya menolak atau menghindar baca puisi di depan umum. Penyair kelahiran Sumba ini lebih suka datang diam-diam dan duduk di tempat tersembunyi sembari menyimak suatu acara berlangsung.


Namun, di penghujung Mei lalu, Umbu benar-benar membuat kejutan. Secara mendadak, kepada pegiat sastra di JKP, Umbu meminta agar ulang tahun JKP ke-2 dirayakan tiga hari. Dan, Umbu mengatakan akan tampil “solo-run” (istilah Umbu: tampil tunggal) baca puisi, untuk mengenang tsunami Aceh dan gempa Jogja, serta merayakan ulang tahun salah satu murid kesayangannya.

Permintaan mendadak Umbu, membuat pegiat sastra JKP panik, apalagi dia berpesan agar sastrawan dan seniman banyak yang diundang untuk hadir. Undangan pun disebar di media sosial (facebook) dengan gencar dan mendadak pula. Maka, sehari setelah perayaan internal ulang tahun JKP pada 25 Mei 2016, panggung pun disediakan untuk Umbu.

Bagi Umbu, angka-angka penanggalan pada kalender memiliki makna tersendiri. Umbu suka menggunakan angka-angka itu untuk mengenang atau merayakan suatu peristiwa. Umbu menggunakan “tanggal” tsunami Aceh dan gempa Jogja sebagai penanda dan landasan acara yang digelar pada 26 dan 27 Mei itu. Bahkan, pada saat acara, Umbu juga mengedarkan kertas absen yang dia siapkan sendiri, berisikan sketsa berbentuk lingkaran bertuliskan: “26-Aceh, 27-Jogja”.

Tentu ini adalah peristiwa unik dan langka. Banyak orang tidak percaya Umbu akan benar-benar hadir dalam acara itu. Sebab, sudah menjadi kebiasaan Umbu, sangat jarang mau menghadiri atau memenuhi undangan acara-acara sastra yang bersifat formal, apalagi yang dihadiri banyak orang penting. Bahkan, ketika digelar perayaan “30 Tahun Dedikasi Sastra Umbu di Bali” pada 2009 di Taman Budaya Bali, Umbu tak menampakkan wajahnya.

Hari Kamis, 26 Mei, tata panggung dan sound sistem telah disiapkan. Beberapa undangan sudah hadir di JKP. Umbu muncul tergopoh-gopoh dan menggerutu karena lalu lintas macet sehingga dia datang agak terlambat dari jadwal yang direncanakannya. Panggung yang sudah ditata diubah lagi oleh Umbu sesuai keinginannya. Dia  menyusun sendiri tata panggungnya. Ada serakan daun-daun jati kering, ada pajangan koran-koran bekas di atas kursi-kursi beton yang berisikan karikatur-karikatur seorang penyair dan kartunis Bali yang dikaguminya. Orang-orang yang hadir di JKP terkesima menyaksikan Umbu asyik masyuk menata panggungnya. Umbu pun tidak memerlukan MC untuk acaranya.

Acara yang direncanakan jam tujuh malam oleh Umbu, akhirnya baru dimulai jam delapan, karena menunggu hadirin berdatangan. Umbu langsung membuka acara dengan doa semoga pikiran baik berdatangan dari segala penjuru. Umbu kemudian membacakan beberapa puisi. Namun, bukan puisinya sendiri, seperti yang diharapkan banyak orang. Umbu justru membacakan puisi-puisi karya penyair perempuan yang dimuat di ruang apresiasi sastra yang diasuhnya, di antaranya puisi Kadek Wara Urwasi dan IGA Komang Williani. Bagi, Umbu, dua penyair perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa dan telah menulis sejak usia belia. Selain itu, Umbu juga membacakan puisi tentang kota Jakarta karya Cok Raka Pemayun, seorang kawan lamanya di Bali.

Malam itu, Umbu tampak sungguh mengharukan. Beberapa sastrawan yang hadir mengaku tak kuat menahan air mata ketika menyaksikan Umbu di panggung. Kerinduan pada sosok Umbu begitu membuncah malam itu. Umbu bukanlah pembaca puisi yang memukau seperti Rendra atau Sutardji Calzoum Bachri. Bukan pula orator yang ulung. Umbu cenderung sangat pemalu dan introvert. Namun, di hadapan puluhan orang yang hadir, dengan segala kepolosan dan kemurniannya, mahaguru dan penyair sepuh ini mempersembahkan dirinya. Secara tidak langsung, Umbu mengajarkan sikap rendah hati, menghargai kemurnian dan kesetiaan pada kehidupan puisi, jalan sunyi itu.

Hal yang menarik, di sela-sela pembacaan puisi, Umbu berbagi cerita tentang banyak hal, lebih mirip sebagai pidato atau orasi kebudayaan. Mulai dari Sumpah Pemuda sebagai mantra dan amarah suci, perjuangan Kartini, kesetiaan seniman tua berkesenian hingga akhir hayat, tentang penghormatan pada alam dan pepohonan, perihal Indonesia sebagai negeri maritim, hingga cerita kenangan ketika Umbu pertama kali menginjakkan kaki dan bersentuhan dengan Bali. Orang-orang yang hadir malam itu diam terpaku, terpukau, dan menyimak segala hal yang terlontar dari Umbu.

Pada Jumat, 27 Mei, Umbu juga secara khusus mengundang perupa Nyoman Erawan untuk hadir di acara pembacaan puisinya. Sebab, selain mengenang gempa Jogja, pada tanggal itu adalah hari ulang tahun Cak Nun dan Nyoman Erawan. Bahkan, Umbu berharap suatu saat Cak Nun dan Erawan bisa tampil berkolaborasi.

Umbu membuka acara dengan doa dan membacakan sejumlah puisi-puisi Cak Nun, di antaranya “Gaduh”, “Jalan Sunyi”. Selain itu, Umbu juga membacakan puisi karya Subagio Sastrowardoyo dan Frans Nadjira. Di tengah-tengah acara, Umbu meminta Nyoman Erawan tampil di panggung. Erawan pun menampilkan performance art dan membacakan puisi karyanya sendiri.

Seperti malam sebelumnya, Umbu berorasi  tentang berbagai hal. Umbu mengatakan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang hidup dengan gunung berapi. Budaya Jawa dan Bali dengan tepat merumuskan “segara-giri”, “segara-gunung”. Umbu menegaskan, negeri kita adalah kepulauan, jembatan kita adalah air, tujuh belas ribu pulau kekayaan kita. Mungkin hal itu yang selama ini luput dari pelajaran di bangku sekolah dan universitas.

Umbu juga mengingatkan, bahwa budaya Jawa dan Bali telah merumuskan pembelajaran “sangkan paran”. Kenapa manusia dilahirkan, mau kemana hidup ini dibawa?  Hal itulah yang harus dicarikan jawabannya, meskipun tidak pernah kunjung usai pertanyaan tentang manusia itu sendiri. “Kehidupan ini terlampau besar untuk tidak dirayakan,” ujar Umbu..***



*penyair dan penulis seni-budaya, menetap di Bali.

(Sumber: Jawa Pos, Minggu, 5 Juni 2016)


4 comments:

  1. sya ingin skali bertemu dngn umbu.. klo berkenan sampaikan salam saya buat umbu.

    ReplyDelete
  2. Semoga umbu baik2 selalu
    Rindu walau belum saling sapa
    Sungguh terimakasih untuk mu pahlawan bangsa sejati
    Yg sudah membekali kami jamuan padat

    ReplyDelete
  3. Cak Nun adalah murid kesayangan Umbu. Beberapa kali bertemu Umbu baik langsung atau.sekedar berbicara lewat telepon, kalau sudah berbicara panjang lebar, pasti Cak Nun yang dibicarakan. Dan Beliau selalu bilang:Gimin harus bisa seperti Cak Nun- hampir selalu itu yang diucapkan.
    Tenru saja hanya menanggapi dengan senyum datar stsu tawa sumbang. Karena saya sadar, saya bukan apa2. Dan tak mungkin.😁

    ReplyDelete