oleh Sigit Susanto
Aku coba mengingat-ingat, kapan tepatnya
telingaku pertama kali mendengar nama Umbu. Kalau tak salah sekitar tahun 2002,
ketika aku mengikuti berbagai mailing
list sastra di internet. Nama itu buatku saat itu termasuk unik, pasti
bukan orang Jawa, karena di Jawa lebih populer Bumbu atau Bambu.
Nama Umbu semakin santer kudengar, ketika
tahun 2004, Wayan Jengki Sunarta dan Riki Dhamparan Putra menginap di rumahku
di Batubulan, Bali. Kebetulan aku datang dari Jawa dengan Puthut EA dan Nurul Khawari.
Jengki banyak cerita seputar Sanggar Minum Kopi di Denpasar yang sering
didatangi Umbu. Jengki cerita, cara Umbu memotivasi asuhannya. Salah satunya
menimpa diri Jengki sendiri. Suatu hari Umbu datang memberi nasi bungkus kepada
Jengki. “Ini nasi bungkus Republika,“
katanya singkat. Jengki masih belum paham, beberapa saat kemudian ia sadari,
ternyata puisi Jengki baru saja dimuat koran Republika. Mendengar kisah unik Umbu mengapresiasi karya anak muda,
sungguh sederhana, namun membekas.
Cerita Jengki tak sampai di situ, ia masih
menebar kisah kemisteriusan Umbu. Menurut kawan-kawan memang Umbu sulit ditemui,
termasuk Emha Ainun Nadjib mengalaminya. Kata Jengki, pernah kawannya di
Denpasar ingin tahu di mana sebetulnya domisili Umbu? Kawan itu menguntit
gerak-gerik Umbu yang paling sering membawa tas plastik kresek warna hitam. Kawan
yang menguntit Umbu itu kehilangan jejak, entah bagaimana di pertigaan jalan
Umbu sudah menghilang.
Murid-murid Umbu di Denpasar tahu, kalau
sang begawan puisi itu hanya sekali setiap Sabtu malam ke dapur Bali Post, untuk menetaskan puisi-puisi pada
edisi Minggu koran Bali Post. Setelah
ritual yang sudah dilakukan lebih dari 30 tahun itu usai, maka ia kembali ke
persembunyiannya lagi. Buat penggemar puisi yang hendak bertemu dengan Umbu,
sering harus sabar menunggu di kedai remang Bali
Post Jalan Kepundung No: 67-A, Denpasar, sambil rela dikeroyok nyamuk ganas.
Itu pun belum tentu bisa bertemu.
Masih menurut kawan-kawan di Bali, Umbu tak
pernah mendatangi acara keramaian sastra. Jika ia datang pun cukup dari
kejauhan, tak mau ia muncul secara visual kepada khalayak. Jengki meyakinkan,
saat kawan-kawan mengadakan acara yang khusus dikemas untuk Umbu, awalnya Umbu
bersedia hadir, namun kenyataannya ia tak muncul juga.
Mendengarkan cerita-cerita unik tentang
sosok Umbu, semakin menebalkan keyakinanku, manusia ini sungguh langka. Di
zaman setiap orang ingin mengaktualisasikan diri agar dikenal, Umbu rupanya
memilih jalan sepi dan tak populer. Meskipun begitu, namanya sudah terlanjur
melegenda dalam dunia perpuisian Indonesia. Sosok Umbu untukku masih tetap abstrak.
Aku belum pernah bertemu dengannya. Inginnya sih bertemu, namun mendengar
barier-barier yang ada, niat itu menjadi tumbang.
Suatu sore aku berkunjung ke teman perempuan
Jerman, Ibu Gita Tumbelaka di daerah Sidakarya,
Denpasar. Seorang pemuda jangkung berkulit
gelap asal Sumba mengeluarkan teh panas. Lelaki itu aku tanya, sekiranya tahu
Umbu? Ia duduk dan bercerita, Umbu di Sumba sangat dihormati, selain termasuk dari
keluarga bangsawan. Bahkan menurutnya, pernah anak lelaki Umbu menyusulnya ke
Denpasar, namun Umbu hanya menemui sebentar.
Setahun berlalu, pada tahun 2005, aku punya
buku catatan perjalanan Menyusuri
Lorong-Lorong Dunia. Bukuku itu aku titipkan ke satpam Bali Post, untuk diberikan kepada Umbu. Tradisi itu beruntun,
hingga tahun 2008 terbit bukuku jilid 2, tahun 2012 terbit lagi jilid 3 juga
selalu kutitipkan satpam Bali Post, untuk
sang guru Umbu.
Suatu malam, aku sedang di sebuah kafe di
Denpasar dengan dua rekan, Puthut EA dan Eko Suwardono. Telepon genggamku
bertalu, ternyata Jengki menelepon, mengajak bergabung, karena ia dan
kawan-kawan lain sedang ngobrol dengan Umbu. Ajakan Jengki tak bisa kupenuhi,
kami juga sedang merayakan kenangan kecil di tengah malam.
Waktu terus bergulir, senapas dengan
minatku belajar sastra, nama Umbu sering terdengar lagi. Kadang muncul deras,
kadang enyah terkubur kehidupan yang rakus. Lagi-lagi lewat Jengki, aku
dikenalkan dengan Rara Gendis. Rara bilang kepadaku, saat bertemu Umbu di
kantor redaktur Bali Post, Umbu
sempat menanyakan kabarnya Tardji. Seketika itu, Rara langsung menelepon
Tardji. Setelah telepon genggam bersambung, ia operkan ke Umbu, maka terjadilah
percakapan antara Umbu dan Tardji. Rara tidak memerinci tema apa yang
dibicarakan dua pendekar puisi itu.
Pada tahun 2009 aku kedatangan Shiho Sawai,
mahasiswi Jepang yang sedang kuliah S3 di UGM. Kawan-kawan di Yogya tahu, Shiho
ini suka mendatangi sastrawan-sastrawan yang terpencil. Kedatangan Shiho di
rumahku Batubulan itu juga salah satunya punya agenda menemui Umbu. Atas
bantuan Warih Wisatsana, ia berhasil bertemu Umbu. Shiho melaporkan dengan
memulai bahasa simbol, mengacungkan jempol kanan, “Hebat, hebat sekali Umbu, lho, Kang Sigit.“ Aku larut dalam
kisahnya.
Pada tahun 2010 kawan-kawan di Komunitas
Lereng Medini (KLM) di Boja, Kendal tempat aku berasal mengundang sastrawan F.
Rahardi dalam sebuah acara Parade Obrolan Sastra (POS). Buat Mas Rahardi sebenarnya bisa dibilang pulang
kampung, karena ia pernah menjadi guru SD di Limbangan, Boja. Lewat Mas Rahardi
diberitahu, bahwa di kebun teh Medini yang letaknya di atapnya kota Boja, dulu
ada penyair yang bekerja sebagai ketua afdeling, namanya Iman Budhi Santosa.
Tahun berikutnya, 2011 kawan-kawan berhasil memboyong Mas Iman dari
persembunyiannya di Yogya untuk dibawa napak tilas jejaknya di kebun teh
Medini. Dari Mas Iman lah kami mulai banyak lagi dengar cerita tentang Umbu dan
Persada Studi Klub (PSK). Jejak Mas Iman ke gunung teh Medini itu menjadi buku
berjudul Merajut Sunyi, Membaca Nurani.
Pada hari Sabtu, 6 April 2013 aku berada di
Bali dengan dipandu Jengki menuju kedai Bali
Post pada pukul 22.00. Jengki ditemani Helmi, aku ditemani Bob
Martokoesoemo. Harap-harap cemas, apakah Umbu bersedia menemui kami? Lewat
bantuan satpam, Umbu ternyata turun tangga dari gedung dan bergabung dengan
kami dan duduk di bangku kayu. Tak lama lagi Jengki seperti sudah tahu
ritualnya, ia keluar mencari bir bintang. Malam merambat dari waktu ke waktu,
Umbu benar-benar berada di depanku. Sosok yang berwibawa dan karismatik.
Rambutnya panjang dengan topi dan syal melilit leher. Baju panjangnya biru. Penampilan
sang empu sangat bersahaja. Ia merokok dan minum bir yang dituangkan pada gelas
plastik kecil.
Entah bagaimana, aku tak memanggil Bang Umbu
seperti Jengki atau kawan-kawan lain sebut, aku langsung panggil Umbu saja.
Entah, apa karena aku baru tiba dari Swiss dua hari lalu, sehingga biasa sebut
orang tua dengan panggilan langsung, tapi aku tidak merasa sungkan sebut Umbu
saja. Aku yakin, Umbu bukan pendamba adat hirarki.
Ternyata Umbu tidak hanya bicara tentang
puisi, ia bisa dengan nyaman bicara tentang Pilkada Bali, waktu itu, tentang
Jokowi, tentang tema apa saja yang saat itu terlempar di tengah obrolan. Umbu
saat itu menganjurkan menulis puisi yang prosais atau prosa yang puitis. Ia
sedikit berkisah tentang perantauannya di Yogya. Ia akui beruntung menemukan
surganya Yogya di tahun 70 -75-an. Kisah lain, selama dua kali ia indekos di
Yogya pada keluarga yang menganut kepercayaan kejawen. Sampai di sini aku
sangat tertarik, meskipun Umbu hidup di alam kejawen di Jawa dan
Hinduistik di Bali, tetap saja puisi
tegak berdiri.
Menurutnya sejak dari Sumba, memang Yogya
dielu-elukan sebagai tempat yang banyak berkumpul orang pintar. Kenyataannya
benar. Sejak di SMA Bobkri Yogya, ia sudah gemar membaca buku sastra di
perpustakaan, berkat saran dari kawan seindekos asal Riau. Ia sedikit saja
menyinggung komunitas PSK. Ia memuji kecerdasan Emha Ainun Nadjib, dan puisi
Mas Iman Budhi Santosa yang bagus. Ia kisahkan, kawannya di PSK, Pragola yang
pemberani mengkritik pemerintah dan lantang, akhirnya dia hilang. Pada tema ini
kawan-kawan yang sedang asyik makan cemilan kacang goreng dan minum bir, mengaitkan
dengan hilangnya Widji Thukul.
Waktu tak terasa berjalan begitu cepat,
sudah pukul 02.00, maka rombongan obrolan dengam Umbu beralih tempat untuk
mengisi perut di warung padang, di jalan Hayam Wuruk. Di warung ini obrolan diperpanjang
sampai pukul 04.00 dan usai mengantar Umbu ke Bali Post, kami pulang ke
tempat masing-masing.
Kesempatan kedua bertemu Umbu pada Sabtu
malam, 4 Mei 2013. Lagi-lagi Jengki berperan seperti Beatrice, sang pemandu
dalam puisi Dante The Divine Comedy. Kali
ini sebelum aku datang di kedai Bali Post,
sudah menunggu pemuda asal Medan berperawakan India bernama Selwa Kumar. Ia
mengaku sudah tiga kali ke situ ingin bertemu Umbu, tapi tak berhasil. Jengki
datang mengajak Helmi lagi, aku datang dengan Latto Moga Uchikawa, kawan asal
Ambarawa. Tak berapa lama ada beberapa orang bergabung, seorang dari balai
bahasa Denpasar dan dua muda-mudi dari SMA.
Umbu turun dari tangga gedung Bali Post, kami saling bersalaman. Ia
cerita banyak hal, antara lain pernah mengaku main drama Hamlet, bersama ayah Rendra. Umbu menjadi Laertes, anaknya Polonius.
Ayah Rendra menjadi Polonius. Rendra kala itu baru datang dari Amerika, menatap
Umbu dari jarak dekat, membuat Umbu berkeringat.
Terkait Rendra yang sering mengirim puisi
ke koran yang redakturnya Umbu di Yogya kala itu, Rendra tidak dapat honor.
Umbu menirukan ucapan Rendra, “Mana
honorku….Umbu?“ Ia jawab, “Tidak ada
uang, Mas.“ Rendra, “Harus ada, masak
tidak ada.“ Umbu, “Benar, Mas sedang
tidak ada uang.“ Rendra, “Pokoknya
nanti diantar, ya, harus ada itu honor.“ Pada kesempatan lain Umbu ke rumah
Rendra, tapi ia tidak membawa uang, melainkan membawa beberapa rokok, “Ini, Mas honornya,“ kata Umbu. Rendra
jawab, “Nah, begitu, nulis puisi harus
dapat honor.“ Kesan Umbu, bahwa sebenarnya Rendra itu sangat Jawani. Perilaku dan sifat Rendra Jawa
sekali.
Umbu bilang kepada seorang dari balai
bahasa, bahwa tulisannya masih ia simpan. Kemudian Umbu berbalik mengatakan
kepadaku, “Kafka bagus sekali, tulisan
Sigit yang difotokopi dulu juga masih aku simpan.“ Aku agak kaget, ternyata
tulisanku tentang Kafka yang kuberikan Jengki dulu, sampai di tangan Umbu.
Menjelang pukul 02.00 lapar membakar perut,
kami semua hengkang mencari warung padang yang menjadi langganan. Di warung itu
obrolan dilanjutkan. Umbu akui sebenarnya ia suka di tiga tempat, Yogya,
Bandung dan Bali. Sayang ia tak sempat mampir ke Bandung, walau ia akui dulu di
Bandung banyak sastrawannya. Mendekati pukul 04.00 Jengki menyuruhku mengantar
Umbu ke kedai Bali Post, “Sana Umbu kamu antar, biar merasakan memboncengkan
empu.“
Dari pertemuan dengan Umbu selama dua kali
berturut-turut, masing-masing selama enam jam itu, aku merasa mendapat tambahan
amunisi bagaimana bersetia dengan puisi. Ada pesan yang tak terucap dari Umbu,
ada dorongan yang tak menggebu, mengendap dalam ketenangan batin lewat
sandi-sandi yang diwakili oleh mata, rambut, dan wajah. Saat dua kali bertemu
itu aku tak menyerahkan puisi satu pun, memang aku jarang menulis puisi. Namun
kawanku Bob dan Uchikawa menyerahkan dua lembar kertas puisi. Pada kesempatan
sebelumnya penyair Tan Lioe Le di Denpasar, membocorkan kalau kirim puisi ke
Umbu jangan sedikit, yang banyak sekalian. Pertimbangan Tan, jika orang nulis
puisi beberapa buah langsung dimuat, kelak penulisnya akan cepat puas, tapi
setelah itu malas, tidak berlatih lagi. Namun jika menulis dalam jumlah banyak,
pasti ada proses panjang yang telah dilewati.
Nah, sejak aku bertemu Umbu itu, aku merasa
semakin berani untuk mencoba menuliskan puisi, sambil mengingat-ingat wangsit
Tan. Maka aku tulis puisi hampir setiap hari, semacam buku harian puisi. Tak
terasa setiap bulan aku bisa mengumpulkan sekitar 20 puisi. Puisi-puisi itu aku
kirim semua ke Umbu lewat pos. Beberapa bulan kemudian, di luar dugaanku,
Jengki lewat chating di facebook mengabarkan,“Puisimu dimuat Umbu di Bali Post.“ Aku
kaget bercampur haru, karena selama ini aku tidak pernah punya puisi yang
dimuat media, ya selain jarang menulis puisi. Akhirnya aku tahu puisiku pertama
yang dimuat oleh Umbu berjudul Pohon
Bambu di Kamarku.
Kubayangkan ulang bagaimana caraku menulis
puisi panjang yang tergolong prosa liris itu. Ah, aku hanya menuliskan
angan-angan yang semi abstrak dan riil. Aku sengaja tidak memakai tanda baca
koma ataupun titik. Aku nekat saja ingin mencoba mengusung cara James Joyce
menutup novelnya Ulysses dengan
monolog interior. Hitung-hitung aku sudah ketiga kalinya khatam baca Ulysses dalam kurun waktu 8 tahun.
Biasanya aku menulis puisi pada setiap
bangun pagi menjelang berangkat kerja. Jika waktu itu tidak cukup, malamnya aku
lanjutkan lagi. Entah, minat menulis puisi itu tak redup dalam berbagai jeda
kehidupan. Beberapa kawan dekat yang aku beritahu dengan kegiatan baruku itu,
mereka menyangka pasti perlu perenungan yang mendalam, tak mungkin bisa
seproduktif itu. Aku kira biasa saja menulis, toh memori itu sudah bertumpuk
bertahun-tahun. Kadang aku menulis puisi dari peristiwa yang terjadi kemarin
sore, tadi malam bahkan yang sudah 30-40 tahun silam di belakangku. Biasanya makin
jauh jaraknya makin abstrak dan remang pada isi maupun bahasanya. Beruntung, Jengki
dan kawan-kawanku di Bali kadang mengabarkan, jika ada puisiku dimuat di Bali
Post edisi Minggu. Sampai kini, sekitar 17 puisiku dimuat oleh Umbu dalam
pertengahan tahun 2013 - 2014 ini.
Setiap tahun sekali aku kembali ke
Batubulan, akan selalu kusempatkan menemui Umbu lagi di kedai Bali Post. Mungkin kami akan duduk-duduk
diam, bertapa dalam kelana bathin masing-masing. Entah apapun tema pembicaraan,
biasanya akan selalu bermuara ke puisi. Semacam pengelanaan renungan yang
dikawal oleh sang empu. Sang empu tak banyak petuah, tapi kekuatan bathinnya
sangat terasa. Kesanku Umbu tak menyukai humor, sesekali saja. Ia seperti
pendamba suasana yang khidmat bersahaja apa adanya, damai.
Kalau aku harus mempersamakan sosok Umbu
dengan penyair dunia, maka pilihanku cenderung pada penyair Argentina Jorge
Luis Borges. Selain keduanya penyuka Franz Kafka, Borges menghabiskan sebagian
hidupnya di Eropa, bahkan meninggal pun dimakamkan di Jenewa. Umbu sebagian
besar hidupnya dihabiskan di Yogya dan Bali. Jika Umbu tempat tinggalnya tak
jelas, rumahnya Borges di Buenos Aires temboknya mengelupas dan atapnya bocor.
Entah apakah Umbu masih suntuk membaca karya, kalau Borges setelah memasuki
usia 50 tahun ia tak mau lagi membaca karya yang pengarangnya masih hidup. Ia
baca karya yang sama berulang-ulang, terutama karya dari abad ke 19 ke bawah.
Pada akhirnya aku percaya wangsit Pablo
Neruda menjelang kematiannya,
“Aku
selalu mengerjakan hal yang sama. Aku tak pernah akan berhenti melakukan hal
itu, menulis puisi. Menulis bagiku seperti pekerjaan tukang sepatu, yang tidak
makin baik atau makin buruk.“
Zug:
April 2014
Sigit
Susanto
*Penulis berdomisili di kota Zug,
Switzerland. Email: membacakafka@gmail.com
No comments:
Post a Comment