Friday, July 11, 2014

Disposisi dan Pencapaiannya dalam Arena Sastra Nasional

Oleh Asef Saeful Anwar

“Saya cuma menjalankan apa yang sudah digariskan oleh langit.”

            Demikian jawaban Umbu Landu Paranggi ketika ditanya Kompas (Minggu, 18 November 2012) mengapa ia tidak menekuni dunia kepenyairan seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Sutardji Calzoum Bachri, atau Rendra. Bagi Umbu, seseorang memiliki peran masing-masing dalam hidup ini dan Umbu merasa dirinya memiliki peran sebagai pengasuh para sastrawan. Apa yang diungkapkan Umbu bukanlah semata bentuk kerendah-hatian, melainkan juga sebuah upaya penciptaan posisi yang baru dalam arena sastra. Ia bukanlah sastrawan, tetapi pengasuh para sastrawan. Singkatnya, ia telah menempati posisi baru dalam arena sastra di antara sastrawan dan kritikus sastra. Bahkan, posisinya ini dianggap lebih tinggi daripada sastrawan (dan mungkin berpotensi mengancam posisi kritikus sastra?)

Pencapaian posisi yang diraih Umbu tersebut hanyalah salah satu hasil dari serangkaian usaha yang telah dijalankannya semenjak ada di Persada Studi Klub (PSK) pada kurun 1969—1977. Pula Umbu hanya salah satu dari ribuan anggota PSK yang beberapa di antaranya telah menempati posisi sebagai sastrawan yang mapan seperti Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, dan Emha Ainun Nadjib. Dalam arena sastra nasional, selama ini ketiga nama tersebut memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan anggota PSK lain, semisal Ragil Suwarna Pragolapati dan Iman Budhi Santosa
Setelah 36 tahun membubarkan diri, PSK masih menjadi bahan pembicaraan pada beberapa kesempatan, baik dalam tulisan-tulisan di media massa maupun acara-acara sastra. Pembicaraan mengenainya seringkali berasal dari orang-orang yang pernah bergabung di dalamnya. Pembicaraan tersebut lebih dari sekadar bernostalgia mengingat masa silam, tetapi merujuk masa silam itu sebagai masa kegemilangan dalam bersastra yang tidak ditemukan dalam masa kini.
Masa eksis PSK yang hanya 8 tahun menjadi besar dan hampir abadi karena pembicaraan mengenainya selalu dibumbui hal-hal yang sejatinya merupakan sikap pribadi, tetapi dikaitkan dengan komunitas ini. Misalnya, cerita tentang Umbu sebagai pangeran dari negeri Sumba yang memilih meninggalkan istana untuk menggelandang, kisah Ragil yang menghilang—tahun 1990 dan sampai kini jasadnya belum ditemukan—di Bukit Semar dalam pelatihan yoga sastra, dan keputusan Iman memilih menjadi penyair daripada pegawai negeri yang telah disandangnya, menjadi beberapa hal yang menutupi apa yang sebenarnya berlangsung semasa PSK eksis.
Agar PSK tidak terlanjur menjadi mitos dan dilupakan sejarah, terutama sejarah sastra nasional, dapat diantisipasi dengan melakukan kajian terhadap aktivitas anggota PSK baik selama eksis maupun setelah bubarnya. Bagaimanapun, PSK merupakan sebuah komunitas yang mudah saja dilupakan apabila tidak ada pihak-pihak yang mencoba mengabadikannya. Asumsi dasarnya, PSK tidak akan menjadi sebuah komunitas yang besar hanya dengan mengandalkan karya-karya para anggotanya, tetapi turut pula—bahkan mungkin lebih karena—pergerakan para anggotanya yang hingga sekarang masih terus menahbiskan komunitas itu sebagai sebuah komunitas sastra yang besar. Bahkan, pada akhirnya, penahbisan PSK sebagai sebuah komunitas yang legitimate turut mendongkrak status sosial para anggotanya dalam arena sastra yang berujung pada peraihan keuntungan ekonomi. 
Kajian ini mendasarkan analisis pada teori sosiologi sastra milik Pierre Bourdieu. Dengan sosiologi sastra Bourdieu, akan dikaji pergerakan pihak-pihak tertentu yang turut memperbesar nama PSK. Dalam pandangan Bourdieu(1995: 214) kajian-kajian ilmu budaya selalu mengandaikan tiga operasi yang selalu dihubungkan sebagai tiga tingkat realitas sosial. Pertama, menganalisis posisi arena sastra dalam arena kekuasaan. Kedua, menganalisis struktur internal dari arena sastra, yang berarti struktur hubungan objek berlaku efektif antara posisi yang ditempati oleh individu dan kelompok yang ditempatkan dalam situasi persaingan untuk legitimasi. Ketiga, analisis hendaknya melibatkan asal-usul habitus dari para agen, sistem disposisi (yang berkaitan dengan strategi), dan trajektorinya.
Habitus didefinisikan Bourdieu (1990: 53) sebagai sistem disposisi yang berlangsung lama, dapat berubah-ubah, struktur yang disusun untuk memengaruhi sebagai penyusun struktur, yaitu sebagai prinsip-prinsip yang menghasilkan dan mengatur praktik dan gambaran-gambaran yang dapat disesuaikan secara objektif untuk mendapatkan hasil tanpa mensyaratkan kesadaran akan tujuan akhir atau penguasaan khusus atas operasi-operasi yang mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Habitusmerupakan sesuatu yang mendasari, beroperasi, dan sudah dibatinkan pada diri agen dalam sebuah arena. Sementara arena diartikan Bourdieu dan Wacquant (1996: 97) sebagai suatu jaringan, atau suatu konfigurasi dari relasi objektif antara berbagai posisi. Bagi Harker (2009: 10) arena yang dimaksudkan Bourdieu merupakan tempat berlangsungnya perjuangan posisi-posisi. Perjuangan posisi-posisi ini tidak dapat dilepaskan dari modal yang dimiliki oleh agen di dalam suatu arena.
Modal yang dimaksudkan bukanlah semata modal dalam pengertian ekonomi, tetapi diartikan Bourdieu  (dalam Harker, 2009: 16--17) sebagai segala bentuk barang—baik materil maupun simbol, tanpa perbedaan—yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi sosial tertentu.Secara garis besar modal terbagi dalam empat jenis, yakni modal ekonomi modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Modal harus ada dalam suatu arena agar arena tersebut memiliki arti. Modal juga dipandangnya sebagai basis dominasi. Menurutnya, beragam jenis modal dapat ditukar dengan jenis-jenis modal lainnya—yang artinya modal bersifat ‘dapat ditukar’.
Adapun bagaimana ragam modal itu dipertaruhkan dalam suatu arena, hal itu bergantung strategi yang digunakan oleh para agen. Strategi diartikan Bourdieu (1990: 61) sebagai the product of the practice sense as the feel of game. Pada dasarnya strategi merupakan suatu praktik yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan atau melebarkan kekuasaan dalam suatu arena. Bourdieu (1984: 125—131) membagi strategi ke dalam dua macam strategi, yakni strategi reproduksi dan strategi rekonversi. Strategi reproduksi merupakan sekumpulan praktik yang dirancang oleh agen untuk mempertahankan atau meningkatkan modal ke arah masa depan. Sementara strategi rekonversi merupakan sejumlah pergerakan agen dalam ruang sosial yang terstruktur dalam dua dimensi, yakni keseluruhan jumlah modal yang terstruktur dan pembentukan jenis modal yang dominan dan terdominasi. Selain kedua macam strategi tersebut, Bourdieu (1990: 68) juga menyebut jenis strategi lain seperti strategi investasi biologis, strategi pewarisan, strategi pendidikan, strategi investasi ekonomi, dan strategi simbolis.
Ketika habitus dan modal dipraktikkan dalam strategi seorang agen di suatu arena dari waktu ke waktu, maka akan muncul trajektori agen. Trajektori didefinisikan Bourdieu (1995: 258—259) sebagai serangkaian posisi berturut-turut yang diduduki oleh agen atau kelompok agen di ruang yang berurutan. Menurutnya, setiap trajektori harus dipahami sebagai cara perjalanan atau perpindahan unik yang melalui ruang sosial. Di satu sisi, ada perpindahan agen yang dibatasi dalam sektor tunggal arena produksi kultural dan yang cocok untuk mengakumulasikan modal menjadi lebih besar atau lebih kecil. Di sisi lain, ada perpindahan yang menyiratkan perubahan sektor dan konversi dari satu jenis modal tertentu ke modal yang lain, atau bahkan konversi modal simbolik menjadi modal ekonomi.
Dengan konsep habitus, arena, modal, strategi, dan trajektori yang diuraikan di atas, akan dikaji sejumlah pergerakan agen-agen PSK dalam mengkonsekrasi komunitasnya sebagai komunitas yang besar dan legitimate. Mengingat banyaknya anggota PSK yang mencapai ribuan, kajian ini hanya akan mengambil beberapa anggota sebagai bahan analisis. Tentu, anggota yang dipilih sebagai objek kajian merupakan anggota yang aktif  dalam menyuarakan kebesaran nama komunitasnya dan memiliki posisi yang kini mapan dalam arena sastra nasional.  
Selama masa eksisnya, PSK menyelenggarakan sejumlah kegiatan seperti wisata sastra, poetry reading,poetry singing, dan agenda rutin diskusi sastra. Kegiatan terakhir berlangsung tiap pekan, bulanan, dan pada waktu-waktu tertentu. Kegiatan mereka kerap berlangsung di Jalan Malioboro, atau tepatnya di kantor mingguan Pelopor Jogja(sekarang Jogjakarta Library Center). Malioboro masa itu merupakan ruang bagi para seniman dan sastrawan dalam berproses kreatif.  
Kegiatan-kegiatan PSK ditopang oleh mingguanPelopor Jogja yang mempublikaskan karya-karya mereka.Pelopor Jogja merupakan pengayom sekaligus ruang bagi anggota PSK untuk meraih predikat sebagai penulis. DalamPelopor Jogja, hukum keberfungsian sebuah arena berlaku dengan monopoli legitimasi untuk menentukan seseorang disebut penulis yang dipegang redakturnya. Sebagaimana ditekankan Bourdieu (2010: 22) taruhan utama dalam pergulatan sastra adalah monopoli legitimasi sastra, yaitu, di antaranya, monopoli kekuasaan untuk mengatakan berdasarkan otoritas siapa yang berhak menyebut dirinya sebagai penulis.
Redaktur sastra Pelopor Jogja saat itu dipegang oleh Umbu yang telah memiliki modal simbolis sebagai penyair yang karyanya telah dimuat di beberapa media massa nasional seperti Mimbar Indonesia dan Basis. Dalam menjalankan fungsinya sebagai redaktur, Umbu membagi dua kolom dalam rubrik sastranya, yakni kolom Persada dan Sabana. Kolom pertama menjadi ruang bagi karya-karya yang dianggap masih pemula, sedangkan kolom kedua menjadi ruang bagi karya-karya yang dianggap telah memiliki kualitas estetik. Dalam kedua kolom tersebut, Umbu tidak hanya mewariskan modal simbolis yang dimilikinya, tetapi juga membagi-bagikan modal simbolis anggota-anggota PSK yang lain hingga Rampan (1984: 16) mengatakan bahwa Sabana dapat disejajarkan dengan HorisonBudaya Jaya, dan Basis karena sejumlah nama yang karyanya dimuat di kolom tersebut umumnya juga dimuat dalam media-media yang menjadi barometer sastra pada masa itu. Dengan demikian, kolom Sabana merupakan ruang bagi pengesahan seseorang apakah sudah dapat disebut penulis atau belum.
Pembagian rubrik sastra dalam dua kolom ini merupakan salah satu strategi Umbu untuk membekali para anggota PSK dalam percaturan di arena sastra nasional yang waktu itu terpusat di Jakarta. Terpusatnya arena sastra dekade 1970-an di Jakarta merupakan efek dari kebijakan Orde Baru yang serba sentralistik. Arena sastra yang terdominasi oleh arena kekuasaan mengakibatkan berlangsungnya perjuangan pihak-pihak tertentu di dalam arena sastra untuk meraih posisi-posisi yang dapat menguntungkan dari segi modal simbolis dan modal sosial. Dalam hal menghadapi kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Orde Baru, PSK memilih melawan secara langsung dan simbolis.
Aksi demonstrasi merupakan perlawanan langsung yang dilakukan beberapa anggota PSK yang mendongkrak status sosial mereka di internal PSK.  Sementara itu, aksi perlawanan simbolis mereka tunjukkan secara komunal dengan cara (1) menjadi eksistensialis di antara masyarakat yang mulai pragmatis, (2) mengagungkan nilai guna dengan tradisi memiskinkan diri ketika masyarakat berlomba mengejar materi, (3) membuat jarak dengan distansi bohemia agar tidak sama dengan masyarakat yang berlomba menumpuk citra kesuksesan, dan (4) membentuk pendidikan gaya baru saat banyak orang masuk pendidikan formal nan tinggi. Meskipun tidak mampu meruntuhkan dominasi Orde Baru, perlawanan-perlawanan tersebut menjadi investasi jangka panjang yang penting bagi disposisi mereka di arena sastra nasional.
Selama PSK eksis, arena sastra Indonesia terpusat di Jakarta dengan keberlangsungan kutub otonom dan kutub heteronom yang sama-sama sedang menaik sekaligus saling bertarung. Dalam kutub otonom, kesuksesan tidaklah diukur dari nilai ekonomi yang dihasilkan sebuah karya, tetapi dilihat dari derajat konsekrasi yang spesifik yang diberikan oleh para ahli sastra. Semakin banyak penghargaan yang diraih—dan ini biasanya berbanding terbalik dengan keuntungan ekonomi—semakin besarlah derajat kesuksesan yang dimiliki oleh seorang agen. Sebaliknya, dalam kutub heteronom kesuksesan diukur dari indeks angka penjualan buku atau jumlah pementasan teater. Dengan demikian, ukuran kesuksesan disandarkan pada keuntungan ekonomi.
Dalam kutub otonom, media massa seperti Horisondan Budaya Jaya menjadi ruang pertarungan yang mendominasi arena sastra nasional. Di dalam kutub ini (bukan dalam media massanya) terjadi eksperimen-eksperimen pembaharuan dalam sajak yang dilakukan oleh Rendra, Remy Silado, dan Sutardji Calzoum Bachri. Sementara itu, di eksperimen bidang prosa dilakukan oleh Iwan Simatupang melalui novel-esainya.
Dalam kutub otonom yang demikian, PSK dihadapkan pada dua pilihan apakah menginduk pada arena sastra di pusat atau berusaha menciptakan kubu tersendiri dengan mengusung konsep estetika yang baru, yang memberontak pusat dengan mengadakan semacam Pengadilan Puisi yang digelar di Bandung yang berusaha meruntuhkan dominasiHorison dan Budaya Jaya. Namun, PSK memilih bersikap mendua, di satu sisi mereka menurut pada apa yang digariskan pusat, di sisi yang lain mereka mendukung upaya-upaya yang memberontak pusat ketika beberapa anggotanya hadir dalam Pengadilan Puisi dan ikut gerakan Puisi Mbeling. Dengan cara ini mereka akan menjadi kawan siapa pun yang menang; apakah penyair-penyair mapan yang bertahan ataukah para “pemberontak” yang sukses menggulingkan.
Sementara itu, kutub heteronom terbangun dari penerbit-penerbit skala besar yang menjalin jejaring dengan media massa popular. Dalam kedua ruang tersebut, karya-karya sastra popular mendapatkan tempat dan menjadi fenomena dalam arena sastra nasional dekade 1970-an. Menghadapi kutub heteronom, PSK bersikap menjadi oposisi dengan gagasan untuk mengekspansi media-media popoular agar karya-karya sastra serius dapat masuk ke dalamnya (Pragolapati, 1973).
Dapat disimpulkan, PSK ketika masih eksis tidak berusaha untuk menciptakan gerakan sastra yang akan mengangkat nama komunitas dan anggota-anggotanya. Mereka lebih banyak beraktivitas sastra secara mandiri guna memperluas jangkauan anggota dan karya-karya mereka. Dengan cara seperti itu mereka sebenarnya juga mengharapkan respek dari pusat ketika memanggil sejumlah sastrawan yang sudah mapan untuk berbicara di kegiatan mereka. 
Dalam hal berkarya, mereka cenderung untuk menyerap dan mengafirmasi sejumlah kaidah dari pusat dengan cara mengirimkan karya-karya mereka ke media massa yang ada di sana. Sejumlah anggota dalam berproses di PSK masih mencoba mendalami gaya bahasa sastrawan-sastrawan yang telah mapan di pusat arena sastra. Sajak-sajak awal Linus Suryadi AG dalam penelitian Bakdi Soemanto (1985) memiliki kemiripan dengan Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, dan Subagio Sastrowardoyo. Saat itu Linus menulis sajak-sajak liris yang menurut Soemanto masih dalam tahap pencapaian teknis. Iman Budhi Santosa menurut Linus Suryadi AG (1989: 63) dalam awal kepenyairannya memiliki gaya ekspresi yang dekat dengan Sapardi Djoko Damono. Sajak-sajak awal Emha Ainun Nadjib menurut Halim HD (2006: 9) belum beranjak dari gaya Sapardi dan Goenawan. Selain sebagai penurut, sejumlah anggota PSK juga mencoba menjadi pengikut seperti Korrie Layun Rampan dan Sutirman Eka Ardhana yang pernah menulis Puisi Mbeling dalam majalahAktuil. Dengan demikian, anggota-anggota PSK masih cenderung untuk bersikap sebagai penurut bagi yang mapan dan pengikut bagi yang akan mapan. 
Akan tetapi, tidak selamanya mereka menjadi penurut dan pengikut. Ketika PSK telah bubar, sejumlah anggota merasakan putusnya keterikatan untuk menjadi penurut dan pengikut. Mereka mulai memperebutkan posisi dalam arena sastra nasional dengan modal yang telah diraihnya selama di PSK. Dalam rangka pendakian nama di arena sastra nasional, sebagian dari anggota PSK kerap menceritakan proses kreatif bersama komunitasnya dengan saling memuji atau mengucapkan terima kasih simbolis bagi para pengasuhnya.  
Seperti telah disebutkan sebelumnya, di antara mereka yang berhasil meraih posisi yang mapan (berkat sanjungan beberapa kritikus sastra) dalam arena sastra nasional adalah Linus, Korrie, dan Emha. Keberhasilan mereka diraih dengan strategi-strategi pribadi, tetapi mengandalkan modal-modal yang telah dikumpulkannya selama ada di PSK. Linus yang selama di PSK telah dikenal sebagai penulis puisi lirik kemudian menulis novel lirikPengakuan Pariyem. Korrie yang selama di PSK tekun meresensi novel menggarap novel warna lokal denganUpacara yang mengangkat kehidupan dayak. Sementara Emha yang sudah dikenal sebagai aktivis dan kritikus teater membuktikan diri dengan sejumlah pertunjukkan, yang satu di antaranya Lautan Jilbab, yang sampai kini masih disebut-sebut sebagai salah satu pertunjukkan teater tersukses.
Salah satu hal yang membuat ketiga nama ini lebih diakui arena sastra nasional dibandingkan para pendiri PSK seperti Umbu, Ragil, dan Iman adalah bahwa mereka mampu menciptakan wacana baru tinimbang sekadar mengomentari wacana yang sudah ada. Linus membuat wacana baru ketika ia menyusun Tonggak berdasarkan tahun kelahiran sastrawan, bukan berdasarkan permunculan karya. Korrie mewacanakan lahirnya Angkatan ’80 (beberapa tahun kemudian ia juga mewacanakan lahirnya angkatan 2000) dengan merespons karya-karya pada masa itu. Emha mewacanakan “Sastra Independen” ketika menyeruak perdebatan sastra kontekstual. Kecuali Emha, dalam menciptakan wacana-wacana baru tersebut, mereka berusaha memasukkan nama-nama anggota PSK sebagai bagian dari pengisinya.
Ketika telah berhasil berada di posisi atas sastra nasional, ketiga anggota ini mencoba mengangkat karya dan nama para pendiri PSK dengan beragam cara. Mereka seolah memiliki hutang budi yang besar kepada para seniornya. Meskipun mereka mendapatkan posisi yang mapan dalam arena sastra nasional berkat kerja keras pribadi, peran para senior PSK tidak dapat mereka lupakan. Bahkan, mereka mampu menjadi agen bagi nama besar PSK ketika sejumlah tulisan mereka yang mengangkat para seniornya selalu dikaitkan dengan komunitas tersebut.
Linus berusaha mengangkat karya para seniornya dalam Tonggak. Antologi sajak ini merupakan legitimasi atas karya-karya sejumlah sastrawan sebagai bagian dari sastra nasional. Seolah mewarisi ketekunan Ragil dalam hal pendokumentasian sastra, Linus berusaha mengangkat karya—sekaligus nama—para pendiri (dan anggota) PSK dengan sajak-sajak yang dipilihnya untuk disejajarkan dengan sejumlah sastrawan nasional.
Dalam sebuah esainya, Linus pernah memuji Iman Budhi Santosa sebagai penyair berbakat yang produktif tanpa buku. Linus mengawali tulisannya dengan narasi seputar PSK dan proses kreatif yang ada di sana untuk kemudian mempertanyakan apakah bakat kepenyairan Iman dapat berkembang dengan baik apabila tidak bergabung dengan PSK? Bagi Linus, Iman telah memberi variasi citra kehidupan puisi Indonesia meskipun arena sastra Indonesia hingga kini belum banyak mengangkat nama Iman dan karya-karyanya. Esai Linus ini selain menyuratkan pujian kepada Iman juga menyiratkan kesan bahwa PSK merupakan komunitas yang mampu melahirkan penyair berbakat seperti Iman—yang secara otomatis juga mengangkat Linus sebagai bagian dari komunitas tersebut.
Korrie pernah mencoba menganalisis karya-karya Umbu pada Horison 2006 yang ternyata merupakan pengulangan usahanya dalam buku Suara Pancaran Sastra.Dalam Horison, tidak sampai setengah tulisan ia telah jatuh pada pemujian terhadap jasa-jasa dan kehidupan Umbu. Sementara di buku Suara Pancaran Sastra pembahasannya sedikit lebih baik dengan menunjukkan sejumlah ciri khas sajak-sajak Umbu. Namun, usahanya ini tidak mendapatkan sambutan yang cukup baik dari arena sastra nasional selain kembali meneguhkan Umbu sebagai figur pengasuh sastrawan. Hal yang berbeda justru dilakukan oleh Emha yang tidak berusaha menganalisis karya-karya para seniornya untuk kemudian dipuji unsur-unsur estetikanya. Emha memilih cara berterus terang tentang para seniornya.
Ketika menolak Hadiah Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Emha merefrensikan nama Iman apabila ia akan diberi hadiah atas dasar kepenyairannya. Dalam pandangan Emha, Iman merupakan penyair yang membayarkan seluruh kehidupannya kepada kesetiaan berpuisi dan secara kualitas Iman sungguh-sungguh penyair teras Yogya. Sementara itu, dalam hubungannya dengan Ragil, Emha memujinya sebagai dokumentator yang tekun hingga karcis pertunjukkan teater pun dikoleksinya. Tidak hanya itu, bahkan hilangnya Ragil dianggap Emha sebagai sebuah proses moksa karena baginya Ragil langsung disurgakan.  
Emha merupakan salah satu anggota PSK yang berhasil menciptakan Umbu sebagai sosok yang imajinatif. Emha tidak mengisahkannya dengan cerita pendek yang fiktif, tetapi melalui sejumlah pembicaraan dan tulisan dalam bentuk esai. Dalam pandangan Emha, Umbu merupakan sosok yang menjalani hidup secara zuhud dengan meninggalkan harta, kekuasaan, wanita, dan kemasyhuran. Umbu orang yang menghindari popularitas hingga diceritakan Emha bahwa pada tahun 1973 puluhan puisinya akan dimuat oleh Majalah Horison, tetapi Umbu diam-diam masuk ke percetakan tempat majalah itu dicetak lalu mencuri sajak-sajaknya dan menyembunyikannya hingga sekarang.   
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Linus, Korrie, dan Emha, untuk mengangkat nama-nama para seniornya dalam arena sastra nasional merupakan bentuk terima kasih simbolis mereka kepada para senior yang secara tidak langsung turut pula mengkonsekrasi PSK sebagai komunitas yang tersohor dengan orang-orang berbakat yang mereka puja. Terima kasih simbolis ini menandakan kedekatan mereka terhadap orang-orang yang mereka sebutkan yang berarti menumpuk modal simbolis bagi mereka sendiri. Selain itu, terima kasih simbolis ini juga merupakan bentuk pelegitimasian diri mereka sendiri sebagai anggota PSK yang telah mapan di arena sastra nasional sehingga berhak mengangkat senior mereka yang belum mapan. 
Kini Linus telah mendiang, Ragil masih hilang, Umbu telah hijrah ke Bali, Korrie menyeberang ke Kalimantan, hanya Iman dan Emha yang masih eksis di Yogyakarta. Keempat nama terakhir, dan beberapa anggota PSK yang lain (seperti Mustofa W. Hasyim dan Teguh Ranusastra Asmara), kini sama-sama dapat mengunduh hasil dari apa yang telah mereka kerjakan dengan mengubah modal simbolis dan modal sosial yang telah dimilikinya menjadi keuntungan ekonomi seperti ketika diundang menjadi pembicara acara sastra, menulis kata pengantar, mengeditori antologi, mengisi kursus kepenulisan, mengirimkan tulisan ke—atau bahkan diminta oleh—media massa dan penerbit, serta memberikan endorsement pada penulis-penulis (muda) yang ingin disahkan sebagai sastrawan.
Meskipun demikian, mereka tidak akan semena-mena mengubah modal-modal yang telah dimilikinya menjadi keuntungan ekonomi karena kesemena-menaan itu justru akan menurunkan posisi mereka yang kharismatis dan idealis. Selain itu, pada diri merekalah kesan PSK dilekatkan sehingga apabila mereka berubah menjadi pragmatis.

Sumber : web Taman Budaya Yogyakarta


No comments:

Post a Comment