Pantai berkabut di sini,
makin berkisah dalam tatapan
sepi yang lalu dingin gumam berhantam di buritan
Juluran lidah nampak di bawah kerjap mata menggoda
dalam lagu siul, di mana-mana menghadang cakrawala
sepi yang lalu dingin gumam berhantam di buritan
Juluran lidah nampak di bawah kerjap mata menggoda
dalam lagu siul, di mana-mana menghadang cakrawala
Bait ketiga sajak Percakapan
Selat karya Umbu Landu Paranggi itu mengalun syahdu di gedung
Ksirarnawa, Art Centre, Denpasar, Kamis malam pekan lalu. Empat remaja dari
Teater SMU 3 Denpasar mengaransemen puisi itu menjadi musikalisasi memikat
diiringi petikan gitar yang memainkan nada-nada Stairway to Heaven milik
kelompok musik Led Zeppelin.
Malam itu, penyair dan
budayawan Bali yang pernah bersentuhan dan menjadi murid Umbu menggelar acara
penghargaan atas 30 tahun kiprah penyair kelahiran Sumba pada 1944 itu di Bali.
“Tanpa Umbu, panen penyair dan sastrawan (di Bali) tanpa henti itu tak akan
terjadi,” kata peneliti sastra Universitas Udayana (Unud) I Nyoman Dharma
Putra.
Sebelumnya, Umbu
berkiprah di Yogyakarta dan melahirkan banyak penyair ternama lewat Persada
Studi Klub asuhannya. Pada 1979, ia hijrah ke Bali. Teman penyairnya di Yogya,
Joko Affandi, memperkenalkannya dengan Wakil Pemimpin Redaksi saat itu,
Widminarko.
“Sebelumnya sudah saya
dengar julukannya sebagai Presiden Penyair Malioboro,” kata Widminarko. Ia pun
menawarkan pengelolaan rubrik Pos Remaja dan Budaya kepada Umbu. Gayung
bersambut.
Kedua halaman itu pun
digunakan Umbu untuk membuat ajang kompetisi sastra. Pos Remaja dijadikan
tempat menyeleksi puisi para penyair pemula. Mereka yang giat menulis dan
meningkat kualitasnya, lalu diberi kesempatan mengisi halaman budaya
Umbu juga turun langsung
untuk menghidupkan rubrik itu. Ia berkeliling ke SMU-SMU di Bali, bekerja sama
dengan guru dan sastrawan lokal. Denyut karya sastra berdetak cepat di Denpasar
dengan kemunculan berbagai sanggar dan teater. Salah satu yang paling aktif
adalah Sanggar Minum Kopi.
Penyair Wayan Sunarta
termasuk salah seorang yang menjalani kompetisi itu. Setelah mengirim puluhan
puisi, barulah salah satunya dimuat di Pos Remaja pada 1993. “Saat itu saya masih
kelas III SMU,” ujarnya.
Baginya, Umbu adalah
sosok yang memiliki cara unik mendorong penyair muda terus bertahan. Ada yang
diajak main gaple atau nongkrong di pinggir jalan sambil mengobrol soal sastra,
ada juga yang mendapat kunjungan pribadi. Ia ingat betul ketika diberi nasi
bungkus jatah kantor milik Umbu ketika puisinya dimuat pertama kali di Republika.
Sejatinya, pria pendiam
itu menolak dimitoskan untuk perkara melahirkan penyair itu. Bahkan, dia
menyebut rubrik di Bali Post hanya efektif selama sembilan tahun pertama.
Selain halamannya luas, ia masih punya cukup energi untuk turun ke lapangan.
“Selama 30 tahun itu dasarnya kurang jelas,” ujar Umbu yang menyatakan protes
dengan tak mendatangi acara itu. (Rofiqi Hasan)
Tulisan ini pernah
dipublikasikan di TEMPO Interaktif (Jakarta), 14 Juli
2009.
No comments:
Post a Comment