oleh I Nyoman Darma Putra
Dalam eseinya ‘Puisi dari Bali’ di rubrik ‘Bentara’ Kompas,
1 September 2000, Sutardji Calzoum Bachri, menegaskan bahwa Bali telah
memberikan kontribusi penting tidak saja pada dunia puisi tetapi juga prosa dan
aktivitas sastra Indonesia lainnya. Pengakuan serupa juga bisa dilihat dalam
bentuk yang lain yakni undangan buat penyair Bali untuk menghadiri forum sastra
nasional dan internasional serta publikasi bersama.
Kontribusi Bali dalam sastra Indonesia tidak bisa
dipisahkan dari peran penyair Umbu Landu Paranggi yang mengawal sastra di Bali
lewat posisinya sebagai redaktur sastra Bali Post Minggu sejak 1979.
Sebelum pindah ke Bali, Umbu menggerakan apresiasi sastra di Yogja, ketika
menjadi redaktur mingguan Pelopor di kota ini. Di sini pula dia mendapat
julukan ‘Presiden Malioboro’ atas kegemarannya menggelar apresiasi di
pedestrian Jalan Malioboro.
Sebagai redaktur, Umbu aktif turun ke sekolah,
ranggar sastra dan kampus-kampus untuk menggelar apresiasi sastra. Lewat
‘rubrik kontak’ di Bali Post, dia setia melakukan sensus atas penulis
sebagai cara untuk memacu mereka berkarya.
Umbu gemar dunia sepakbola, maka sistem seleksi
puisi atau proses penggodokan penyair yang diterapkan menggunakan istilah
‘kompetisi’ berjenjang dari pemula (Pos Remaja) ke dewasa (Pos Budaya). Agar
penulis tahu prosesnya, tak ajrang Umbu menjelaskannya lewat rubrik kontak dan
kegiatan apresiasi.
Dalam rentang waktu 30 tahun, kegiatan apresiasi
sastra di Bali memang mengalami masa pasang surut, tetapi semangat menulis
puisi yang ditularkan Umbu tetap kuat. Budayawan Emha Ainun Nadjib yang merasa
berguru pada Umbu ketika Umbu di Yogja dengan bangga menyebutnya ‘ustadz Umbu’.
Istilah yang sama juga kerap dipakai penyair Bali untuk perasaan yang sama
yakni menghormati Umbu sebagai guru, sebagai institusi ‘akademi puisi’.
Tulisan ini adalah apresiasi atas pengabdian Umbu
dalam membina sastra Indonesia dari Bali. Agar terhindar dari pengkultusan,
tinjauan atas jasa Umbu dilihat dalam konteks yang lebih luas, yakni sejarah
sastra Indonesia di Bali.
Studi atas arsip-arsip media massa menunjukkan bahwa
sastra Indonesia sudah mulai menggeliat di Bali sejak pertengahan 1920-an, dan
terus dinamis sampai sekarang. Sejauh ini belum pernah ditemukan di Bali karya
sastra yang bisa digolongkan sastra Indonesia sebelum tahun 1920-an. Ini
berarti, masa awal sastra Indonesia di Bali kurang lebih bersamaan waktunya dengan
tahun yang pernah ditawarkan A. Teeuw sebagai masa lahirnya sastra Indonesia.
Bertolak dari tahun 1920-an, periodisasi sastra
Indonesia di Bali bisa dibagi ke dalam empat zaman, yaitu zaman kolonial,
revolusi nasional, Orde Baru, dan reformasi. Pembagian ini
lebih bersifat sosio-historis daripada estetik
karena melakukannya dengan variabel yang belakangan bukannya tidak mungkin
tetapi tidaklah mudah karena akan selalu diwarnai dengan spekulasi dan
subjektivitas.
Zaman Kolonial
Geliat awal sastra Indonesia di Bali bisa disaksikan
dengan munculnya puisi di majalah Surya Kanta dan kalawarta Bali
Adnjana, keduanya terbit di Singaraja tahun 1920-an. Kontributornya datang
dari Bali Utara, Selatan, bahkan juga Lombok, yang waktu itu masuk wilayah
keresidenan pemerintah kolonial Belanda yang berkantor pusat di Singaraja (Bali
Utara).
Surya Kanta
terbit sebulan sekali dalam bentuk cetak (mungkin diproses di Surabaya) antara
1925-1927, dipimpin oleh K’tut Nasa, Nengah Metra, Nyoman Kajeng, dkk. Media ini
banyak berisi artikel tentang kemajuan zaman dan protes-protes tentang arogansi
kaum triwangsa. Berdasarkan isi dan orientasinya, para sarjana
menyebutkan Surya Kanta sebagai suara kaum jaba.
Bali Adnjana
terbit tiga kali sebulan tahun 1925-1931, dalam bentuk stensilan, di bawah
pimpinan I Gusti Putu Tjakratenaja. Media ini dianggap sebagai terompet kaum triwangsa.
Orientasi yang berbeda ini membuat kedua media yang terbit pada periode
bersamaan ini terlibat dalam polemik perbedaan paham atas kasta.
Puisi yang muncul dalam kedua media ini umumnya
berupa pantun atau syair, beberapa di antaranya ditulis dalam bentuk akrostik,
artinya huruf pertama judul puisi diambil sebagai huruf awal bari-baris atau
bait puisi. Surya Kanta pernah memuat naskah tonil anonim berjudul
‘Kesetiaan Perempuan’ yang bertema konflik kasta.
Belanda khawatir melihat polemik Surya Kanta
dan Bali Adnjana dapat menganggu stabilitas sosial, maka keduanya
ditekan sampai tutup alias mati. Faktor ekonomi juga banyak disebut sebagai
alasan bubarnya kedua media massa itu.
Tahun 1930-an, muncul Djatajoe di bawah
asuhan Panji Tisna dan kemudian Wayan Bhadra dan Nyoman Kajeng. Majalah bulanan
yang terbit di Singaaja dalam format cetak ini bisa dianggap sebagai versi
majalah Poedjangga Baroe-nya Bali. Penerbitnya adalah Bali Dharma
Laksana, organisasi pemuda Bali yang berpendidikan sekolah kononial
Belanda.
Djatajoe
memuat artikel budaya, risalah rapat induk organisasi yang menerbitkannya, dan
yang penting adalah cerpen dan puisi. Bentuk syair masih muncul, seperti ‘Syair
Seruan Djatajoe’ karya I Gusti Ngurah Sidemen, yang isinya menyerukan
agar kaum catur wangsa bersatu di Bali. Novel Mlancaran ka Sasak
(Berwisata ke Sasak) karya Gde Srawana (nama pena Wayan Bhadra) dimuat
bersambung di Djatajoe. Publikasi ini menambah jasa majalah ini dalam
geliat sastra modern berbahasa Bali.
Yang pantas dicatat di Djatajoe adalah bahwa
penulis wanita mulai memberi kontribusi dengan tema sajak mendorong wanita Bali
meraih kemajuan, seperti ‘Oh, Putriku’ (1937) karya Wayan Sami dan ‘Seruan’
(1938) oleh Made Tjatri. Kaum wanita ini menulis sebagai aktivis, jauh dari
tujuan menjadi penyair.
Zaman Revolusi Nasional
Era revolusi nasional biasanya digunakan untuk
menyebutkan periode pertempuran merebut dan mempertahankan kemerdekaan
1945-1950. Mengingat semangat revolusioner terus dipompakan oleh Bung Karno
sampai 1965, maka periode revolusi nasional bisa dikatakan terbentang dari
1945-1965. Dalam pembabakan sastra ini, zaman revolusi nasional berlaku dalam
keseluruhan era regime Bung Karno alias Orde Lama.
Pada era ini, Singaraja tetap memainkan peran
penting dalam pembinaan sastra Indonesia. Hal ini terlihat lewat majalah Bhakti
yang terbit mulai 1952, pimpinan Putu Shanty, Wayan Bhadra, dan Nyoman Kajeng
(mantan anggota redaktur Surya Kanta).
Publikasi sastra di Bhakti luar biasa
semarak. Banyak puisi, cerpen, drama, juga ada esei budaya dan filsafat. Selain
Putu Shanty, penulis yang muncul adalah Made Kirtya, Windhya Wirawan dan Tjok
Rai Sudharta. Bhakti juga memuat polemik tentang apakah Chairil Anwar
plagiat atau tidak. Puisi Rendra, Kirdjomuljo juga pernah dimuat di Bhakti
menambah aroma nasional kehidupan sastra Indonesia di Bali. Sebaliknya, penulis
Bali juga mulai mempublikasikan karyanya di majalah sastra budaya di Jawa
seperti Mimbar Indonesia dan Siasat.
Hubungan antara penulis Bali dengan Jawa, Jakarta, tercipta saat ini, lebih
erat daripada pada era kolonial.
Bali Selatan mulai memainkan peranan perkembangan
sastra nasional sejak terbitnya majalah Damai di Denpasar, di bawah
pimpinan I Gusti Bagus Sugeriwa, seorang guru dan ahli bahasa dan sastra
tradisional asal Bali Utara. Damai memuat banyak puisi dan juga cerpen yang
kebanyakan ditulis oleh murid didikan IGB Sugeriwa di SLUA Saraswati, seperti
Oka Diputhera.
Selain berjasa besar dalam sastra tradisional Bali,
IGB Sugeriwa juga punya andil dalam sastra Indonesia. Tahun 1950-an, dia
menjadi salah satu pengurus Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Nama
lain dalam jajaran pengurus BMKN periode 1955-1956 adalah R Gaos
Hardjosumantri, JE Tatengkeng, Achdiat K. Mihardja.
Selain Bhakti dan Damai, ada juga
tabloid Harapan yang terbit di Singaraja tapi target pembacanya adalah
masyarakat Bali dan Nusa Tenggara. Mingguan ini juga membuka rubrik sastra.
Tabloid Harapan dan Damai membuat rubrik ‘kontak’, untuk menyapa
pengirim naskah. Redakturnya aktif memotivasi penulis pemula untuk berkarya dan
mendorong mereka menjadi sastrawan seperti halnya Pramudya Ananta Tur, Idrus,
dan Mochthar Lubis.
Koran Suara Indonesia sudah terbit di
Denpasar sejak 1948, didirikan oleh wartawan Bali yang sebelumnya, zaman
Jepang, bekerja di surat kabar Bali Shimbun. Suara Indonesia
adalah cikal-bakal Bali Post. Sulit membayangkan bagaimana rubrik sastra
di Suara Indonesia pada awal-awal berdiri karena tidak ada arsipnya yang
bisa diamati. Yang jelas dari sisa arsip tahun 1959 bisa diketahui Suara
Indonesia memiliki rubrik sastra.
Tahun 1960-an, penyair-penyair seperti Gde Dharna
dan Ketut Suwidja banyak menulis puisi di Suara Indonesia. Penyair lain
adalah Yudha Paniek, Made Taro, Raka Santeri, IGB Arthanegara, Niniek Berata,
Ngurah Parsua untuk menyensus beberapa nama. Mereka bergabung dalam Lembaga
Kebudayaan Nasional (LKN), berafiliasi dengan PNI, memuja Sukarno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi.
Tema sajak penyair zaman ini sesuai dengan ajaran
Bung Karno, mendengungkan semangat Manipol USDEK, revolusioner, dan
anti-nekolim. Rubrik sastra pun diberi nama Banteng Muda, yang kelak berubah
menjadi Taman Muda Remaja dan kemudian Pos Remaja. Komang Soka adalah salah
satu pengurus PNI (Partai Nasional Indonesia) dan LKN yang sempat menjadi
redaktur sastra Banteng Muda.
Lewat organisasi LKN, hubungan antara penulis dan
seniman Bali terbina akrab dengan seniman luar Bali seperti Yogja. Rombongan
LKN Jogya pimpinan Budi Satria datang ke Bali Desember 1964-Januari 1965
mementaskan dua drama di Singaraja, Tabanan, dan Denpasar, yang judulnya adalah
‘Api di Lembah Mati’ karya Singgih Hadi dan ‘Malam Pengantin di Bukit Kera’
karya Motinggo Busye. Drama ini juga dipentaskan di Jember dan Banyuwangi dalam
perjalanan bolak-balik Yogja-Bali.
Pementeasan drama LKN Yogja mempengaruhi aktivitas
teater di Bali. Buktinya, bulan Maret 1965 LKN Bali menggelar festival teater
dengan menjadikan naskah Singgih Hadi dan Motinggo di atas sebagai naskah
pilihan. Budi Satria mengamati festival ini. Kehidupan sastra dan teater di
Bali tidak terisolasi tetapi berkaitan dengan Jawa.
Koneksitas sebagian penyair dan penulis Bali dengan
koleganya dari berbagai penjuru di Indonesia terjadi karena Bali sering menjadi
tuan rumah pertemuan sastra dan budaya. Lekra menggelar Konfernas di Bali tahun
1962. Pertamuan ini membuka jalur buat Putu Shanty dan Putu Oka berkenalan
dengan penulis-penulis yang ikut Konfernas. Tahun 1963, Bali menjadi tuan rumah
pertemuan pengarang Asia Afrika, yang ketua panitia pusatnya berada di tangan
Pramudya Ananta Tur dan Sitor Situmorang.
Yang jelas, kegiatan sastra tingkat nasional saat
itu membuat Bali bisa disebut sebagai, meminjam istilah Will Derks (2003),
salah satu regional-centre sastra Indonesia.
Era Orde Baru
Dalam era Orde Baru, penyair-penyair yang muncul
adalah mereka yang kemudian bergabung dengan Lesiba (Lembaga Seniman Indonesian
Bali) pimpinan Drs. I Made Sukada, dosen Fakultas Sastra Unud. Kehidupan sastra
terus berlanjut, diwarnai dengan lomba menulis puisi, deklamasi di radio, dan
apresiasi.
Tahun 1976, Bali Post bekerja sama dengan
Lesiba menyelenggarakan lomba menulis puisi dalam rangka peringatan hari
wafatnya Chairil Anwar dan peringatan Pendidikan Nasional bulan Mei. Puisi
pemenang dimuat di Bali Post. Koran ini menjadi pusat perkembangan
sastra. Rubrik ‘kontak’ seperti di majalah Damai dan tabloid Harapan
muncul di koran ini untuk merangsang penulis berkarya.
Tanggal 25 April 1976, apresiasi ‘besar’ berlangsung
di aula SPGN Denpasar diprakarsai oleh Widminarko dan dari sana akhirnya
dibentuk Sanggar Pos Remaja. Penulis muda yang aktif waktu itu adalah Adnyana
Sudibia dan Gde Aryantha Soethama. Aryantha menulis puisi dan banyak cerpen.
Kalau 2006 lalu Aryantha lewat cerpen-cerpennya dalam Mandi Api (Buku
Kompas) mengukir sejarah meraih Khatulistiwa Literary Award, maka jawabannya
karena kreativitasnya sudah tumbuh kokoh sejak 30 tahun sebelumnya.
Penyair muda Raka Kusuma mulai mengirim sajak tahun
1976 ke Bali Post. Namanya muncul di kontak dan mendapat komentar
seperti ini: ‘Adik produktif sekali. Sajak-sajakmu
masih dalam pertimbangan. Kalau yang ada masih bisa
diperbaiki, perbaikilah’. Gaya kontak seperti ini sudah muncul di majalah Damai
dan tabloid Harapan tahun 1950-an, dan kelihatan ampuh sekali untuk
mendorong penulis berkreativitas.
Umbu mulai masuk Bali Post bulan Juni 1979,
dan menulis catatan di rubrik Pos Remaja 8 Juli 1979 di bawah judul ‘Memanggil
Remaja Kreatif’. Sejak itu, ‘rubrik kontak’ diaktifkan terus dan membuat banyak
calon penulis senang melihat namanya disensus setiap minggu. Nama-nama seperti
Gde Artawan, Nyoman Wirata, Windhu Sancaya, Ketut Yuliarsa Sastrawan, IB Dharma
Palguna, Lilik Mulyadi, Erlina, dan Alit S Rini sering nongol dan berproses
dari tingkat sajak ‘kompetisi’ dan sajak kelas ‘budaya’.
Umbu melanjutkan efektivitas rubrik ‘kontak’ dengan
rajin ‘mendorong’ penulis muda agar terus berkarya. Umbu juga menggelorakan
kegiatan apresiasi di Bali seperti yang dia kerjakan sewaktu menjadi redaktur
mingguan Pelopor Yogja. Semarak apresiasi di Kota Gudeg saban malam di
pedestrian Malioboro membuat Umbu mendapat predikat sebagai President
Malioboro.
Untuk di Bali, apresiasi yang dipromosikan Umbu
pertama kali berlangsung Minggu, 5 Agustus 1979, hampir dua bulan sejak dia
berdinas di Bali Post. Apresiasi berlangsung di Art Centre. Menurut
Catatan Pos Remaja-nya Umbu edisi 12
Agustus 1979, peserta yang hadir saat apresiasi pertama sekitar 15 orang,
termasuk Abu Bakar dan Frans Nadjira, yang tak lama kemudiannya berangkat ke
IOWA City untuk program kreativitas penyair internasional.
Usaha Tjok Raka Pemajun mengundang Sutardji ke Bali
juga ikut menghangatkan dinamika sastra di Pulau Dewata. Tjok Raka, Gerson
Poyk, Putu Arya Tirtawirya, dan Putu Setia adalah penulis yang rajin
menyemarakkan geliat sastra di Bali, awal-awal Umbu mulai berdinas sebagai
redaktur. Esei mereka dan apresiasi mingguan berkombinasi membangun kekuatan
literer yang mendorong penulis muda berkreativitas.
Apresiasi berlanjut, tidak saja di Art Centre,
tetapi juga di sekolah-sekolah di seluruh Bali. Umbu rajin datang ke Jembrana,
Gianyar, Bangli, Karangasem, dan tentu saja Singaraja untuk menggelorakan
apresiasi. Selain di sekolah, kampus dan sanggar-sanggar, kegiatan apresiasi
sastra juga berlangsung di rumah-rumah seperti yang pernah saya ikuti di rumah
Prof Dr dr Moerdowo, Made Sukada, Abu Bakar, dan rumah Boyke Karang. Raka Kusuma,
Ida Bagus Adnjana, Syahruwardi Abbas, Adhy Riyadi, Nyoman Wirata adalah
beberapa teman yang saya lihat rajin berapresiasi.
Peran Usadi Wiryatnaya dan Jean Cauteau dalam
apresiasi sastra juga perlu dicatat. Mereka sering hadir dan memberikan pandangan-pandangan
filsafat dan global tentang sastra yang berguna buat memperluas wawasan
‘mahasiswa akademi puisi’ model Umbu Landu Paranggi.
Dengan seleksi puisi sistem berjenjang, Umbu
berhasil membuat penulis mudah yang kukuh untuk berjuang keras agar bisa lulus
dari jenjang pemula (Pos Remaja) menjadi jenjang penyair (Pos Budaya). Dalam
sebuah pengantar ‘Masih Seputar Kompetisi’(Bali Post, 5 Agustus 1979),
Umbu menjelaskan konsepsi mengenai jenjang Pos Remaja dan Pos Budaya seperti
ini: “Sudah pasti yang berhasil menjebol gawang Pos Remaja, berhak mendapat
tempat baru di ruang Seni-Budaya (halaman 5), sajak-sajak mana sejajar dengan
sajak-sajak dalam majalah Horison, Basis,
Kesenian, Budaya Jaya. Para pengasuh juga berjanji pabila
kau berhasil merobek gawang Pos kita
yang tangguh kelak sajak-sajakmu akan dikirimkan ke majalah atau
lembaran-lembaran kebudayaan yang tersebar di seluruh Indonesia.”.
Apa yang dikatakan itu memang dilaksanakan, buktinya
Umbu meneruskan beberapa sajak penyair Bali ke tangan Abdul Hadi yang saat itu
menjadi redaktur sastra koran Berita Buana. Dari sana, penyair Bali kian
diperhitungkan di tingkat nasional dan senantiasa diundang dalam forum temu
penyair di Taman Ismail Jakarta, sesuatu yang menjadi idaman para penyair daerah.
Sejumlah penyair Bali yang sempat diundang ke forum
di TIM adalah Nyoman Wirata, Raka Kusuma, Adhy Riyadi, dan Made Suantha.
Sebelum era Umbu, kesempatan seperti ini tidak pernah ada.
Hari berjalan terus dan nama-nama penulis muda terus
bermunculan dari berbagai daerah, sanggar-sanggar juga aktif, salah satu yang
maju di Denpasar adalah Sanggar Minum Kopi, tempat berkumpulnya penyair yang
umumnya mulai menulis akhir 1980-an, dan memasuki masa produktif dan matang
pertengahan 1990-an, seperti Warih Wisatsana, Tan Lio Ie, Fajar Arcana, Wayan
Sunarta, Cok Sawitri, Oka Rusmini, Riki Dhamparan Putra, Raudal Tanjung,
Nuryana Asmaudi, dan Sindhu Putra.
Penyair-penyair itu tidak saja menulis puisi tetapi
juga menjelajah cerita pendek sehingga tembus di Kompas, seperti Wayan
Suardika, Cok Sawitri, Fajar Arcana, dan Wayan Sunarta, memperpanjang nama
penulis Bali yang tembus sebelumnya seperti Aryantha Soethama.
Era Reformasi
Tidak ada kesepakatan tentang kapan era reformasi
muncul. Era setelah Presiden Suharto jatuh sering disebut era reformasi atau
pascareformasi. Ada juga yang menyebutkan bahwa sebagai gerakan era reformasi
sudah dimulai sejak awal 1990-an, ketika demonstrasi mahasiswa berdenyut, sejak
demo menentang lotere SDSB. Wujud nyata gerakan reformasi di Bali bisa dilihat
saat demo besar-besar menentang megaproyek Bali Nirwana Resort (BNR) terjadi
1993/1994. Tahun ini bisa dianggap zaman reformasi untuk sastra Indonesia di
Bali.
Periode reformasi sastra di Bali bisa dipancangkan
mulai awal 1990-an, ketika penyair Bali mulai banyak menulis sajak protes
tentang merosotnya landscape dan spiritualscape di Bali akibat
pembangunan yang berlebih (lihat Bali Post, Minggu, 31 Mei 2009).
Penyair Bali seperti Tan Lio ie, Wayan Arthawa, Landras Syaelendra
mempublikasikan sajak-sajak ‘protesnya’ di majalah Horison tahun 1994.
Umbu yang semula dikenal lebih menyukai sajak-sajak soliter (berurusan dengan
sunyi jiwa), pada era ini membuka ‘gawang’ rubrik puisinya dengan memuat
sajak-sajak solider (mengekspresikan kepedulian sosial).
Selain sajak-sajak protes atas ancaman hancurnya
tata ruang dan tata spiritualitas Bali, dalam masa reformasi, halaman puisi
Umbu juga banyak memuat sajak-sajak bertema ‘reformasi’ misalnya karya Alit S
Rini yang mengangkat tema perjuangan politik Megawati, atau isu gender seperti
terbaca dalam sajak Cok Sawitri dan Oka Rusmini.
Dalam bentuk dan konteks lain, isu kesetaraan gender
ini mengingatkan apa yang ditulis penulis wanita Bali di Djatajoe tahun
1930-an. Bedanya, penulis wanita 1990-an ini memang sadar untuk menjadi penyair
dan menjadikan sajak sebagai ekspresi kepedulian social.
Umbu dan Bali
Seperti terlihat dalam uraian di atas, kesemarakan
sastra Indonesia di Bali bukanlah hal baru tetapi sudah mulai berbenih sejak
zaman kolonial, dan meningkat tajam pada zaman revolusi nasional, Orde Baru,
dan era reformasi. Sejak dulu hingga kini Bali adalah ladang subur sastra, tak
hanya sastra daerah (Bali dan Jawa Kuna) tetapi juga sastra Indonesia. Umbu
ikut memainkan peranan penting dalam dinamika sastra Indonesia di Bali,
khususnya mulai 1979, era Orde Baru.
Yang pantas dicatat dari Umbu adalah kepiawaiannya
mengelola rubrik sastra dan apresiasi di era militeristik Orde Baru tanpa
pernah tersentuh ‘sensor’ atau ‘penggrebegan’. Walaupun dulu sesekali terdengar
di antara kawan-kawan bahwa kegiatan apresiasi sastra Umbu diintai oleh intel,
nyatanya tidak pernah terjadi pembubaran sehingga tujuan apresiasi untuk
menyuburkan sastra di Bali bisa menggelinding.
Dedikasi Umbu telah membuat sabana sastra Balidwipa
tumbuh subur ditandai panen penyair yang tidak pernah berhenti dalam tiga
dekade, 1979-2009. Deretan nama penyair dan cerpenis Indonesia yang lahir dari
Bali dan aktivitas sastra di Bali semakin mengokohkan Bali sebagai salah regional
centre sastra Indonesia.
-Penulis adalah staf pengajar Jurusan
Sastra Indonesia Universitas Udayana. Tulisan ini disusun untuk memeriahkan
Reuni Apresiasi Sastra 30 Tahun Umbu Landu Paranggi membina sastra di Bali,
1979-2009. Apresiasi berlangsung 16 Juni 2009 di Singaraja,
disusul bulan-bulan berikutnya di kota-kota lain di Bali. Di Denpasar
dilaksanakan di Gedung Ksirarnawa, Art Centre, awal Juli 2009, di
sela-sela pelaksanaan Pesta Kesenian Bali.
Bagi saya guru yang terbaik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri sendiri. Sehingga tidak hanya sekedar menjadi epigon tapi kemauan untuk kreatif dan maju terus tanpa pernah menyerah. Diperlukan fasilitas media dan lain-lain, memang itu sudah ada. Dulu saya sulit mencari media saat menjadi penulis pemula. Tapi modal pokok adalah motivasi. Hati-hati dengan sanjungan agar tidak jatuh pada ''ejekan'' Maha guru itu gurunya para profesor. Bagi saya Umbu teman baik. Bagi saya meskipun saya menulis puisi, penyair profesi biasa saja, sama dengan profesi lainnya. Itu bagi saya silahkan bagi orang lain. Ada atau tidak Umbu di Bali saya pasti tetap akan menulis puisi sepenuh hati. Terpenting bagi saya bukan dorongan orang lain, tapi motivasi yang harus tetap terpelihara.Meskipun puisi saya kurang bagus tapi saya tetap merasa bangga karena keluar tanpa tekanan dan coretan orang lain. Berpribadi yang utuh meskipun tak sempurna. Mungkin Anda perlu baca kumpulan esai saya, berjudul:''Karya Sastra Dan Prosesnya.'' Terakhir kumpulan esai sastra saya berjudul:''Kita Dan Pendidikan Sastra.'' Tanpa tercAntum tentang diri saya di artikel di atas tak menjadi soal. Terpenting saya masih tetap berkarya bukan karena seorang guru tetapi karena motivasi. Karena kebutuhan batin, bukan karena kesombongan. Terimakasih!
ReplyDeleteIya
DeletePokervita - Deposit Pulsa PKV | Judi Deposit Pulsa PKV | Deposit Via Pulsa | Deposit Via Pulsa PKV
ReplyDeleteKenapa Harus Daftar Di Pokervita Agen PKV Deposit Pulsa Pertama
karna di Pokervita memberikan rating kemenangan tertinggi
Dan yang tak ketinggalan Pokervita menerima deposit via pulsa loh!
Pokervita Menerima Deposit Via GO-PAY
deposit via Go-Pay
deposit via pulsa
judi ovo indonesia
bonus turnover terbesar
situs judi online terpercaya
bonus referral terbesar
poker depo pulsa
capsa depo pulsa
aduq deposit pulsa
domino deposit pulsa
deposit via telkomsel
deposit via xl
Whatsapp Daftar Deposit Pulsa Alfamart
Livechat PKV Deposit Pulsa