Wednesday, July 9, 2014

Guruku Umbu Landu Paranggi


Oleh Riki Dhamparan Putra

Umbuwulang Landu Paranggi, lahir di Waikabubak Sumba 10 Agustus 1943, sebenarnya adalah orang yang biasa - biasa saja dan bersahaja. Misalpun saya dan beberapa teman sepakat untuk mengangkatnya sebagai penyair terlegendaris Indonesia pasca Amir Hamzah dan Chairil Anwar, tetap saja Umbu bakal begitu. Biasa saja. Tak ada yang khusus dan lebih dari dirinya kecuali dia seorang yang punya daya tahan luar biasa dalam mengabdi kepada pembangunan mental manusia Indonesia melalui kebudayaan, khususnya puisi. 



Hal ini rasanya tak perlu diperbantahkan, ya. Sebab semenjak masih usia muda, beliau ini sukanya memang mengasuh orang. Anak - anak muda yang dalam proses mencari jati diri dijamin cocok dengan Umbu Landu Paranggi. Bahkan sebagian tak perlu jauh - jauh menemuinya, dia bisa tiba - tiba datang mengetuk pintu kamar kos - kos-an,kemudian tanpa kita sadari kita telah menjadi temannya. Tanpa kita sadari kemudian pula dia telah merasuk seperti virus di dalam darah kita. Selanjutnya pula lagi, kita akan kesepian kalau tidak bertemu Umbu lagi.

Percaya atau tidak percaya, pengalaman seperti itu dialami oleh banyak teman. Misalnya Iman budi Santosa, teman kita yang sekarang sedang membujang dalam usia setengah abad lebih di Jogjakarta. Menurut Mas Iman pada suatu percakapan dengan saya, sampai sekarang ia masih tidak mengerti mengapa dalam menulis tanda tangan pun harus mirip dengan tanda tangan Umbu. Kebiasaan itu katanya terjadi begitu saja pada dirinya, juga pada diri teman - teman seangkatannya yang lain di PSK (bukan pekerja seks komersial tapi Persada Studi Klub)seperti alm. Linus suryadi AG, the man lost Ragil SP, Emha, dan beberapa lagi. Bahkan tidak hanya tanda tangan, cara - cara mengusili temanpun menurut mas iman musti dimirip - miripkan dengan cara Mas Umbu.

Sekitar tahun 1978, Umbu hijrah ke Bali. Kata orang, hijrahnya itu adalah bagian dari usahanya melepas mimpi buruk dari sebuah peristiwa besar di Tanah Air. Tercermin di dalam sebuah sajaknya, Upacara 33 yang dalam salah satu barisnya ada begini...lepaslah rahasia / sebagai rahasia percakapan sunyi...

Entah benar entah tidak, yang jelas sesampai di Bali ini Umbu tidak kehilangan taksunya sebagai seorang teman sekaligus guru itu. Di Bali beliau mengasuh sebuah halaman budaya sebuah koran besar yang menggajinya sangat kecil. Konon menurut sebuah bocoran, hingga tahun 90-an gaji pak Umbu di koran itu tak sampai seratus ribu rupiah. Tapi itu bukan masalah bagi beliau. Gaji kecil tidak membuatnya pateen toh?.

Umbu is Umbu. Ia tetap meneruskan pengabdiannya kepada bangsa Indonesia melalui halaman kebudayaan itu, berkeliling masuk kampung keluar kampung, dari sudut kota ke sudut kota dari kamar kos ke kamar kos. Sudah banyak korbannya. Semua yang pernah disentuh Umbu itu rata - rata mengaku senang karena sempat disentuh. Kebanyakan dari mereka juga mengaku mencapai proses penemuan diri setelah bertemu Pak Umbu. Tidak semua siswa itu harus jadi penyair. Ada yang jadi pengusaha pariwisata, pemilik restoran, wartawan, bengkel, akademis, guru sekolah, pokoknya macam - macamlah. Dapat diibaratkan, dalam mengasuh seseorang, Umbu itu seperti seorang prajuruningrat kalau dalam dunia pewayangan. Menurut teman saya Mas Alwy Ahmad Subbhanuddin Alwy di Cirebon bahkan Umbu itu sudah level Mursyd kalau dalam tarekat. Iyakah? Tak usahlah kita bahas perihal ini lebih jauh ya. Biar tidak mengkultuskan gitu lho...

Yang pasti, tanah Bali di dalam atmosfirnya yang paling purba musti gembira didatangi orang macam Pak Umbu ini. Seberapapun perkembangan zaman di Bali melupa jasanya,tanah Bali musti tetaplah memendam wangi pengorbanannya.

Pak Umbu lah yang telah membuat koran seperti Bali Post masih mempunyai halaman budaya hingga sekarang. Kalau Pak Umbu tak ada, habislah sudah halamn sastra di koran itu berganti dengan halaman ramalan nasib hehehe. Pak Umbu juga yang mewariskan semangat militansi bersastra kepada beberapa generasi di Bali. Sampai - sampai kita menyangka tak ada dunia lain selain puisi...Pokoknya Pak Umbu bener - bener top deh di bidang kesetiaan berpuisi itu.

Tanyalah penyair Wayan Sunarta, pasti dia bakal cerita yang sama dengan ini. Tanyalah Sindhu Putra, Oka Sidemen, Raudal TB, Nur Wahida Idris, Ole, Warih, dan lain - lainnya. Musti cerita yang sama. Kita nanya satu pertanyaan soal Pak Umbu mereka pasti jawab sepuluh kali lebih banyak dari yang kita butuhkan walaupun biasanya sambil tertawa - tawa hahaha...

Soalnya, Umbu itu kalau menurut Warih lugu banget sih...dia metaksu di dalam keluguannya. Umbu tidak berupaya sama sekali menampakkan wibawa kepada para siswanya itu. Kalau marah, meledak. Kalau sedih menangis. Kadang malah (ini juga menurut Warih Wisatsana) Umbu itu gampang ditipu alias dikerjain oleh teman. Tapi Umbu gak pernah marah bener - bener sesudah itu. Lagi pula kalau dia marah paling di seputar wilayah kreatif saja, tak menyerempet sampai ke pribadi.

Sebagai contoh keluguan beliau. Di akhir tahun 90-an Umbu naik gaji. Biasanya orang habis gajian naruh uang di tempat tersembunyi kalau gak di bank kan? Nah, beda Umbu. Kalau habis gajian pasti memakai kemeja yang warnanya transparan dan kantong yang trasparan di bagian depan. Di situlah dia taruh uangnya. Cara naruhnya juga kuno banget. Uang yang nilainya lebih besar di bagian luar, di bagian lipatan dalam adalah uang yang nilainya lebih kecil. Jadi kalau orang lihat, Umbu benar - enar banyak uang. Gaji sebulan taruh di kantung dan yang kita lihat adalah uang sepuluh ribuah semua hihiihihi...

Habis itu kemudian dia akan datang pada kita dengan wajah cerah. Lalu minta tolong dibelikan rokok. Nah itulah saat yang paling menjengkelkan. Dia akan mengambil uang dari kantongnya lama sekali. Tapi yang dikeluarkan kemudian adalah uang pas seharga sebungkus rokok hahahaha....dan dan...Perangai yang serupa itu tampaknya tidak dibuat - buat. Memang sudah dari sononya kampungan hahahahaha...

Banyak lagi kisah yang beredar dari mulut ke mulut perihal keluguan keluguan Pak Umbu ini. Di satu sisi menggambarkan kedekatan para siswanya dengannya, di sisi lain menggambarkan sosoknya yang sebenarnya. Bahwa Umbu sebenarnya tidaklah seseram seperti yang kadang - kadang dimitoskan oleh beberapa teman, tidak misterius dan tidak juga semulia yang kadang - kadang kita sangkakan.

Kemuliaannya menurut amatan saya justru terletak pada tiga hal ini. pertama,pada spontanitasnya,kedua pada kesungguhannya di dalam mengabdikan diri bagi pembangunan SDM melalui kebudayaan itu dan ketiga, ia cukup gaul untuk ukuran segenerasinya. Pada bagian ketiga ini catatan ini berfokus.

Umbu itu adalah orang yang sangat gaul. Dia punya perhatian dan data yang cukup mengenai perkembangan apapun di dunia. Khususnya perkembangan kebudayaan dan sastra. Dia membaca puisi puisi Anda, cerpen - cerpen Anda, kabar tentang Anda dan dia juga tau apa saja sekarang yang menurut Anda lagi ngetrend. Dia tau lagu Peter Pen, Letto dan kadang ikut senang mendengarkan kalau ada yang menyanyikannya di dekatnya. Dia juga bisa santai ngobrol soal ustad jefri, aa' gym dan lain sebagainya. Dia hapal restoran - restoran enak, srombotan paling enak, sate ikan paling enak, dia tau. Hal - hal seperti itu membuatnya tetap bergairah menjalani masa tuanya. Dalam berpakaianpun dia bolehlah. Selalu memakai sal, topi pet dan baju lapis yang bersih. 


Denpasar, Januari 2008

*penulis adalah penyair, pernah menetap di Denpasar, Bali. Bersama Wayan Jengki Sunarta dan Raudal Tanjung Banua dibabtis oleh Umbu Landu Paranggi menjadi kelompok "Tri Sula" 

No comments:

Post a Comment