Wednesday, July 9, 2014

Belajar Bersastra dari Seorang Umbu

Oleh WillemB Berybe

SEBUT  nama Umbu, paling tidak bagi masyarakat Flobamora, langsung teringat akan sebuah pulau yang terletak di selatan wilayah Propinsi NTT yaitu Sumba. Mengapa? Etnik Sumba dengan marga (fam) Umbu berasal dari sana. Dari sekian nama Umbu salah satunya adalah Umbu Landu Paranggi, pria kelahiran Sumba 10 Agustus 1943, dan dikenal sebagai penulis puisi Indonesia.


Majalah Sastra Horison edisi Tahun XXXX 1, 2006, No: T3.3 dalam rubrik khusus ‘Kaki Langit’ mengangkat sosok Umbu Landu Paranggi dengan sederetan puisinya yang khas seperti Ni Reneng (Denpasar, Oktober-November 1984), Sajak Kecil (1) & (2), Ibunda Tercinta (1965), Solitude, Melodi, Percakapan Selat, Sabana, Sajak, Di Sebuah Gereja Gunung.


Dari sajak-sajak itu berikut ulasan Korie Layun Rampan perihal seluk beluk kepenyairan Umbu Landu Paranggi semakin memperkuat pengetahuan dan pemahaman kita bahwa ia adalah salah satu sastrawan Indonesia.

“Sebagai penyair, Umbu memang tidak seterkenal Chairil Anwar, Amir Hamzah, Rendra, Subagio Sastra Waroyo, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Darmanto Yt, Abdul Hadi WM, atau Afrizal Malna misalnya. Akan tetapi, perannya sebagai penyair yang turut melahirkan bakat-bakat baru membuatnya tak bisa dilupakan dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia mutakhir,” demikian ungkapan Korrie seorang sastrawan, kritikus dan peneliti sastra Indonesia (ibid, Horison; Kaki Langit, hal.10).

Di sinilah faktor waktu dan ruang (lingkungan, konteks) ikut membentuk dan menentukan watak individu seorang penulis puisi. Tidak heran si Umbu pun harus keluar dari sarangnya di daratan Sumba dan pergi mencari alam, ruang, dan waktu, untuk terus berpuisi di tempat lain.
Bagi seorang Ajip Rosidi mengaku Jepang memberinya waktu menulis lebih banyak ketimbang Jakarta (Kompas, 31 Mei 2003). Demikian halnya Umbu Landu Paranggi tidak memilih Jakarta untuk dijadikan tempat ia berkarier, justru Bali  adalah ‘istana’ kehidupannya sebagai seorang sastrawan. Pulau Dewata ini begitu berperan dalam eksistensi kehidupan bersastra Umbu. Atas dasar itulah kelompok seniman sastra dan akademisi Denpasar pernah memberikan penghargaan kepada beliau atas dedika-sinya di bidang sastra di TBD (Taman Budaya Den-pasar), Bali 9 Juli 2009 lalu.

Apa yang telah dikemuka-kan oleh Korrie menunjukan bahwa kontribusi Umbu dalam percaturan puisi Indonesia tidak bisa disepe-lekan. Bahkan pengakuan Korrie sendiri menyebutkan Umbu sebagai bidan yang turut melahirkan dua angkatan sastra Indonesia modern yaitu Angkatan 80 dan Angkatan 2000 (ibid Horison, hal.13). Ketika kalangan sastrawan nasional menempatkan posisi Umbu sebagai bagian dari sastra Indonesia masa kini, maka dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT pun Umbu Landu Paranggi adalah sebuah legenda. ‘Ketersembunyian,’ diam dalam pengembaraan ibarat voice of the voiceless telah memperlihatkan potensi orang NTT dalam dunia seni sastra.

Boleh jadi banyak kalangan di NTT sendiri merasa asing dan jauh, siapa sebenarnya Umbu Landu Paranggi. Umbu yang menjadi besar dan berkibar sebagai penyair di luar NTT (Yogya dan Denpasar) sama sekali tidak mengecilkan esensi bumi Flobamora. Sebuah kawasan yang telah melahirkan seorang penyair yang dapat disejajarkan dengan Taufiq Ismail, Putu Wijaya, Danarto, Budi Darma, dll. Salah satu bukti keakraban dan relasi Umbu dengan  penyair nasional ialah puisi berjudul ‘Beri Daku Sumba’ secara khusus ditulis Taufiq Ismail buat sahabatnya ini.

Cikal bakal kepenyairan Umbu Landu Paranggi bermula dari Malioboro Yogya. Di tahun 60 hingga 70-an kompleks sepanjang Jalan Malioboro Yogya ini bagaikan sebuah panggung imajinasi bagi komunitas Umbu bersama pengikut-pengikutnya dalam sebuah perkumpulan bernama PSK (Persada Studi Klub). Tak peduli siapa dan darimana asal mereka, para peminat sastra itu digembleng, ditempa dan diberi pendidikan khusus menjadi penulis ala Umbu. Dari tangan seorang Umbu  munculah  penulis-penulis terkenal di kemudian hari seperti Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadib, Agus Darmawan T, Korrie Layun Rampan, Yudhistira ANM Massardi, Frans R Passandaran, dan lain-lain.

“Kami berjalan kaki berpuluh kilometer mengelilingi kota, pada tengah malam, dan kami dilarang bicara, dilarang bertanya. Kami hanya diperbolehkan berjalan dan merasakan kesunyian, merasakan bagaimana gejolak pikiran serta hati di tengah kebisuan. Saat puncak lelah, saat pagi menjelang subuh, barulah kami diperbolehkan bicara. Itu artinya kami harus berdiskusi tentang apa yang kami rasakan. Umbu selalu menekankan keterlibatan penuh dari seluruh panca indra untuk bisa menghasilkan karya yang baik,” ungkap penyair Mustofa W Hasjim yang pernah menjadi ‘murid’ Umbu dalam wadah PSK.

Berjalan di tengah malam dalam metode yang diterapkan Umbu di atas  adalah sebuah contoh dan bagian kecil dalam proses bersastra  bagaimana  ‘pengalaman manusia’ diolah hingga menghasilkan sesuatu yang bernilai indah. Rene Welek dan Austin Warren menyebutnya human experience (Theory of Literature; terjemahan Melani Budianta; Teori Kesustraan; hal. 328). Lebih lanjut Rene Welek dan Austin Warren menulis dengan manis: “... Semula merupakan dunia kini berubah menjadi bahasa” (hal. 322).

“Dusun Flobamora sebuah wadah bersastra yang hadir di Kota Kupang memiliki daya dan spirit membangun penciptaan karya sastra asal Flobamora (NTT) yang patut diapresiasi dan didukung. Figur-figur seperti Amanche Franck Oe Ninu dan Mario F Lawi bersama  para koleganya telah memperlihatkan spirit dimaksud. “Kami bukan apa-apa di dunia sastra. Kami memang masih muda, namun bara api  semangat dan cinta yang kuat akan tanah ini menjadi motivasi bagi Dusun Flobamora” tulis Amanche Franck Oe Ninu dan Mario F Lawi (Baca: Pos Kupang Minggu, 20 Maret 2011). Inilah ungkapan yang optimistik tentang sastra NTT ke depan.

Korrie Layun Rampan mengelompokkan sastrawan asal NTT masuk dalam deretan penulis-penulis sastra Indonesia Timur seperti Gerson Poyk (Rote), Otto J Gaut, Dami N Toda, John Dami Mukese (Manggarai), Maria Matildis Banda (Ende, Lio) dan Umbu Landu Paranggi (Sumba) dengan karakter sastra bercorak lokal dan khas budaya setempat. Bahkan disebut sebagai sastrawan-sastrawan penganut karya sastra etnik. Sebagai contoh sepenggal sajak Umbu berjudul ‘Sabana’: /sabana sunyi/di sini hidupku/sebuah gitar tua/seorang lelaki berkuda kemudian ia teruskan:  sabana tandus/mainkan laguku/harum nafas bunda/seorang gembala berpacu/ (Ibid Horison; rubrik Kaki Langit hal.7).

Kata-kata sabana, tandus, gembala, (ber)kuda adalah warna lokal, dan latar alam serta diselingi simbol kesedehanaan seperti gitar tua terasa begitu kental. Tentu saja perjalanan sastra NTT tidak berhenti dan habis di era Gerson Poyk cs. Tampilnya wadah-wadah seperti Dusun Flobamora dan komunitas penulis sastra lainnya di NTT diharapkan berpotensi untuk meneruskan dan melanjutkan jejak langkah para sastrawan senior NTT. 

Rahasia keberhasilan PSK puluhan tahun silam yang ditangani Umbu Landu Paranggi terletak pada kolektivitas yang kuat. Saling berkontak, berdialog. Hubungan dari hati ke hati. Kebersamaan kreatif yang terdidik dan sehat. Sebuah pembelajaran praktis dan berhasil menuju aktivitas bersastra. Selamat (belajar) bersastra! *

2 comments:

  1. Terima kasih, Bli Jengki,sebuah dedikasi yang pantas dihargai, karena membantu menyalurkan kerinduan kami kepada Umbu. Salam.

    ReplyDelete