Oleh Asef Saeful Anwar
“Saya cuma menjalankan apa yang sudah
digariskan oleh langit.”
Demikian
jawaban Umbu Landu Paranggi ketika ditanya Kompas (Minggu, 18
November 2012) mengapa ia tidak menekuni dunia kepenyairan seperti Chairil
Anwar, Sitor Situmorang, Sutardji Calzoum Bachri, atau Rendra. Bagi Umbu,
seseorang memiliki peran masing-masing dalam hidup ini dan Umbu merasa dirinya
memiliki peran sebagai pengasuh para sastrawan. Apa yang diungkapkan Umbu
bukanlah semata bentuk kerendah-hatian, melainkan juga sebuah upaya penciptaan
posisi yang baru dalam arena sastra. Ia bukanlah sastrawan, tetapi pengasuh
para sastrawan. Singkatnya, ia telah menempati posisi baru dalam arena sastra
di antara sastrawan dan kritikus sastra. Bahkan, posisinya ini dianggap lebih
tinggi daripada sastrawan (dan mungkin berpotensi mengancam posisi kritikus
sastra?)
Pencapaian posisi yang
diraih Umbu tersebut hanyalah salah satu hasil dari serangkaian usaha yang
telah dijalankannya semenjak ada di Persada Studi Klub (PSK) pada kurun
1969—1977. Pula Umbu hanya salah satu dari ribuan anggota PSK yang beberapa di
antaranya telah menempati posisi sebagai sastrawan yang mapan seperti Linus
Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, dan Emha Ainun Nadjib. Dalam arena sastra
nasional, selama ini ketiga nama tersebut memiliki posisi yang lebih tinggi
dibandingkan anggota PSK lain, semisal Ragil Suwarna Pragolapati dan Iman Budhi
Santosa
Setelah 36 tahun
membubarkan diri, PSK masih menjadi bahan pembicaraan pada beberapa kesempatan,
baik dalam tulisan-tulisan di media massa maupun acara-acara sastra.
Pembicaraan mengenainya seringkali berasal dari orang-orang yang pernah
bergabung di dalamnya. Pembicaraan tersebut lebih dari sekadar bernostalgia
mengingat masa silam, tetapi merujuk masa silam itu sebagai masa kegemilangan
dalam bersastra yang tidak ditemukan dalam masa kini.
Masa eksis PSK yang hanya 8 tahun menjadi
besar dan hampir abadi karena pembicaraan mengenainya selalu dibumbui hal-hal
yang sejatinya merupakan sikap pribadi, tetapi dikaitkan dengan komunitas ini.
Misalnya, cerita tentang Umbu sebagai pangeran dari negeri Sumba yang memilih
meninggalkan istana untuk menggelandang, kisah Ragil yang menghilang—tahun 1990
dan sampai kini jasadnya belum ditemukan—di Bukit Semar dalam pelatihan yoga
sastra, dan keputusan Iman memilih menjadi penyair daripada pegawai negeri yang
telah disandangnya, menjadi beberapa hal yang menutupi apa yang sebenarnya
berlangsung semasa PSK eksis.
Agar PSK tidak terlanjur
menjadi mitos dan dilupakan sejarah, terutama sejarah sastra nasional, dapat
diantisipasi dengan melakukan kajian terhadap aktivitas anggota PSK baik selama
eksis maupun setelah bubarnya. Bagaimanapun, PSK merupakan sebuah komunitas
yang mudah saja dilupakan apabila tidak ada pihak-pihak yang mencoba
mengabadikannya. Asumsi dasarnya, PSK tidak akan menjadi sebuah komunitas yang
besar hanya dengan mengandalkan karya-karya para anggotanya, tetapi turut
pula—bahkan mungkin lebih karena—pergerakan para anggotanya yang hingga
sekarang masih terus menahbiskan komunitas itu sebagai sebuah komunitas sastra
yang besar. Bahkan, pada akhirnya, penahbisan PSK sebagai sebuah komunitas yang legitimate turut
mendongkrak status sosial para anggotanya dalam arena sastra yang berujung pada
peraihan keuntungan ekonomi.
Kajian
ini mendasarkan analisis pada teori sosiologi sastra milik Pierre Bourdieu.
Dengan sosiologi sastra Bourdieu, akan dikaji pergerakan pihak-pihak tertentu
yang turut memperbesar nama PSK. Dalam pandangan Bourdieu(1995: 214)
kajian-kajian ilmu budaya selalu mengandaikan tiga operasi yang selalu
dihubungkan sebagai tiga tingkat realitas sosial. Pertama,
menganalisis posisi arena sastra dalam arena kekuasaan. Kedua,
menganalisis struktur internal dari arena sastra, yang berarti struktur
hubungan objek berlaku efektif antara posisi yang ditempati oleh individu dan
kelompok yang ditempatkan dalam situasi persaingan untuk legitimasi. Ketiga,
analisis hendaknya melibatkan asal-usul habitus dari para agen, sistem
disposisi (yang berkaitan dengan strategi), dan trajektorinya.
Habitus didefinisikan
Bourdieu (1990: 53) sebagai sistem disposisi yang berlangsung lama, dapat
berubah-ubah, struktur yang disusun untuk memengaruhi sebagai penyusun
struktur, yaitu sebagai prinsip-prinsip yang menghasilkan dan mengatur praktik
dan gambaran-gambaran yang dapat disesuaikan secara objektif untuk mendapatkan
hasil tanpa mensyaratkan kesadaran akan tujuan akhir atau penguasaan khusus
atas operasi-operasi yang mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Habitusmerupakan sesuatu yang mendasari, beroperasi, dan sudah dibatinkan pada
diri agen dalam sebuah arena. Sementara arena diartikan Bourdieu dan Wacquant
(1996: 97) sebagai suatu jaringan, atau suatu konfigurasi dari relasi objektif
antara berbagai posisi. Bagi Harker (2009: 10) arena yang dimaksudkan Bourdieu
merupakan tempat berlangsungnya perjuangan posisi-posisi. Perjuangan
posisi-posisi ini tidak dapat dilepaskan dari modal yang dimiliki oleh agen di
dalam suatu arena.
Modal
yang dimaksudkan bukanlah semata modal dalam pengertian ekonomi, tetapi
diartikan Bourdieu (dalam Harker, 2009: 16--17) sebagai segala
bentuk barang—baik materil maupun simbol, tanpa perbedaan—yang mempresentasikan
dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi
sosial tertentu.Secara garis besar modal terbagi dalam empat jenis, yakni modal
ekonomi modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Modal harus ada
dalam suatu arena agar arena tersebut memiliki arti. Modal juga dipandangnya
sebagai basis dominasi. Menurutnya, beragam jenis modal dapat ditukar dengan
jenis-jenis modal lainnya—yang artinya modal bersifat ‘dapat ditukar’.
Adapun
bagaimana ragam modal itu dipertaruhkan dalam suatu arena, hal itu bergantung
strategi yang digunakan oleh para agen. Strategi diartikan Bourdieu (1990:
61) sebagai the product of the practice sense as the feel of game.
Pada dasarnya strategi merupakan suatu praktik yang digunakan untuk
mempertahankan kekuasaan atau melebarkan kekuasaan dalam suatu arena. Bourdieu
(1984: 125—131) membagi strategi ke dalam dua macam strategi, yakni strategi
reproduksi dan strategi rekonversi. Strategi reproduksi merupakan sekumpulan
praktik yang dirancang oleh agen untuk mempertahankan atau meningkatkan modal
ke arah masa depan. Sementara strategi rekonversi merupakan sejumlah pergerakan
agen dalam ruang sosial yang terstruktur dalam dua dimensi, yakni keseluruhan
jumlah modal yang terstruktur dan pembentukan jenis modal yang dominan dan
terdominasi. Selain kedua macam strategi tersebut, Bourdieu (1990: 68) juga
menyebut jenis strategi lain seperti strategi investasi biologis, strategi
pewarisan, strategi pendidikan, strategi investasi ekonomi, dan strategi
simbolis.
Ketika
habitus dan modal dipraktikkan dalam strategi seorang agen di suatu arena dari
waktu ke waktu, maka akan muncul trajektori agen. Trajektori didefinisikan
Bourdieu (1995: 258—259) sebagai serangkaian posisi berturut-turut yang diduduki
oleh agen atau kelompok agen di ruang yang berurutan. Menurutnya, setiap
trajektori harus dipahami sebagai cara perjalanan atau perpindahan unik yang
melalui ruang sosial. Di satu sisi, ada perpindahan agen yang dibatasi dalam
sektor tunggal arena produksi kultural dan yang cocok untuk mengakumulasikan
modal menjadi lebih besar atau lebih kecil. Di sisi lain, ada perpindahan yang
menyiratkan perubahan sektor dan konversi dari satu jenis modal tertentu ke
modal yang lain, atau bahkan konversi modal simbolik menjadi modal ekonomi.
Dengan
konsep habitus, arena, modal, strategi, dan trajektori yang diuraikan di atas,
akan dikaji sejumlah pergerakan agen-agen PSK dalam mengkonsekrasi komunitasnya
sebagai komunitas yang besar dan legitimate. Mengingat banyaknya
anggota PSK yang mencapai ribuan, kajian ini hanya akan mengambil beberapa
anggota sebagai bahan analisis. Tentu, anggota yang dipilih sebagai objek
kajian merupakan anggota yang aktif dalam menyuarakan kebesaran nama
komunitasnya dan memiliki posisi yang kini mapan dalam arena sastra
nasional.
Selama masa eksisnya, PSK
menyelenggarakan sejumlah kegiatan seperti wisata sastra, poetry
reading,poetry singing, dan agenda rutin diskusi sastra. Kegiatan
terakhir berlangsung tiap pekan, bulanan, dan pada waktu-waktu tertentu.
Kegiatan mereka kerap berlangsung di Jalan Malioboro, atau tepatnya di kantor
mingguan Pelopor Jogja(sekarang Jogjakarta Library Center).
Malioboro masa itu merupakan ruang bagi para seniman dan sastrawan dalam
berproses kreatif.
Kegiatan-kegiatan PSK
ditopang oleh mingguanPelopor Jogja yang mempublikaskan karya-karya
mereka.Pelopor Jogja merupakan pengayom sekaligus ruang bagi
anggota PSK untuk meraih predikat sebagai penulis. DalamPelopor Jogja,
hukum keberfungsian sebuah arena berlaku dengan monopoli legitimasi untuk
menentukan seseorang disebut penulis yang dipegang redakturnya. Sebagaimana
ditekankan Bourdieu (2010: 22) taruhan utama dalam pergulatan sastra adalah
monopoli legitimasi sastra, yaitu, di antaranya, monopoli kekuasaan untuk
mengatakan berdasarkan otoritas siapa yang berhak menyebut dirinya sebagai
penulis.
Redaktur sastra Pelopor Jogja saat
itu dipegang oleh Umbu yang telah memiliki modal simbolis sebagai penyair yang
karyanya telah dimuat di beberapa media massa nasional seperti Mimbar
Indonesia dan Basis. Dalam menjalankan fungsinya sebagai
redaktur, Umbu membagi dua kolom dalam rubrik sastranya, yakni kolom Persada
dan Sabana. Kolom pertama menjadi ruang bagi karya-karya yang dianggap masih
pemula, sedangkan kolom kedua menjadi ruang bagi karya-karya yang dianggap
telah memiliki kualitas estetik. Dalam kedua kolom tersebut, Umbu tidak hanya
mewariskan modal simbolis yang dimilikinya, tetapi juga membagi-bagikan modal
simbolis anggota-anggota PSK yang lain hingga Rampan (1984: 16) mengatakan
bahwa Sabana dapat disejajarkan dengan Horison, Budaya Jaya,
dan Basis karena sejumlah nama yang karyanya dimuat di kolom
tersebut umumnya juga dimuat dalam media-media yang menjadi barometer sastra
pada masa itu. Dengan demikian, kolom Sabana merupakan ruang bagi pengesahan
seseorang apakah sudah dapat disebut penulis atau belum.
Pembagian rubrik sastra dalam dua kolom ini
merupakan salah satu strategi Umbu untuk membekali para anggota PSK dalam
percaturan di arena sastra nasional yang waktu itu terpusat di Jakarta.
Terpusatnya arena sastra dekade 1970-an di Jakarta merupakan efek dari
kebijakan Orde Baru yang serba sentralistik. Arena sastra yang terdominasi oleh
arena kekuasaan mengakibatkan berlangsungnya perjuangan pihak-pihak tertentu di
dalam arena sastra untuk meraih posisi-posisi yang dapat menguntungkan dari
segi modal simbolis dan modal sosial. Dalam hal menghadapi kebijakan-kebijakan
yang ditetapkan Orde Baru, PSK memilih melawan secara langsung dan simbolis.
Aksi demonstrasi merupakan
perlawanan langsung yang dilakukan beberapa anggota PSK yang mendongkrak status
sosial mereka di internal PSK. Sementara itu, aksi perlawanan
simbolis mereka tunjukkan secara komunal dengan cara (1) menjadi eksistensialis
di antara masyarakat yang mulai pragmatis, (2) mengagungkan nilai guna dengan
tradisi memiskinkan diri ketika masyarakat berlomba mengejar materi, (3)
membuat jarak dengan distansi bohemia agar tidak sama dengan masyarakat yang
berlomba menumpuk citra kesuksesan, dan (4) membentuk pendidikan gaya baru saat
banyak orang masuk pendidikan formal nan tinggi. Meskipun tidak mampu
meruntuhkan dominasi Orde Baru, perlawanan-perlawanan tersebut menjadi
investasi jangka panjang yang penting bagi disposisi mereka di arena sastra nasional.
Selama
PSK eksis, arena sastra Indonesia terpusat di Jakarta dengan keberlangsungan
kutub otonom dan kutub heteronom yang sama-sama sedang menaik sekaligus saling
bertarung. Dalam kutub otonom, kesuksesan tidaklah diukur dari nilai
ekonomi yang dihasilkan sebuah karya, tetapi dilihat dari derajat konsekrasi
yang spesifik yang diberikan oleh para ahli sastra. Semakin banyak penghargaan
yang diraih—dan ini biasanya berbanding terbalik dengan keuntungan
ekonomi—semakin besarlah derajat kesuksesan yang dimiliki oleh seorang agen.
Sebaliknya, dalam kutub heteronom kesuksesan diukur dari indeks angka penjualan
buku atau jumlah pementasan teater. Dengan demikian, ukuran kesuksesan
disandarkan pada keuntungan ekonomi.
Dalam
kutub otonom, media massa seperti Horisondan Budaya Jaya menjadi
ruang pertarungan yang mendominasi arena sastra nasional. Di dalam kutub ini
(bukan dalam media massanya) terjadi eksperimen-eksperimen pembaharuan dalam
sajak yang dilakukan oleh Rendra, Remy Silado, dan Sutardji Calzoum Bachri.
Sementara itu, di eksperimen bidang prosa dilakukan oleh Iwan Simatupang
melalui novel-esainya.
Dalam
kutub otonom yang demikian, PSK dihadapkan pada dua pilihan apakah menginduk
pada arena sastra di pusat atau berusaha menciptakan kubu tersendiri dengan
mengusung konsep estetika yang baru, yang memberontak pusat dengan mengadakan
semacam Pengadilan Puisi yang digelar di Bandung yang berusaha meruntuhkan
dominasiHorison dan Budaya Jaya. Namun, PSK memilih
bersikap mendua, di satu sisi mereka menurut pada apa yang digariskan pusat, di
sisi yang lain mereka mendukung upaya-upaya yang memberontak pusat ketika
beberapa anggotanya hadir dalam Pengadilan Puisi dan ikut gerakan Puisi
Mbeling. Dengan cara ini mereka akan menjadi kawan siapa pun yang menang;
apakah penyair-penyair mapan yang bertahan ataukah para “pemberontak” yang
sukses menggulingkan.
Sementara
itu, kutub heteronom terbangun dari penerbit-penerbit skala besar yang menjalin
jejaring dengan media massa popular. Dalam kedua ruang tersebut, karya-karya
sastra popular mendapatkan tempat dan menjadi fenomena dalam arena sastra
nasional dekade 1970-an. Menghadapi kutub heteronom, PSK bersikap menjadi
oposisi dengan gagasan untuk mengekspansi media-media popoular agar karya-karya
sastra serius dapat masuk ke dalamnya (Pragolapati, 1973).
Dapat
disimpulkan, PSK ketika masih eksis tidak berusaha untuk menciptakan gerakan
sastra yang akan mengangkat nama komunitas dan anggota-anggotanya. Mereka lebih
banyak beraktivitas sastra secara mandiri guna memperluas jangkauan anggota dan
karya-karya mereka. Dengan cara seperti itu mereka sebenarnya juga mengharapkan
respek dari pusat ketika memanggil sejumlah sastrawan yang sudah mapan untuk
berbicara di kegiatan mereka.
Dalam hal berkarya, mereka
cenderung untuk menyerap dan mengafirmasi sejumlah kaidah dari pusat dengan
cara mengirimkan karya-karya mereka ke media massa yang ada di sana. Sejumlah
anggota dalam berproses di PSK masih mencoba mendalami gaya bahasa sastrawan-sastrawan
yang telah mapan di pusat arena sastra. Sajak-sajak awal Linus Suryadi AG dalam
penelitian Bakdi Soemanto (1985) memiliki kemiripan dengan Goenawan Mohammad,
Sapardi Djoko Damono, dan Subagio Sastrowardoyo. Saat itu Linus menulis
sajak-sajak liris yang menurut Soemanto masih dalam tahap pencapaian teknis.
Iman Budhi Santosa menurut Linus Suryadi AG (1989: 63) dalam awal
kepenyairannya memiliki gaya ekspresi yang dekat dengan Sapardi Djoko Damono.
Sajak-sajak awal Emha Ainun Nadjib menurut Halim HD (2006: 9) belum beranjak
dari gaya Sapardi dan Goenawan. Selain sebagai penurut, sejumlah anggota PSK
juga mencoba menjadi pengikut seperti Korrie Layun Rampan dan Sutirman Eka
Ardhana yang pernah menulis Puisi Mbeling dalam majalahAktuil.
Dengan demikian, anggota-anggota PSK masih cenderung untuk bersikap sebagai
penurut bagi yang mapan dan pengikut bagi yang akan mapan.
Akan tetapi, tidak
selamanya mereka menjadi penurut dan pengikut. Ketika PSK telah bubar, sejumlah
anggota merasakan putusnya keterikatan untuk menjadi penurut dan pengikut.
Mereka mulai memperebutkan posisi dalam arena sastra nasional dengan modal yang
telah diraihnya selama di PSK. Dalam rangka pendakian nama di arena sastra
nasional, sebagian dari anggota PSK kerap menceritakan proses kreatif bersama
komunitasnya dengan saling memuji atau mengucapkan terima kasih simbolis bagi
para pengasuhnya.
Seperti telah disebutkan
sebelumnya, di antara mereka yang berhasil meraih posisi yang mapan (berkat
sanjungan beberapa kritikus sastra) dalam arena sastra nasional adalah Linus,
Korrie, dan Emha. Keberhasilan mereka diraih dengan strategi-strategi pribadi,
tetapi mengandalkan modal-modal yang telah dikumpulkannya selama ada di PSK.
Linus yang selama di PSK telah dikenal sebagai penulis puisi lirik kemudian
menulis novel lirikPengakuan Pariyem. Korrie yang selama di PSK tekun
meresensi novel menggarap novel warna lokal denganUpacara yang
mengangkat kehidupan dayak. Sementara Emha yang sudah dikenal sebagai aktivis
dan kritikus teater membuktikan diri dengan sejumlah pertunjukkan, yang satu di
antaranya Lautan Jilbab, yang sampai kini masih disebut-sebut
sebagai salah satu pertunjukkan teater tersukses.
Salah satu hal yang membuat
ketiga nama ini lebih diakui arena sastra nasional dibandingkan para pendiri
PSK seperti Umbu, Ragil, dan Iman adalah bahwa mereka mampu menciptakan wacana
baru tinimbang sekadar mengomentari wacana yang sudah ada. Linus membuat wacana
baru ketika ia menyusun Tonggak berdasarkan tahun kelahiran
sastrawan, bukan berdasarkan permunculan karya. Korrie mewacanakan lahirnya
Angkatan ’80 (beberapa tahun kemudian ia juga mewacanakan lahirnya angkatan
2000) dengan merespons karya-karya pada masa itu. Emha mewacanakan “Sastra
Independen” ketika menyeruak perdebatan sastra kontekstual. Kecuali Emha, dalam
menciptakan wacana-wacana baru tersebut, mereka berusaha memasukkan nama-nama
anggota PSK sebagai bagian dari pengisinya.
Ketika telah berhasil
berada di posisi atas sastra nasional, ketiga anggota ini mencoba mengangkat
karya dan nama para pendiri PSK dengan beragam cara. Mereka seolah memiliki
hutang budi yang besar kepada para seniornya. Meskipun mereka mendapatkan
posisi yang mapan dalam arena sastra nasional berkat kerja keras pribadi, peran
para senior PSK tidak dapat mereka lupakan. Bahkan, mereka mampu menjadi agen
bagi nama besar PSK ketika sejumlah tulisan mereka yang mengangkat para
seniornya selalu dikaitkan dengan komunitas tersebut.
Linus berusaha mengangkat
karya para seniornya dalam Tonggak. Antologi sajak ini merupakan
legitimasi atas karya-karya sejumlah sastrawan sebagai bagian dari sastra
nasional. Seolah mewarisi ketekunan Ragil dalam hal pendokumentasian sastra,
Linus berusaha mengangkat karya—sekaligus nama—para pendiri (dan anggota) PSK
dengan sajak-sajak yang dipilihnya untuk disejajarkan dengan sejumlah sastrawan
nasional.
Dalam sebuah esainya, Linus
pernah memuji Iman Budhi Santosa sebagai penyair berbakat yang produktif tanpa
buku. Linus mengawali tulisannya dengan narasi seputar PSK dan proses kreatif
yang ada di sana untuk kemudian mempertanyakan apakah bakat kepenyairan Iman
dapat berkembang dengan baik apabila tidak bergabung dengan PSK? Bagi Linus,
Iman telah memberi variasi citra kehidupan puisi Indonesia meskipun arena
sastra Indonesia hingga kini belum banyak mengangkat nama Iman dan
karya-karyanya. Esai Linus ini selain menyuratkan pujian kepada Iman juga
menyiratkan kesan bahwa PSK merupakan komunitas yang mampu melahirkan penyair
berbakat seperti Iman—yang secara otomatis juga mengangkat Linus sebagai bagian
dari komunitas tersebut.
Korrie pernah mencoba
menganalisis karya-karya Umbu pada Horison 2006 yang ternyata
merupakan pengulangan usahanya dalam buku Suara Pancaran Sastra.Dalam Horison,
tidak sampai setengah tulisan ia telah jatuh pada pemujian terhadap jasa-jasa
dan kehidupan Umbu. Sementara di buku Suara Pancaran Sastra pembahasannya
sedikit lebih baik dengan menunjukkan sejumlah ciri khas sajak-sajak Umbu.
Namun, usahanya ini tidak mendapatkan sambutan yang cukup baik dari arena
sastra nasional selain kembali meneguhkan Umbu sebagai figur pengasuh
sastrawan. Hal yang berbeda justru dilakukan oleh Emha yang tidak berusaha
menganalisis karya-karya para seniornya untuk kemudian dipuji unsur-unsur
estetikanya. Emha memilih cara berterus terang tentang para seniornya.
Ketika menolak Hadiah Seni
dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Emha merefrensikan nama Iman
apabila ia akan diberi hadiah atas dasar kepenyairannya. Dalam pandangan Emha,
Iman merupakan penyair yang membayarkan seluruh kehidupannya kepada kesetiaan
berpuisi dan secara kualitas Iman sungguh-sungguh penyair teras Yogya.
Sementara itu, dalam hubungannya dengan Ragil, Emha memujinya sebagai
dokumentator yang tekun hingga karcis pertunjukkan teater pun dikoleksinya.
Tidak hanya itu, bahkan hilangnya Ragil dianggap Emha sebagai sebuah proses moksa karena
baginya Ragil langsung disurgakan.
Emha merupakan salah satu
anggota PSK yang berhasil menciptakan Umbu sebagai sosok yang imajinatif. Emha
tidak mengisahkannya dengan cerita pendek yang fiktif, tetapi melalui sejumlah
pembicaraan dan tulisan dalam bentuk esai. Dalam pandangan Emha, Umbu merupakan
sosok yang menjalani hidup secara zuhud dengan meninggalkan harta, kekuasaan,
wanita, dan kemasyhuran. Umbu orang yang menghindari popularitas hingga
diceritakan Emha bahwa pada tahun 1973 puluhan puisinya akan dimuat oleh
Majalah Horison, tetapi Umbu diam-diam masuk ke percetakan tempat
majalah itu dicetak lalu mencuri sajak-sajaknya dan menyembunyikannya hingga
sekarang.
Upaya-upaya yang dilakukan
oleh Linus, Korrie, dan Emha, untuk mengangkat nama-nama para seniornya dalam
arena sastra nasional merupakan bentuk terima kasih simbolis mereka kepada para
senior yang secara tidak langsung turut pula mengkonsekrasi PSK sebagai
komunitas yang tersohor dengan orang-orang berbakat yang mereka puja. Terima
kasih simbolis ini menandakan kedekatan mereka terhadap orang-orang yang mereka
sebutkan yang berarti menumpuk modal simbolis bagi mereka sendiri. Selain itu,
terima kasih simbolis ini juga merupakan bentuk pelegitimasian diri mereka
sendiri sebagai anggota PSK yang telah mapan di arena sastra nasional sehingga
berhak mengangkat senior mereka yang belum mapan.
Kini Linus telah mendiang,
Ragil masih hilang, Umbu telah hijrah ke Bali, Korrie menyeberang ke
Kalimantan, hanya Iman dan Emha yang masih eksis di Yogyakarta. Keempat nama
terakhir, dan beberapa anggota PSK yang lain (seperti Mustofa W. Hasyim dan
Teguh Ranusastra Asmara), kini sama-sama dapat mengunduh hasil dari apa yang
telah mereka kerjakan dengan mengubah modal simbolis dan modal sosial yang
telah dimilikinya menjadi keuntungan ekonomi seperti ketika diundang menjadi
pembicara acara sastra, menulis kata pengantar, mengeditori antologi, mengisi
kursus kepenulisan, mengirimkan tulisan ke—atau bahkan diminta oleh—media massa
dan penerbit, serta memberikan endorsement pada
penulis-penulis (muda) yang ingin disahkan sebagai sastrawan.
Meskipun demikian, mereka
tidak akan semena-mena mengubah modal-modal yang telah dimilikinya menjadi
keuntungan ekonomi karena kesemena-menaan itu justru akan menurunkan posisi
mereka yang kharismatis dan idealis. Selain itu, pada diri merekalah kesan PSK
dilekatkan sehingga apabila mereka berubah menjadi pragmatis.
Sumber : web Taman Budaya Yogyakarta
No comments:
Post a Comment