Wednesday, July 9, 2014

Menguak Ketajaman Seorang Guru Penulis dari Umbu Landu Paranggi

Alimuddin
Cerpenis

Kesuksesan novel Laskar Pelangi tidak saja menjadikan Andrea Hirata selaku penulisnya begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia—baik dengan status penikmat sastra maupun bukan penikmat sastra. Sosok lain yang tiba-tiba saja menjelma menjadi ‘ tokoh meteor baru’ efek dari meledaknya efek buku tersebut adalah Bu Muslimah. Dalam buku Laskar Pelangi The Phenomenon Karya Asrori S Karni, Andrea Hirata menyebutkan bahwa guru terbaiknya tetap Bu Muslimah, sekalipun ia telah pernah menempuh studi di Universitas Sorbonne (Paris). Bu Muslimah adalah guru abadi dari murid-murid laskar pelangi.


Bahkan banyak praktisi pendidikan inklusi menyebutkan bahwa Bu Muslimah adalah pionir model pendidikan inklusi di Indonesia. Dalam seminar pendidikan bertajuk ‘The Nobility of Teaching’ tersurat sebuah fenomena menarik dan mencengangkan, bahwa di Indonesia, pendidikan inklusi baru baru dicanangkan sebagai program Pendidikan Nasional tahun 2000-an. Tapi Sekolah Dasar Muhamaddiyah Gantung, Belitong Timur, tempat belajar anak-anak berjuluk laskar pelangi, telah menerapkan pendidikan inklusi, dalam bentuknya yang alami, original, dan sederhana, sejak tahun 1970. Dan bintangnya adalah Bu Muslimah.

Lantas apa hubungannya tulisan ini dengan Bu Muslimah dan laskar pelangi? Hubungannya memang tidak terlalu memihak, tulisan di atas hanya ingin menarik satu benang basah kesimpulan bahwa guru adalah penurun ilmu. Bahwa selama ini segala ilmu yang dimitoskan ‘Laduni”, sebagai sesuatu yang jatuh dari langit, seluruhnya dapat dipelajari.

Guru Umbu Landu Paranggi

Umbu Landu Paranggi adalah nama asing. Pun untuk telinga-telinga sastra. Terlebih-lebih untuk telinga masyarakat awam. Nama Danarto, Ahmadun Yosi Herfanda, Joni Ariadinata, Helvy Tiana Rosa, lebih familiar untuk telinga-telinga itu. Terlebih-lebih bila disandingkan dengan nama sukses Habiburrahman El-Shirazy Dan Andrea Hirata, nama Umbu seperti akan jauh karam ke dalam samudera curam. Siapa Umbu Landu Paranggi?

Umbu Landu Paranggi, termasuk tokoh sastra unik dalam ranah sastra Indonesia modern. Sebagai penyair, lelaki kelahiran 10 Agustus 1943 di Sumba namun dewasa di Yogya ini kurang menonjol—padahal sajak-sajaknya tersebar di media-media besar, sebut saja Mimbar Indonesia, Basis, Pelopor Jogja, Horison dan barangkali nama itu sudah karam di antara sederet nama besar—tergilas dengan nama Ahmadun Yosi Herfanda, Putu Wijaya, Helvy Tiana Rosa, Gus Tf Sakai dan lain-lain, kalau saja ia tidak mempunyai kesibukan lain.

Di Yogya di samping sekolah di SMA, kemudian melanjutkan pendidikan di UGM namun tidak tamat, Umbu Landu Paranggi lebih bersibuk diri dan bergaul dengan para penulis. Bersama Iman Budi Santoso, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, ia mendirikan persada studi klub (1969), di samping juga sebagai redaktur budaya di pelopor Jogja (1966-1975). Di kedua forum inilah kelihatan bakat Umbu lebih ‘mentereng’ yaitu sebagai “guru” atau lebih jauh “pencetak” para sastrawan.

Di persada Umbu begitu giat melakukan diskusi dan kursus mengenai kepenulisan yang diikuti oleh para calon penulis. Dengan antusias ia mendorong bakat para calon penulis dan memacu mereka untuk menulis. Karya-karya mereka dibaca tanpa jemu-bosan. Dan mana karya mereka yang laik muat, tentu saja dengan wewenang penuh sebagai seorang redaktur sastra di pelopor Jogja akan dimuat.

Umbu membagi-bagi kelas mereka. Karya-karya yang masih hijau akan ia muat dalam space anak-anak. Naskah setengah matang akan ditempatkan di space remaja, sementara yang sudah jadi akan dimuatnya di ruang kebudayaan yang diasuhnya. Para calon penulis yang telah berhasil melalui tiga tahap ini menurut Umbu, telah siap untuk dilepas ke tengan gelanggang dan blantika sastra, Dan dengan upaya dan kesabaran, ternyata Umbu memetik panenya.

Umbu telah banyak ‘mencetak’ para penulis jadi. Bahkan jauh melampaui reputasinya sendiri sebagai penulis. Linus Suryadi AG dan Emha Ainun Nadjib misalnya, mengakui jasa sang guru ini. Dalam sebuah esainya di majalah Basis semisal, Emha dengan panjang lebar memaparkan taktik dan strategi yang dilakukan Umbu, memang unik dan mengasyikkan. Demikian juga pengakuan yang datang dari generasi lebih muda, Raudal Tanjung Banua. Raudal mengakui ketokohan Umbu sebagai gurunya. Penulis muda berbakat ini dengan cepat meroket bahkan ia telah memenangkan hadiah utama penulisan cerpen horizon serta penerima Anugerah Mastera.

Setelah berangkat dari Yogya dan pindah Ke Bali, Umbu menjadi redaktur di bali post. Di sana pun, tanpa bosan ia melakukan kiat yang sama dan juga eksistensinya sebagai ‘guru’ diakui oleh para penulis muda dari Bali seperti Oka Rusmini.

Di Medan barangkali hal serupa juga dilakukan oleh Herman Ks meskipun tidak setaktik Umbu. Pada tahun 1976, Herman ikut membidani kelahiran Omong-Omong Sastra, suatu kegiatan yang juga unik. Melakukan pertemuan dengan penulis dan calon penulis maupun peminat. Kegiatan ini dilaksanan sebulan sekali dari rumah ke rumah sehari penuh yang diselingi dengan makan bersama. Di sini para peserta dapat berbicara secara bebas, berdiskusi, baca puisi, baca cerpen dan lain-lain.
Dalam hal ini, Herman Ks bertindak sebagai ‘corong’. Artinya segala macam yang bersangkut paut dengan ‘omong-omong’ ini, seperti berbagai pengumuman, suasana diskusi, makalah, puisi dan cerpen yang dibacakan, ia rekam dan dimuat ruang seni-sastra yang diasuhnya.

Herman juga rajin mengunjungi kediaman para penulis muda. Di sana ia suka mengobrol dan tak pernah lupa ‘minta oleh-oleh’ berupa tulisan dengan janji akan dimuat, tentu saja jikalau telah lulus filtrasi sensor. Dalam kunjungan itu, Herman selalu mendorong mendorong para penulis muda untuk terus menulis dan jangan merasa puas hanya menulis di daerah saja. Beberapa nama yang lahir dari tangan Herman sebut saja salah satunya adalah Idris Pasaribu yang saat ini menjadi redaktur sastra di Koran harian Analisa Medan.

Lantas bagaimana dengan Aceh? Apakah orang-orang seperti Umbu dan Herman juga ada di sini? Meski tidak sehebat dan setaktis Umbu, Aceh sempat miliki seorang Hasyim KS yang juga mempunyai jalan roh semangat layaknya Umbu dan Herman. Dalam buku Serdadu Tua Ngunyem Polan Ini Memorian Hasyim KS (1940-2004), MUsmarwan Abdullah yang setahun lalu mengeluarkan buku dengan titel Pada Tikungan Berikutnya menyatakan bahwa Hasyim KS sebagai seorang redaktur sangat toleran pada penulis-penulis pemula. Sebisa mungkin karya itu dimuat—tentu kalau memang memenuhi prinsip kelayakan. Jikapun ditolak pasti akan ditambahi catatan-catatan perbaikan dan energi-energi semangat. Namun kiprah Hasyim KS hanya sebatas itu. Hasyim tidak layaknya Umbu yang mendirikan satu forum. Hasyim tidak layaknya Herman KS yang begitu giat mengunjungi pintu-pintu rumah penulis muda dan meminta oleh-oleh berupa naskah.

Dari kiprah dan dedikasi Umbu dan Herman ini dapat ditarik sebuah kesimpulan, apa yang selama ini dimitoskan bahwa karya sastra sebagai ilmu ‘laduni’, sebagai sesuatu yang jatuh dari langit dan nyungsep menjadi ilham, ternyata dapat digurukan dan dipelajari baik secara langsung maupun tidak. Mitos itu barangkali suatu kebekuan atau berisi ego yang perlu dicairkan.


Tulisan ini pernah dipublikasikan di http://id.acehinstitute.org, 4 Desember 2008.

sumber https://komunitassastra.wordpress.com


2 comments:

  1. https://www.facebook.com/notes/sahabat-kumpulan-fiksi/puisi-puisi-umbu-landu-paranggi/1425375784199656/

    ReplyDelete
  2. Saya memiliki beberapa sajak Umbu Landu Paranggi yang tampaknya dibuat semasa SMA yang termuat di Mimbar Indonesia tahun 1959-1960...

    ReplyDelete