Oleh Ebiet G. Ade
Tahun 1975, selepas SMA, saya lebih intens masuk ke wilayah
kelompok seniman muda Jogja. Pada saat itu iklim berkesenian atmosfirnya sangat
kental, terutama di sepanjang jalan Malioboro, seputar Seni-Sono dan tempat –
tempat khusus lain, yang biasa dijadikan arena berkumpul para seniman-senima
muda yang tengah berproses.
Di berbagai tempat, selalu terjadi diskusi kesenian yang
berkembang hangat, argumentatif, selalu diselingi canda tawa, membuat suasana
akrab dan cair. Masih melekat dalam ingatan saya, betapa ngototnya Halim
HD saat berdiskusi. Sulitnya menangkap kata-kata Linus Suryadi AG (alm),
lengkingan suara Ragil Suwarna Pragolapati ( yang kelak hilang secara misterius
di laut kidul). Dialek khas batak Ashadi Siregar dan Saur Hutabarat Modisnya
pakaian Sutirman Eka Ardhana, kalemnya Arwan Tuti Artha dan Korrie Layun Rampan
serta sesekali kelembutan suara Pak Umar Khayam.
Di ujung utara malioboro, di salah satu ruang kantor
mingguan “Pelopor Yogya”, berkembang kelompok sastra Persada Study Klub.
PSK di gawangi Umbu Landu Paranggi, penyair kelahiran Sumba yang kemudian
ditahbiskan sebagai “Presiden Malioboro” bersama Ragil Suwarna Pragolapati, dan
para penyair lain. Anggotanya adalah para penyair, dan para “calon” penyair.
Umbu adalah guru, inisiator, pembimbing sekaligus penyedia sarana tempat
di”kantor”nya.
Atmosfir berkesenian terasa sangat kental mengikuti
kemanapun ia mengayun langkah. Saya termasuk yang tersihir oleh suaranya yang
bariton, ketika ia membaca puisi. Sayang kemudian seingat saya, sekitar tahun
1975, Umbu memutuskan untuk bermukim di Bali.
Selain kegiatan diskusi dan menyediakan rubrik sastra, yang
menampung karya-karya puisi dan esai dari para pemula dalam ruang “Persada”.
Dan para penyair mapan dalam ruang “Sabana”( catatan : Saya tidak pernah
mengirimkan karya saya untuk di-muat dalam rubrik Persada maupun Sabana. ),
beberapa orang membentuk kelompok “poetry singing” atau yang lebih
dikenal dengan istilah musikalisasi puisi.
Yang sangat menonjol dalam konteks musikalisasi puisi adalah
Deded R. Murad, yang berduet dengan Meniek. Penampilan Deded sangat “seniman”
Tubuhnya kurus jangkung, rambut menjuntai kepinggang dan karena jarang keramas,
maka lebih sering di kuncir, dengan mata sayu layaknya bangun tidur dengan
mimpi indah, ia memainkan gitar, menggantungkan harmonika di lehernya, menyanyi
dengan suara serak-serak basah, di tingkahi suara Meniek yang mendayu.
Perpaduan penampilan yang klop, dan sangat menarik setiap kali mereka tampil.
Pada saat itu, saya belum bermimpi untuk bernyanyi, apalagi
menyanyikan puisi yang saya ciptakan sendiri. Saya selalu ikut dalam berbagai
kegiatan hanya sebagai penggembira, penikmat, pendengar, supporter dan
pengamat. Barangkali karena dalam posisi seperti itulah, maka saya cenderung
luput dari perhatian. Dan saya rela menyediakan otak, jantung dan hati, untuk
menjadi semacam keranjang sampah, dan dengan telaten menampung berbagai
kesimpulan atas diskusi yang bergelora dan kreatifitas yan mengalir deras.
Secara resmi, saya bukan anggota komunitas, tapi dengan
Emha, saya sangat diterima dan lebur dengan kegiatan- kegiatan yang mereka
buat. (saya tidak tahu persis, apakah untuk bergabung dalam komunitas, ada
cara-cara administratif atau tidak. Emha pernah mengatakan, bahwa PSK bukanlah
kelompok sastra yang menuntut seseorang untuk mendaftar dan memahami serta
mematuhi AD/ART. Tetapi lebih merupakan ajang untuk mengembangkan kebebasan
kreatifitas)
Hal yang sama juga saya lakoni, dengan komunitas Sanggar
Bambu. Persinggungan saya dengan Sanggar Bambu, seingat saya melalui Eko Tunas.
Selain kegiatan seni rupa, di Sanggar Bambu juga berkembang kegiatan seni
lain. Secara administratif, saya juga bukan anggota komunitas ini.
Tetapi saya sering tidur di sanggar, ber-aktifitas secara
kolaboratif dengan mereka, larut dalam diskusi-diskusi panjang dengan mereka,
berhutang di warung yang kita namai Gua Khiro’, sama seperti mereka, numpang
ngopi di rumah Mas Bardi, ketika bulan tua, juga sama seperti sebagian dari
mereka.
Di Sanggar Bambu, lahir kelompok Musikalisasi Puisi,
yang di gerakkan oleh Untung Basuki. Anggotanya sangat banyak, kegiatanya juga
banyak. Ritual mereka sebelum manggung, masih melekat dalam ingatan saya.
Untung, orangnya sangat enerjik, penuh gagasan dan ramah kepada siapapun.
Lagu-lagu ciptaanya bagus-bagus. Ada lagunya Untung yang saya suka ikut bersenandung,
kalau tidak salah judulnya “Ingin KugambarWajahmu” Untung Basuki adalah anggota
utama di Bengkel Teater.
Nah, di Bengkel Teater pimpinan mas Willy (WS Rendra), saya
juga bukan anggota, tetapi saya berkawan dengan banyak sekali anggota Bengkel
Teater. Salah satu anggota aktif Bengkel Teater adalah Eddy Haryono dan
kakaknya EH Kartanegara, yang adalah sahabat dekat saya.
Saya pernah tinggal lama di rumah Orang tua mereka di
Pekalongan. Dan bersama EH Kartanegara, Eko Tunas serta kawan-kawan lain,
terlibat dalam beberapa kegiatan Tater dipadu dengan musik puisi. (akan saya
ceritakan dalam bagian tersendiri)
Bram Makahekum, Bujel dipuro, Sawung Jabo, Iwan Burnani,
Eddy Haryono, dan lain- lain, adalah sebagian dari kawan-kawan saya, yang
tergabung dalam kelompok musik “Kampungan”. Kelompok musik ini adalah bagian
dari kegiatan awak Bengkel, selain teater.
Mereka menyuarakan kesumpekan budaya, dengan lagu-lagu yang
“panas”, menyanyikan beberapa puisinya Rendra, dan mereka menjadi semacam
simbol pemberontakan terhadap kemapanan. Kelompok musik ini pada saat itu
sangat terkenal, terutama di kampus-kampus, dan sempat membuat album rekaman.
Penampilan mereka sangat atraktif, menggetarkan dan sangat menarik untuk di
tonton.
Mengapa saya bercerita tentang mereka, karena saya ingin
memberi gambaran tentang, di-wilayah manakah gerangan komunitas pergaulan saya
di jogja, sekitar tahun 1974 samapai dengan1977, masa-masa dimana saya
tengah giat ber-proses. Beberapa cerita diatas mudah-mudahan sedikit memperjelas
“asal usul” saya.
Dan dengan demikian, saya berharap, masyarakat pencinta
karya-karya saya akan faham, dari belahan mana dan dengan latar belakang
seperti apakah, sehingga terbentuk, karakter dan kepribadian, sikap serta
pilihan tata pergaulan, dan yang terpenting, warna dari karya-karya, yang lahir
dari tangan saya.
Sebagai ilustrasi. Kalau pada saat itu ada yang bertanya
kepada saya : Siapakah pemain musik, atau penyanyi yang pada saat itu sangat
terkenal di jogja, atau bahkan di Indonesia? Maka saya akan berfikir dan
bertanya-tanya terlebih dahulu sebelum menjawab, yang artinya, saya tidak tahu
persis. Tetapi kalau ada pertanyaan, siapakah penyair atau dramawan yang sedang
produktif? Maka InsyaAllah saya mampu menjawab dengan pasti dan benar.
Saya bersahabat sangat dekat dengan tiga orang seniman.
Mereka adalah Emha Ainun Nadjib, yang akrab dipanggil Cak Nun, Budayawan,
Penyair, Kyai, dan banyak lagi predikat yang ia sandang. Eha Kartanegara,
Penulis, Penyair dan Pelaku teater. Eko Tunas, Penyair, Pelaku teater dan
Pelukis. Kami bertiga hampir setiap hari selama beberapa tahun selalu bersama –
sama, bahkan boleh dikatakan, kami tidur dengan berebut selimut, atau makan
berebut lauk dalam satu piring.
Kebersamaan kami tentu dalam konteks berkesenian. Artinya
kami saling memberi referensi satu sama lain. Akan tetapi sesungguhnya, saya
merasa bahwa, sayalah yang paling di untungkan dari persahabatan ini, karena
saya yang paling muda, maka jamak bila saya menimba ilmu dari mereka bertiga.
Selain bergaul dengan kelompok seniman, saya juga bersahabat
dengan kawan – kawan lain, yang kebetulan tinggal di asrama Kadipaten Wetan,
Jogja. Mereka – mereka ini antara lain adalah Nanang Soesilohardi dan Widodo
yang kuliah di ASRI, Sonny T. Sampurno, Ekanto Padmadi ( Eko), Agus, Ricardo
mereka kuliah di UPN , Hanung yang brewoknya hampir menutupi seluruh wajah,
Udin yang kalem, Sutikno yang sangat percaya klenik, Suparno yang badanya mirip
Ade Rai, Mulyono yang pernah jadi manager tempat permainan sejenis ding-dong,
Sirod mahasiswa Fakultas hukum yang selalu ngeyel, Yitno yang kelewat rajin
belajar, serta seluruh penghuni asrama Kadipaten Wetan, termasuk Ivan Haryanto,
anak ASRI yang sering ngelencer ke Kadipaten Wetan. Kawan – kawan saya inilah
yang mendorong dan meyakinkan bahwa saya punya kapasitas. Dengan kata lain,
mereka termasuk kawan-kawan yang turut mengantarkan saya menjadi
seperti sekarang.
Saya bersama Sonny dan Widodo di kamar asrama
Sonny, Eko dengan keluarganya, juga Dedy VE dan Heru “ ti’em
” Susilo dengan keluarganya, adalah sahabat-sahabat yang telah memberikan
sarana, tempat tinggal, transportasi, dan akomodasi yang melimpah ruah, ketika
saya memberanikan diri kembali menyerbu Jakarta, setelah kalah pada serbuan
pertama. Mereka adalah orang-orang yang berperan sangat aktif, dalam
menjembatani “kekumalan” saya yang seniman, menjadi saya yang agak
menyerupai borjuis, sebagai syarat tidak tertulis untuk dapat dan pantas
bersentuhan dengan dunia “pop”. Saya akan menceritakan lebih jauh, tentang
peran Sonny dan Eko, juga Heru item, Deddy VE dan temen-temen lain “geng anak
Jakarta” pada bagian lain.
Kembali ke perihal “bara impian”. Saya seperti
mendapat kesempatan untuk mewujudkan mimpi saya. “Kuliah sambil bekerja”.
Impian ini memang sangat mengerucut dalam fikiran, ada tantangan yang selalu
mengusik dan merangsang saya untuk membuktikan, bahwa pilihan saya tidak
keliru.
Selain itu juga karena saya sudah harus menghidupi diri saya
sendiri, tidak lagi bergantung kepada siapapun. Menurut logika, kemungkinan
seperti itu rasanya hanya bisa terwujud di Jakarta, bukan di Jogja. Kesempatan
itu se olah-olah menghampiri saya, ketika salah seorang putra pemilik asrama
dimana saya tinggal, datang ke Jogja dengan Istri dan putrinya yang masih bayi.
Mas Kelik Indarto.
Ia pribadi yang sangat mengasyikkan, punya segudang
pengalaman darat dan laut. Ia bekerja di kapal pesiar, tentu dengan langlang
buana, pengalamanya sangat banyak. Ayahnya kaya-raya, tetapi ia melepaskan diri
dari surga kekayaan, untuk berkelana dan mengelola hidup dengan caranya
sendiri.
Dari Mas Kelik saya belajar banyak untuk menjadi manusia
yang mandiri. Mas Kelik menghembuskan angin segar dengan berbagai cerita
tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa saya jalani, apabila saya berangkat
ke Jakarta. Melihat potensi saya bermain gitar, dan sesekali dengan malu-malu
saya menyanyi, ia sangat yakin bahwa saya akan mampu menaklukkan Jakarta.
Menurutnya, Jakarta sangat menjanjikan bagi orang-orang
berbakat seperti saya. Selain itu ia juga kebetulan mengenal banyak musisi,
yang menurutnya akan bisa membantu saya memberikan pekerjaan.
Kamar mandi asrama Kadipaten Wetan
Didalam kepala saya, mulai bermain impian-impian manis. Saya
merencanakan untuk bekerja pada malam hari, dan pagi harinya kuliah. Kampus
yang rasanya pas untuk saya adalah LPKJ, sekarang IKJ.
Maka,dengan hanya berbekal sedikit uang dari Ibunda
tercinta, serta keteguhan hati dan semangat yang menggebu-gebu, di akhir tahun
1975, berangkatlah saya bersama Mas Kelik, Mbak Lies dan Cunul, panggilan bayi
mungil putri Mas Kelik, ke Jakarta.
Sesungguhnya isyarat bahwa Jakarta akan menghempaskan saya
dan sekeranjang cita-cita,sudah mulai terasa sejak awal keberangkatan. Entah
kenapa, sepanjang perjalanan saya didera sakit perut yang luar biasa, dan
sialnya - yang dari sudut pandang saya adalah untungnya – beberapa
kali, bus mogok (artinya saya selalu punya kesempatan mencari parit, untuk
“menyendiri” mengurangi sakit perut yang saya derita).
Di Jakarta, saya menumpang dirumah Ibu mertua Mas Kelik di
daerah Menteng Atas. Ibu mertua Mas Kelik sangat baik, Beliau sangat
menyayangi Mas Kelik, Mbak Lies dan adik-adiknya Yanto (alm) dan Puger.
Cunul sedang lucu-lucunya, melengkapi kegembiraan kami selama tinggal di
keluaraga Menteng atas.
Saya sangat beruntung berada dalam rumah yang penuh aura
kebahagiaan. Walaupun saya kebagian “kamar” di teras, persis di pinggir jalan,
yang kebetulan berseberangan dengan kuburan, sehingga setiap malam saya harus
terbiasa dengan deru masin mobil, motor dan bajay yang seperti masuk telinga
kanan bergemuruh didalam kepala, kemudian keluar lewat telinga kiri. Dan
terkadang dari lubang di dinding papan, saya sengaja menghitung batu nisan yang
menyembul dari kegelapan terutama saat bulan purnama. Tetapi saya sangat
menikmatinya sebagai bagian dari ilustrasi perjalana hidup.
Saya dibantu Mas Kelik, mulai berburu pekerjaan. Langkah
awal adalah mencari kawan-kawan lama Mas Kelik yang berpotensi membantu saya
mendapatkan pekerjaan. Di daerah Kebayoran Baru, ada satu kelompok musik yang
personilnya kenal baik dengan Mas Kelik. Kami datangi markas mereka. Setelah
basa-basi, Mas Kelik merekomendasikan kemampuan saya kepada mereka, yang
sebetulnya membuat saya jengah, karena saya tidaklah sehebat itu.
Akan tetapi promosi dengan up-grade yang berlebihan itupun,
nampaknya tak mempan menggerakkan perhatian mereka untuk menyapa saya. Saya
seperti tidak ada diantara mereka. Mereka lebih asyik dengan topik berburu babi
hutan yang baru saja mereka lakukan. Langkah pertama yang gagal, dan agak
menyakitkan.
Ada lagi kawan Mas Kelik yang lain, kebetulan sedang
di kontrak bersama kelompok musiknya, di sebuah Hotel bintang lima di seputaran
Hotel Indonesia. Setelah Mas Kelik menghubungi lewat telepon, malam harinya
kami menyambangi mereka di tempat kerja.
Masuk di keremangan club, sebenarnya sudah membuat bergidik
dan ciut nyali saya. Tapi demi “masa depan” saya bertahan dan berlagak se
olah-olah itu hal biasa bagi saya.
Tetapi fisik saya merespons dengan jujur, setiap beberapa
menit saya mesti minta izin ke kamar kecil karena stress. Selain itu saya
memberi kesempatan kepada Mas Kelik untuk mempromosikan saya se
hebat-hebatnya,tanpa kehadiran saya. Responsnya lumayan. Mereka menanyakan apa
ke-ahlian saya. Dengan penuh percaya diri saya katakan bahwa saya pemain gitar!
Malangnya atau untungnya, yang lebih mereka cari adalah
pemain alat tiup. Tetapi mereka menjanjikan akan menjajal kemampuan saya besok
malam. Besok malamnya kami sudah mulai terpaksa harus ber olahraga jogging
untuk menghemat ongkos. Kami berjalan dari Menteng Atas ke-lokasi Hotel dengan
penuh keyakinan, bahwa ini adalah malam dimana saya akan mendapatkan
pekerjaan, yang sejujurnya saya sendiri bingung dengan standar kemampuan saya.
Tetapi bagaimanapun, sudah mulai terbayang kampus LPKJ dalam genggaman.
Bayangan prematur, memang kadang-kadang sangat nikmat. Setidaknya meringankan
langkah demi langkah yang kami kayuh untuk mencapai tujuan.
Ketika kami sampai, kami diminta menunggu sampai mereka
selesai manggung. Saya sudah mulai kreatif mengembangkan mimpi saya. Dipanggung
nanti, saya akan menjadi pusat perhatian karena saya wajah baru yang aneh dan
sangat tidak serasi dengan penampilan mereka.
Kami setia menunggu sampai akhir penampilaan mereka.
Tetapi saya tidak faham dengan apa yang sesungguhnya terjadi, ketika dengan
tanpa menghiraukan kami, mereka pergi meninggalkan Hotel, dan hanya menitipkan
pesan kepada pramusaji, agar besok siang, saya datang ke rumahnya pemimpin
kelompok, yang kebetulan lokasinya tidak terlalu jauh dari Hotel. Penantian yang
meletihkan dan sia-sia, tetapi masih meninggalkan se-cercah harapan.
Keesokan harinya, kami kembali berjalan kaki, menuju rumah
sang “calon penyelamat” ini. Ketika kami ketuk pintu rumahnya, tidak ada
jawaban. Beberapa kali kami coba, akhirnya kami di bukakan pintu dua jengkal,
agar seorang wanita, entah siapa, bisa mengatakan bahwa sang calon pemberi
kerja ini masih tidur, saat itu sudah jam 16.00 WIB-lewat. Tetapi karena kami
memegang janji, maka kami tetap menunggu di pinggir jalan, dengan harapan beliau
bangun dan menemui kami.
Lagi-lagi, pintu terkuak dua jengkal! Si juru bicara
menyampaikan, bahwa sebaiknya pertemuan dilakukan nanti malam saja di Hotel.
Dengan gontai, kamipun berjalan meninggalkan rumah sang calon penyelamat.
Hanya beberapa puluh meter kami berjalan, ada sebuah mobil
melewati kami, dan di dalamnya duduk dengan membenamkankan kapalanya. Sang
calon penyelamat! Maka, berakhirlah perburuan mubazir, demi mewujudkan
impian,“kuliah sambil bekerja”, yang ternyata, belum pernah sampai menyentuh
test kemampuan saya bermain gitar, apalagi mendengar nyanyian saya.
Dulu kami menyebutnya bencana. Tetapi sekarang saya
menganggap penghianatan sang “Calon penyelamat”, adalah anugrah. Dan saya mesti
berterimakasih kepadanya.
Saya masih belum menyerah. Mas Kelik sudah mulai sibuk
dengan kesibukanya sendiri, tetapi saya tetap di izinkan tinggal di Menteng
Atas, masih dengan keramah-tamahan dan kasih sayang yang tulus, dari Ibu serta
adik-adiknya Mbak Lies.
Bekal semakin menipis, semangat mulai mengendur, akan tetapi
saya merasa, masih ada celah untuk melanjutkan perburuan di padang, yang
sesungguhnya sangat asing dan gelap bagi saya.
Saya sungguh-sunguh lupa dengan seseorang yang tiba-tiba
menawarkan pekerjaan di sebuah proyek rumah tinggal yang sedang dalam tahap
akhir, seingat saya lokasinya di daerah Lebak Bulus. Saya tidak ditanya dan
bertanya, apa yang harus saya kerjakan, atau apa ke-ahlian saya, yang penting,
saya bekerja dan dapat mendapatkan gaji, siapa tahu inilah pitu masuk, untuk
mewujudkan mimpi.
Ternyata yang harus saya kerjakan adalah memasang instalasi
listrik. Merentang kabel, membobok tembok dan pekerjaan lain, yang samasekali
tidak terbayangkan dan secara fisik, sesungguhnya saya tidak mampu melakukanya.
Saya takut memanjat, takut ketinggian dan tidak faham samasekali tentang arus.
Tetapi karena hanya itu pekerjaan yang tersedia, maka saya coba jalani dengan
tekun dan hati-hati. Karena saya sadar pekerjaan ini menjadi sangat sulit,
karena memang saya tidak punya skill.
Hanya dalam hitungan hari saja saya sanggup menjalani
pekerjaan ini. Akhirnya saya menyerah dan menyampaikan kepada pemberi kerja
tentang hambatan-hambatan yang tidak mampu saya lawan, yaitu takut memanjat dan
ketinggian.
Ia menjanjikan akan mencarikan pekerjaan yang sesuai untuk
saya. Tetapi apakah gerangan? Saya sendiripun tidak tahu apa yang bisa saya
kerjakan di bidang yang bukan wilayah perburuan utama saya. Dalam hati, saya
berjanji akan mencoba bertahan apabila diberi pekerjaan baru,demi mewujudkan
mimpi indah“Kuliah sambil bekerja” yang rasanya kemungkinanya semakin mengecil.
Setelah menunggu beberapa hari, saya tidak mendapat
kepastian untuk bisa bekerja di bagian lain, maka saya mohon izin untuk
berhenti.
Ada cerita manis didalam segmen ini. Ketika saya bekerja
sebagai penarik kabel, kebetulan disebelah rumah tempat saya bekerja, dihuni
orang asing. Setiap sore saya memperhatikan sopir si “Bule” mencuci mobil, yang
menurut saya bentuknya sangat bagus, istimewa dan belum pernah saya lihat
di jalanan.
Satu saat kelak, saya baru tahu bahwa mobil tersebut adalah,
BMW type 320 coupe dua pintu, dan mobil pribadi pertama yang saya beli dengan
“hati” adalah, BMW 320 coupe dua pintu berwarna putih, hanya untuk memanjakan
nostalgia, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu memerlukanya. BMW 320i
Coupe, impian yang terwujud.
Sesungguhnya saya masih belum mau menyerah, saya masih
beberap kali lagi mencoba, baik dibantu Mas Kelik, atau atas inisiatif saya
sendiri. Tetapi memang pada kenyataanya, Jakarta memang benar-benar telah
menghempaskan saya. Ada kejadian yang sampai sekarang masih menjadi misteri bagi
saya. Saya pernah berada dalam kondisi yang sangat lapar dan letih, dalam
perjalanan menuju pulang ke Menteng Atas, tiba-tiba saya kehilangan kesadaran.
Mungkin saya jatuh pingsan di jalanan. Setelah sadar, saya sudah berada di
dalam Masjid kecil, ditunggui “seseorang” yang mengaku sebagai pengurus
Masjid, dan dialah yang membawa saya ke Masjid tersebut. Kemudian ia memberi
uang untuk membeli makanan, sambil memberi nasihat agar saya pulang saja ke
kampung, daripada sakit di perantauan dan tidak ada yang menolong. Setelah
makan, saya kembali ke Masjid dan tertidur. Saat Adzan maghrib, saya terbangun
mengambil air wudlu, kemudian shalat berjamaah. Seusai shalat, saya mencoba
mencari tahu siapakah“penolong” saya, tetapi diantara para jamaah, ia tidak
terlihat. Kemudian saya bertanya kepada orang-orang yang masih tinggal di
Masjid dan juga mengaku sebagai pengurus Masjid, saya sebutkan ciri-ciri orang
yang menolong saya, tetapi mereka tidak ada yang bisa menjawab dengan pasti.
Selama kurang lebih seminggu kedepan, saya selalu datang ke Masjid tersebut,
namun tidak pernah bertemu lagi dengan orang yang telah menolong saya. Saya
bertanya-tanya, mungkinkah ia Malaikat! Ah, terlalu berlebihan. Setidaknya, ia
adalah musyafir yang berhati Malaikat.
Tidak lama setelah kejadian itu, saya teserang penyakit yang
kurang lebih sama seperti ketika berangkat dulu, gangguan cerna menggerogoti
perut.
Saya teringat nasihat sang “Penolong”. Sepertinya ia telah
meramalkan apa yang akan saya alami. Selain itu, rasanya saya juga tidak ingin
merepotkan keluarga mas Kelik, dan bekal saya sudah benar-benar nyaris habis,
apalgi semangat saya perlahan-lahan meredup.
Akhirnya saya harus menyerah, dan tidak mampu mewujudkan
mimpi saya “Kuliah sambil bekerja”, pada persinggungan saya yang pertama dengan
Jakarta. Dan, saya memutuskan pulang ke Kampung, untuk menenangkan diri. (Kelak
lahir lagu saya, berjudul “ Jakarta-I”).Kampung halaman, adalah tempat terbaik untuk kontemplasi.
Merenung dan memutar kembali rekaman perjalanan yang sudah saya lakukan. Ibu
dan Ayah yang mulai renta, masih tetap menerima saya dengan penuh kasih sayang.
Mereka tidak mengusik saya dengan pertanyaan-pertanyaan, tetapi justru berusaha
membawa saya ke Dokter, mengobati fisik saya, menyirami ruhani saya, dan dengan
bahasa yang sederhana mencoba membangkitkan semangat saya, yang tengah retak
seribu.
Kakak-kakak saya diam, memandangi saya dengan belas kasih,
tetapi mereka juga tidak menanyakan apapun yang sesungguhnya tengah menimpa
saya, karena mereka tahu bahwa, pertanyaan-pertanyaan, akan semakin melukai
saya.Hening, kasih sayang, perhatian, dan ketulusan dari seluruh
keluarga, secara perlahan mengembalikan semangat hidup, membangkitkan kembali gelora
serta hasrat saya, untuk kembali bergerak meraih masa depan.
Barangkali memang ini adalah ujian, yang telah dipersiapkan
Tuhan untuk memperkuat daya juang, memperkokoh kuda-kuda keyakinan, mempertajam
intuisi, menyelam kekedalaman lautan ilmu, memperbanyak bekal ruhani, sehingga
langkah saya kelak, lebih mantap dan pasti.
Tulisan ini merupakan bab kedua dari lima bab otobiografi
yang ditulis Ebiet di http://www.ebietgade.com/
yang diakses pada 4 April 2010. Sebagaimana bab-bab lain, bab tersebut pun tanpa
judul, sehingga kami beri judul “Malioboro, Umbu Landu Paranggi, dan Ebiet G.
Ade” lebih untuk memudahkan penandaan pada blog ini. Tulisan tersebut sengaja
kami muat untuk lebih memberikan gambaran lain tentang kehidupan komunitas
seni, khususnya komunitas sastra, di Yogyakarta, lebih-lebih di Jalan
Malioboro.
No comments:
Post a Comment