Dua Malam Yang Mengharukan
Teks dan foto oleh
Wayan Jengki Sunarta*
Entah mimpi apa yang
membuat Umbu Landu Paranggi meminta panggung dua malam berturut-turut untuk
baca puisi dan berorasi di Jatijagat Kampung Puisi (JKP), sebuah komunitas
kesenian di Denpasar. Meski Umbu sering menyambangi JKP dan menemani para
penyair muda berkesenian, mantan Presiden Malioboro ini sangat jarang mau
terlibat dalam acara baca puisi. Umbu biasanya menolak atau menghindar baca
puisi di depan umum. Penyair kelahiran Sumba ini lebih suka datang diam-diam dan
duduk di tempat tersembunyi sembari menyimak suatu acara berlangsung.
Namun, di penghujung Mei
lalu, Umbu benar-benar membuat kejutan. Secara mendadak, kepada pegiat sastra
di JKP, Umbu meminta agar ulang tahun JKP ke-2 dirayakan tiga hari. Dan, Umbu
mengatakan akan tampil “solo-run” (istilah Umbu: tampil tunggal) baca puisi,
untuk mengenang tsunami Aceh dan gempa Jogja, serta merayakan ulang tahun salah
satu murid kesayangannya.
Permintaan mendadak
Umbu, membuat pegiat sastra JKP panik, apalagi dia berpesan agar sastrawan dan
seniman banyak yang diundang untuk hadir. Undangan pun disebar di media sosial
(facebook) dengan gencar dan mendadak pula. Maka, sehari setelah perayaan
internal ulang tahun JKP pada 25 Mei 2016, panggung pun disediakan untuk Umbu.
Bagi Umbu, angka-angka
penanggalan pada kalender memiliki makna tersendiri. Umbu suka menggunakan
angka-angka itu untuk mengenang atau merayakan suatu peristiwa. Umbu
menggunakan “tanggal” tsunami Aceh dan gempa Jogja sebagai penanda dan landasan
acara yang digelar pada 26 dan 27 Mei itu. Bahkan, pada saat acara, Umbu juga
mengedarkan kertas absen yang dia siapkan sendiri, berisikan sketsa berbentuk
lingkaran bertuliskan: “26-Aceh, 27-Jogja”.
Tentu ini adalah
peristiwa unik dan langka. Banyak orang tidak percaya Umbu akan benar-benar hadir
dalam acara itu. Sebab, sudah menjadi kebiasaan Umbu, sangat jarang mau menghadiri
atau memenuhi undangan acara-acara sastra yang bersifat formal, apalagi yang
dihadiri banyak orang penting. Bahkan, ketika digelar perayaan “30 Tahun
Dedikasi Sastra Umbu di Bali” pada 2009 di Taman Budaya Bali, Umbu tak
menampakkan wajahnya.
Hari Kamis, 26 Mei, tata
panggung dan sound sistem telah disiapkan. Beberapa undangan sudah hadir di
JKP. Umbu muncul tergopoh-gopoh dan menggerutu karena lalu lintas macet
sehingga dia datang agak terlambat dari jadwal yang direncanakannya. Panggung
yang sudah ditata diubah lagi oleh Umbu sesuai keinginannya. Dia menyusun sendiri tata panggungnya. Ada
serakan daun-daun jati kering, ada pajangan koran-koran bekas di atas
kursi-kursi beton yang berisikan karikatur-karikatur seorang penyair dan kartunis
Bali yang dikaguminya. Orang-orang yang hadir di JKP terkesima menyaksikan Umbu
asyik masyuk menata panggungnya. Umbu pun tidak memerlukan MC untuk acaranya.
Acara yang direncanakan
jam tujuh malam oleh Umbu, akhirnya baru dimulai jam delapan, karena menunggu
hadirin berdatangan. Umbu langsung membuka acara dengan doa semoga pikiran baik
berdatangan dari segala penjuru. Umbu kemudian membacakan beberapa puisi. Namun,
bukan puisinya sendiri, seperti yang diharapkan banyak orang. Umbu justru
membacakan puisi-puisi karya penyair perempuan yang dimuat di ruang apresiasi
sastra yang diasuhnya, di antaranya puisi Kadek Wara Urwasi dan IGA Komang Williani.
Bagi, Umbu, dua penyair perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa dan telah
menulis sejak usia belia. Selain itu, Umbu juga membacakan puisi tentang kota
Jakarta karya Cok Raka Pemayun, seorang kawan lamanya di Bali.
Malam itu, Umbu tampak
sungguh mengharukan. Beberapa sastrawan yang hadir mengaku tak kuat menahan air
mata ketika menyaksikan Umbu di panggung. Kerinduan pada sosok Umbu begitu
membuncah malam itu. Umbu bukanlah pembaca puisi yang memukau seperti Rendra
atau Sutardji Calzoum Bachri. Bukan pula orator yang ulung. Umbu cenderung
sangat pemalu dan introvert. Namun, di hadapan puluhan orang yang hadir, dengan
segala kepolosan dan kemurniannya, mahaguru dan penyair sepuh ini mempersembahkan
dirinya. Secara tidak langsung, Umbu mengajarkan sikap rendah hati, menghargai kemurnian
dan kesetiaan pada kehidupan puisi, jalan sunyi itu.
Hal yang menarik, di
sela-sela pembacaan puisi, Umbu berbagi cerita tentang banyak hal, lebih mirip
sebagai pidato atau orasi kebudayaan. Mulai dari Sumpah Pemuda sebagai mantra
dan amarah suci, perjuangan Kartini, kesetiaan seniman tua berkesenian hingga
akhir hayat, tentang penghormatan pada alam dan pepohonan, perihal Indonesia
sebagai negeri maritim, hingga cerita kenangan ketika Umbu pertama kali
menginjakkan kaki dan bersentuhan dengan Bali. Orang-orang yang hadir malam itu
diam terpaku, terpukau, dan menyimak segala hal yang terlontar dari Umbu.
Pada Jumat, 27 Mei,
Umbu juga secara khusus mengundang perupa Nyoman Erawan untuk hadir di acara
pembacaan puisinya. Sebab, selain mengenang gempa Jogja, pada tanggal itu
adalah hari ulang tahun Cak Nun dan Nyoman Erawan. Bahkan, Umbu berharap suatu
saat Cak Nun dan Erawan bisa tampil berkolaborasi.
Umbu membuka acara dengan
doa dan membacakan sejumlah puisi-puisi Cak Nun, di antaranya “Gaduh”, “Jalan
Sunyi”. Selain itu, Umbu juga membacakan puisi karya Subagio Sastrowardoyo dan
Frans Nadjira. Di tengah-tengah acara, Umbu meminta Nyoman Erawan tampil di
panggung. Erawan pun menampilkan performance
art dan membacakan puisi karyanya sendiri.
Seperti malam
sebelumnya, Umbu berorasi tentang
berbagai hal. Umbu mengatakan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara di
dunia yang hidup dengan gunung berapi. Budaya Jawa dan Bali dengan tepat
merumuskan “segara-giri”, “segara-gunung”. Umbu menegaskan, negeri kita adalah
kepulauan, jembatan kita adalah air, tujuh belas ribu pulau kekayaan kita. Mungkin
hal itu yang selama ini luput dari pelajaran di bangku sekolah dan universitas.
Umbu juga mengingatkan,
bahwa budaya Jawa dan Bali telah merumuskan pembelajaran “sangkan paran”. Kenapa
manusia dilahirkan, mau kemana hidup ini dibawa? Hal itulah yang harus dicarikan jawabannya, meskipun
tidak pernah kunjung usai pertanyaan tentang manusia itu sendiri. “Kehidupan
ini terlampau besar untuk tidak dirayakan,” ujar Umbu..***
*penyair dan penulis
seni-budaya, menetap di Bali.
(Sumber: Jawa Pos, Minggu, 5 Juni 2016)
luar biasa
ReplyDeletesya ingin skali bertemu dngn umbu.. klo berkenan sampaikan salam saya buat umbu.
ReplyDeleteSemoga umbu baik2 selalu
ReplyDeleteRindu walau belum saling sapa
Sungguh terimakasih untuk mu pahlawan bangsa sejati
Yg sudah membekali kami jamuan padat
Cak Nun adalah murid kesayangan Umbu. Beberapa kali bertemu Umbu baik langsung atau.sekedar berbicara lewat telepon, kalau sudah berbicara panjang lebar, pasti Cak Nun yang dibicarakan. Dan Beliau selalu bilang:Gimin harus bisa seperti Cak Nun- hampir selalu itu yang diucapkan.
ReplyDeleteTenru saja hanya menanggapi dengan senyum datar stsu tawa sumbang. Karena saya sadar, saya bukan apa2. Dan tak mungkin.😁