Wednesday, July 9, 2014

Mengenang Umbu dan Gerakan 1970

oleh Agus Dermawan  

Apabila Persada Studi Klub (PSK) masih hidup, klub sastrawan itu akan berusia 45 tahun. Sebab, pada medio Maret 1968, klub tersebut mulai dibentuk lewat rubrik sastra di mingguan Pelopor Yogya. Sebuah koran amat sederhana yang terkategori jelek cetakannya. PSK ini dikomandani Umbu Landu Paranggi, penyair karakteristik kelahiran Waikabubak, Sumba Barat, yang pada 2013 genap berusia 70 tahun.


Apabila lembar-lembar sejarah PSK dicermati, ternyata klub sastra itu tidak cuma menggerakkan gairah para pencipta puisi dan prosa, tetapi juga memotivasi para pemikir serta aktivitas sosial dan budaya yang “laten revolusioner” pada pertengahan 1970-an.

Lewat rubrik sastra itu, Umbu memang tak henti memupuk keberanian anak-anak muda untuk bicara lewat medium tulisan, apa pun bentuknya. “Segala yang kau pikirkan, percuma apabila tak kau tuliskan!” katanya, memprovokasi di depan gedung Senisono. Tepatnya di sehampar trotoar yang terletak di persimpangan Kantor Pos Besar Yogyakarta, sebelah selatan Malioboro. Satu wahana informal yang jadi pusat pertemuan fisik dan pikiran anak-anak muda setiap malamnya.

Bagi yang sadar situasi budaya, yang lantas bertaut dengan sosial politik, kalimat Umbu itu seperti ajakan untuk bersikap dan berbuat disertai kematangan pikiran, yang telah dilatih lewat dunia penulisan. Tujuannya agar anak-anak muda siap menghadapi pemerintah Orde Baru, yang pada menjelang paruh pertama dekade 1970 dirasa mulai represif. Lewat PSK, Umbu seperti mengatakan bahwa orang berpikir tak mudah tersingkir.


Universitas Malioboro

Bertahun-tahun sastra jalanan ala Umbu hidup dan menyala. Dan ia selalu melontarkan topik untuk dipikirkan dan didiskusikan. Pada suatu kali, lewat rubrik PSK, ia menegaskan perkataan pujangga Rainer Maria Rilke: “Janganlah engkau menulis puisi cinta yang cengeng pada langkah permulaan. Berpalinglah kepada tema kehidupan sehari-hari yang keras dan terus melintas. “Saya tak menduga, topik Rilke yang dilontarkan Umbu itu menjadi perbincangan berhari-hari di trotoar Senisono, juga di sepanjang koridor Malioboro. Dan kalimat “berpalinglah kepada tema kehidupan yang keras” berkembang menjadi wacana: bagaimana cara melawan segala sesuatu yang menjurus ke tiran.

Pada kesempatan lain, penyair Ragil Suwarna Pragolapati menyampaikan kabar bahwa Umbu menolak isi esai Why the Novel Matters tulisah D.H. Lawrence, yang menyatakan bahwa novelis lebih tinggi kedudukannya ketimbang penyair. Lalu, tak kurang dari seminggu forum diskusi trotoar memperdalam persoalan itu. Penyair dan novelis pun merasa dirinya satu.

Ratusan topik kesenian, kebudayaan, sosial, bahkan politik, dipercakapkan di sana. Dari yang ilmiah, ngilmiah, ringan, berat, sampai yang banal. Nama Rivai Apin, W.S Rendra, Dickinson, Andy Warhol, Herman Hesse, Robert Frost, Herbert Marcuse, sampai Ronggowarsito muncul di ujung Malioboro.

Pada awalnya yang berkumpul di situ tentu sastrawan kerabat PSK. Kemudian diimbuh para mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) Asri yang gemar diskusi. Selanjutnya, muncul anak-anak muda anggota teater di sekitar Yogya. Pada waktu berikutnya, bergabung mahasiswa serta dosen dari fakultas sastra, sejarah, sosial-politik, serta filsafat Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur. Sampai di sini, niat Umbu mempertemukan sastrawan dengan perupa, filsuf, sosiolog, politikus, sampai antropolog tampak tercapai. Dan dari sinilah kemudian muncul istilah “Universitas Malioboro” atau poros “Bulaksumur-Malioboro”, yang di kemudian hari diangkat menjadi judul kumpulan puisi.

Sementara dedengkot PSK Emha Ainun Najib mengungkap ada jalur Umbu yang menyusur Tugu sampai Keraton (utara-selatan), tak boleh dilupakan jalur Gampingan sampai Bulaksumur (Barat-Timur), yang bersumbu di ujung jalan Malioboro. Jalur ini adalah turunan dari kegilaan Umbu, yang lantas menerbitkan nama Yudhistira A.N.M. Massardi, Halim H.D., Ebiet G. Ade, Linus Suryadi A.G., Landung R. Simatupang, dan puluhan nama penting lainnya.


Dimata-matai

Pada akhir Maret 1975, sebagai mahasiswa STSRI Asri, saya dan delapan teman mengadakan pameran “Nusantara! Nusantara!” di gedung Karta Pustaka, Pusat Kebudayaan Belanda, Yogyakarta. Sebuah pameran parodi seni rupa yang isinya empati kepada sejumlah mahasiswa STSRI Asri yang diskors dari kampus. Syahdan, para mahasiswa itu dihukum lantaran melakukan gerakan “Desember Hitam”, yang antipemaksaan konsep kebudayaan nasional di Jakarta. Pameran dibukan oleh Pater Dick Hartoko, seorang rohaniwan dan budayawan, pemimpin redaksi majalah Basis.

Beberapa hari setelah pameran dibuka, keributan terjadi. Aparat Orde Baru menuduh pameran itu embrio subversi kebudayaan. Terembus kabar bahwa kasus ini, sekalian kasus Desember Hitam, telah masuk dalam pembahasan Panglima Komando Wilayah Pertahanan IV Jawa-Madura Letjen Widodo. Para dosen STSRI Asri ditekan untuk menindak para peserta pameran. Dan saya, selaku juru bicara pameran, tidak boleh masuk kampus dalam tempo tiada berbatas.

Saya pun datang ke Pater Dick untuk meminta pertolongan. Dengan khawatir, Pater Dick mengatakan bahwa saya telah dicatat sebagai bagian dari “Universitas Malioboro”, komunitas pemikir muda yang sudah lama dimata-matai aparat keamanan demi stabilitas politik. “Ini tanda-tanda zaman,”katanya. Apa yang dikatakannya benar. Beberapa minggu kemudian, Emha Ainun Najib dan novelis-sosiolog Ashadi Siregar menyarankan agar saya segera lari bila tidak ingin ditangkap tentara. Mereka menganjurkan saya pergi ke Jakarta, untuk menyelinap di majalah Obor. Sebuah majalah yang ternyata dibatalkan penerbitannya oleh Menteri Penerangan, lantaran di dalamnya ada nama Aini Chalid, salah seorang penggerak Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1975.

Saya pun menggelandang di Jakarta sambil mengingat Umbu Landu Paranggi, “Presiden Malioboro” yang menginspirasi siapa saja untuk terus berpikir dan bertindak berani. Sementara Umbu sendiri diam-diam pulang ke kampungnya, lalu pindah ke Bali, setelah PSK dipopulerkan pemerintah sebagai singkatan dari pekerja seks komersil....


Agus Dermawan, Koran Tempo 15 maret 2013


No comments:

Post a Comment