Sunday, July 13, 2014

Pertemuan Dua Presiden Penyair, 2010


Pertemuan Dua Presiden Penyair

(Sutardji Calzoum Bachri, Janet DeNeefe, Umbu Landu Paranggi)

Pertemuan Sutardji Calzoum Bachri dan Umbu Landu Paranggi boleh jadi hal yang lumrah saja. Namun, mengingat peran dan mitos mereka selama ini sebagai tokoh perpuisian Indonesia, tak pelak perjumpaan dua sahabat lama ini mengandung sekian kemungkinan arti dan juga tafsir tersendiri: sebuah kilas balik sekaligus refleksi akan kehidupan susastra Indonesia di masa depan.

Dalam tahapan sejarah sastra Indonesia, keduanya terbilang angkatan 1970-an, yang tumbuh senyampang kemelut dan tragedi sosial politik tahun 1965. Apabila Chairil Anwar dan rekan-rekan seniman segenerasinya, melalui ”Surat Gelanggang”, memaklumatkan sebagai ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia serta menegaskan diri sebagai ”binatang jalang” yang meradang dan menerjang (individualis), Sutardji-Umbu bersama sejawatnya malahan menggaungkan kehendak untuk ”kembali ke akar”. Ini sesungguhnya tidak semata pertarungan keyakinan antargenerasi, tetapi mencerminkan pula apa yang disebut oleh para ahli sejarah sebagai ”jiwa zaman”.


Pertemuan Sutardji dan Umbu di sela-sela perhelatan Ubud Writers and Readers Festival 2010 di Bali, bukanlah sesuatu yang direncanakan atau bagian dari agenda festival itu. Di hadapan para seniman Indonesia dari generasi yang lebih kini, mereka saling menunjukkan secara spontan kehangatan persahabatan, yang sudah lebih dari 40 tahun tak bersua. Yang seketika mengemuka adalah sisi-sisi pribadi, sentuhan manusiawi penuh keharuan. Mitos yang selama ini membayang-bayangi eksistensi mereka di dunia sastra, dan membuat keduanya tampak ”angker” dan berjarak dari keseharian, di mana masing-masing menyandang sebutan yang serupa, Sutardji ”Presiden Penyair Indonesia” dan Umbu ”Presiden Malioboro”, seketika cair. Umbu yang dikenal sebagai sosok yang serba ”konon”, misterius, sulit ditemui, dan jarang hadir di ruang publik, kali ini tampil ekspresif, terbuka, dan spontan. Sedangkan Sutardji, yang hingga belakangan ini terus terpublikasi sebagai sosok nyentrik, heboh, dan fenomenal, memperlihatkan bagian dirinya yang sehari-hari.

(Salyaputra, Kompas 24 Oktober 2010)

No comments:

Post a Comment