Alimuddin
Cerpenis
Kesuksesan novel Laskar Pelangi tidak saja menjadikan Andrea
Hirata selaku penulisnya begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia—baik
dengan status penikmat sastra maupun bukan penikmat sastra. Sosok lain yang
tiba-tiba saja menjelma menjadi ‘ tokoh meteor baru’ efek dari meledaknya efek
buku tersebut adalah Bu Muslimah. Dalam buku Laskar Pelangi The Phenomenon
Karya Asrori S Karni, Andrea Hirata menyebutkan bahwa guru terbaiknya tetap Bu
Muslimah, sekalipun ia telah pernah menempuh studi di Universitas Sorbonne
(Paris). Bu Muslimah adalah guru abadi dari murid-murid laskar pelangi.
Bahkan banyak praktisi pendidikan inklusi menyebutkan bahwa
Bu Muslimah adalah pionir model pendidikan inklusi di Indonesia. Dalam seminar
pendidikan bertajuk ‘The Nobility of Teaching’ tersurat sebuah fenomena menarik
dan mencengangkan, bahwa di Indonesia, pendidikan inklusi baru baru dicanangkan
sebagai program Pendidikan Nasional tahun 2000-an. Tapi Sekolah Dasar
Muhamaddiyah Gantung, Belitong Timur, tempat belajar anak-anak berjuluk laskar
pelangi, telah menerapkan pendidikan inklusi, dalam bentuknya yang alami,
original, dan sederhana, sejak tahun 1970. Dan bintangnya adalah Bu Muslimah.
Lantas apa hubungannya tulisan ini dengan Bu Muslimah dan
laskar pelangi? Hubungannya memang tidak terlalu memihak, tulisan di atas hanya
ingin menarik satu benang basah kesimpulan bahwa guru adalah penurun ilmu.
Bahwa selama ini segala ilmu yang dimitoskan ‘Laduni”, sebagai sesuatu yang
jatuh dari langit, seluruhnya dapat dipelajari.
Guru Umbu Landu Paranggi
Umbu Landu Paranggi adalah nama asing. Pun untuk telinga-telinga sastra.
Terlebih-lebih untuk telinga masyarakat awam. Nama Danarto, Ahmadun Yosi Herfanda,
Joni Ariadinata, Helvy Tiana Rosa, lebih familiar untuk telinga-telinga itu.
Terlebih-lebih bila disandingkan dengan nama sukses Habiburrahman El-Shirazy
Dan Andrea Hirata, nama Umbu seperti akan jauh karam ke dalam samudera curam.
Siapa Umbu Landu Paranggi?
Umbu Landu Paranggi, termasuk tokoh sastra unik dalam ranah
sastra Indonesia modern. Sebagai penyair, lelaki kelahiran 10 Agustus 1943 di
Sumba namun dewasa di Yogya ini kurang menonjol—padahal sajak-sajaknya tersebar
di media-media besar, sebut saja Mimbar Indonesia, Basis, Pelopor Jogja,
Horison dan barangkali nama itu sudah karam di antara sederet nama
besar—tergilas dengan nama Ahmadun Yosi Herfanda, Putu Wijaya, Helvy Tiana
Rosa, Gus Tf Sakai dan lain-lain, kalau saja ia tidak mempunyai kesibukan lain.
Di Yogya di samping sekolah di SMA, kemudian melanjutkan
pendidikan di UGM namun tidak tamat, Umbu Landu Paranggi lebih bersibuk diri
dan bergaul dengan para penulis. Bersama Iman Budi Santoso, Teguh Ranusastra
Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, ia mendirikan persada studi klub (1969), di
samping juga sebagai redaktur budaya di pelopor Jogja (1966-1975). Di kedua
forum inilah kelihatan bakat Umbu lebih ‘mentereng’ yaitu sebagai “guru” atau
lebih jauh “pencetak” para sastrawan.
Di persada Umbu begitu giat melakukan diskusi dan kursus
mengenai kepenulisan yang diikuti oleh para calon penulis. Dengan antusias ia
mendorong bakat para calon penulis dan memacu mereka untuk menulis. Karya-karya
mereka dibaca tanpa jemu-bosan. Dan mana karya mereka yang laik muat, tentu
saja dengan wewenang penuh sebagai seorang redaktur sastra di pelopor Jogja
akan dimuat.
Umbu membagi-bagi kelas mereka. Karya-karya yang masih hijau
akan ia muat dalam space anak-anak. Naskah setengah matang akan ditempatkan di
space remaja, sementara yang sudah jadi akan dimuatnya di ruang kebudayaan yang
diasuhnya. Para calon penulis yang telah berhasil melalui tiga tahap ini
menurut Umbu, telah siap untuk dilepas ke tengan gelanggang dan blantika
sastra, Dan dengan upaya dan kesabaran, ternyata Umbu memetik panenya.
Umbu telah banyak ‘mencetak’ para penulis jadi. Bahkan jauh
melampaui reputasinya sendiri sebagai penulis. Linus Suryadi AG dan Emha Ainun
Nadjib misalnya, mengakui jasa sang guru ini. Dalam sebuah esainya di majalah
Basis semisal, Emha dengan panjang lebar memaparkan taktik dan strategi yang
dilakukan Umbu, memang unik dan mengasyikkan. Demikian juga pengakuan yang
datang dari generasi lebih muda, Raudal Tanjung Banua. Raudal mengakui
ketokohan Umbu sebagai gurunya. Penulis muda berbakat ini dengan cepat meroket
bahkan ia telah memenangkan hadiah utama penulisan cerpen horizon serta
penerima Anugerah Mastera.
Setelah berangkat dari Yogya dan pindah Ke Bali, Umbu
menjadi redaktur di bali post. Di sana pun, tanpa bosan ia melakukan kiat yang
sama dan juga eksistensinya sebagai ‘guru’ diakui oleh para penulis muda dari
Bali seperti Oka Rusmini.
Di Medan barangkali hal serupa juga dilakukan oleh Herman Ks
meskipun tidak setaktik Umbu. Pada tahun 1976, Herman ikut membidani kelahiran
Omong-Omong Sastra, suatu kegiatan yang juga unik. Melakukan pertemuan dengan
penulis dan calon penulis maupun peminat. Kegiatan ini dilaksanan sebulan
sekali dari rumah ke rumah sehari penuh yang diselingi dengan makan bersama. Di
sini para peserta dapat berbicara secara bebas, berdiskusi, baca puisi, baca
cerpen dan lain-lain.
Dalam hal ini, Herman Ks bertindak sebagai ‘corong’. Artinya
segala macam yang bersangkut paut dengan ‘omong-omong’ ini, seperti berbagai
pengumuman, suasana diskusi, makalah, puisi dan cerpen yang dibacakan, ia rekam
dan dimuat ruang seni-sastra yang diasuhnya.
Herman juga rajin mengunjungi kediaman para penulis muda. Di
sana ia suka mengobrol dan tak pernah lupa ‘minta oleh-oleh’ berupa tulisan
dengan janji akan dimuat, tentu saja jikalau telah lulus filtrasi sensor. Dalam
kunjungan itu, Herman selalu mendorong mendorong para penulis muda untuk terus
menulis dan jangan merasa puas hanya menulis di daerah saja. Beberapa nama yang
lahir dari tangan Herman sebut saja salah satunya adalah Idris Pasaribu yang
saat ini menjadi redaktur sastra di Koran harian Analisa Medan.
Lantas bagaimana dengan Aceh? Apakah orang-orang seperti
Umbu dan Herman juga ada di sini? Meski tidak sehebat dan setaktis Umbu, Aceh
sempat miliki seorang Hasyim KS yang juga mempunyai jalan roh semangat layaknya
Umbu dan Herman. Dalam buku Serdadu Tua Ngunyem Polan Ini Memorian Hasyim KS
(1940-2004), MUsmarwan Abdullah yang setahun lalu mengeluarkan buku dengan
titel Pada Tikungan Berikutnya menyatakan bahwa Hasyim KS sebagai seorang
redaktur sangat toleran pada penulis-penulis pemula. Sebisa mungkin karya itu
dimuat—tentu kalau memang memenuhi prinsip kelayakan. Jikapun ditolak pasti
akan ditambahi catatan-catatan perbaikan dan energi-energi semangat. Namun
kiprah Hasyim KS hanya sebatas itu. Hasyim tidak layaknya Umbu yang mendirikan
satu forum. Hasyim tidak layaknya Herman KS yang begitu giat mengunjungi
pintu-pintu rumah penulis muda dan meminta oleh-oleh berupa naskah.
Dari kiprah dan dedikasi Umbu dan Herman ini dapat ditarik
sebuah kesimpulan, apa yang selama ini dimitoskan bahwa karya sastra sebagai
ilmu ‘laduni’, sebagai sesuatu yang jatuh dari langit dan nyungsep menjadi
ilham, ternyata dapat digurukan dan dipelajari baik secara langsung maupun
tidak. Mitos itu barangkali suatu kebekuan atau berisi ego yang perlu
dicairkan.
Tulisan ini pernah dipublikasikan di http://id.acehinstitute.org, 4 Desember 2008.
sumber https://komunitassastra.wordpress.com
https://www.facebook.com/notes/sahabat-kumpulan-fiksi/puisi-puisi-umbu-landu-paranggi/1425375784199656/
ReplyDeleteSaya memiliki beberapa sajak Umbu Landu Paranggi yang tampaknya dibuat semasa SMA yang termuat di Mimbar Indonesia tahun 1959-1960...
ReplyDelete