Wednesday, July 16, 2014

Bidan Dua Angkatan Sastra Indonesia Modern

Oleh : Korrie Layun Rampan

Lahir di Sumba, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Se­telah menyelesaikan pendidikan dasar (SD) hingga pen­didikan menengah pertama (SMP) di kampung halamannya, ia kemudian melanjutkan studinya di SMA BOPKRI di Yogya­karta lalu meneruskan pendidikan tinggi di Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada sampai tingkat doktoral. Ia kemudian kuliah di Universitas Janabadra, juga di Yogya­karta sampai memperoleh gelar Sarjana Muda Hukum.


Sebagaimana para sastrawan yang lahir di Indonesia Ba­gian Timur, khususnya yang datang dari Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Jaya (Papua), seperti L. Wairata, Sija­ranamual, Gerson Poyk, Julius R. Sijaranamual, Otto J. Gaut, Indonesia O’Galelano, Dami N.Toda, John Dami Mu­kese, Cannon, Maria Matildis Banda, dan lain-lain, Umbu Landu Paranggi memiliki model pengucapan khusus yang hanya bisa dijumpai di dalam karya sastra etnik yang mencirikan setting tempat tertentu seperti Sumba, Timor, Rote, Flores, Ambon, Halmahera, Seram, Papua, dan sebagainya. Pengucapan dan ungkapan khusus itu terasa khas dan unik, terutama kalau mereka melukiskan alam dan karakter ma­nusia dengan latar adat sebagaimana novel L. Wairata Cinta dan Kewajiban (1940), novel Gerson Poyk Cumbuan Sabana (1979), novel Otto J. Gaut Mawar Padang Ara (1997), novel Maria Matildis Banda Bugenfil di Tengah Karang, Pada Taman bahagia, dan Liontin Sakura Patah (2001), cerpen-cerpen Julius R. Sijanaramual yang tersebar di maja­lah Horison dan Sastra akhir tahun 1960- an, serta sajak-sajak Indonesia O’Galelano, Dami N. Toda, dan Cannon yang romantis mencirikan latar yang juga romantis.

Umbu Landu Paranggi lahir dari latar alam yang sangat khas, Sumba, dan seperti diberitakan, saat kelahirannya, lahir juga seekor kuda yang diberi nama Olidedi. Kuda bagi masyarakat Sumba adalah bagian penting yang me­nyang- ­kut identitas kebudayaan. Masyarakat pada umumnya memelihara kuda tunggang “kecil” sandelwood yang sangat terkenal di zaman Hindia Belanda. Dengan latar belakang seperti itu, tak heran jika dalam sajak-sajak Umbu Landu Pa­rang­gi kerap muncul berbagai metafora tentang derap kuda, padang sabana, steva, angin Australia yang kering, atraksi tradisi pasola, gereja gunung, padang ilalang, dan sebutan-sebutan ekskotis lainnya. Metafor-metafor semacam ini memang dikenal Umbu dengan akrab dan mendalam.

Yogyakarta menempa Umbu Landu Paranggi menjadi penyair. Kota ini memang telah lama dikenal sebagai kota eksotik yang banyak melahirkan seniman besar. Sebutan Yogyakarta sebagai Kota Budaya, Kota Pelajar, Kota Meditatif, dan kota yang menyimpan ratusan seniman dan sastrawan amatlah berperan bagi keputusan Umbu untuk bergelut dan berproses di tempat ini, sebelum pada akhirnya ia hijrah menuju Denpasar, Bali.

Tak mungkin dilupakan nama-nama M. Dimyati, Rendra, Umar Kayam, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Da­mono, B. Soelarto, Budi Darma, Mohammad Diponegoro, Nugroho Notosusanto, Nasjah Djamin, Motinggo Busye, A. Bastari Asnin, Danarto, Putu Wijaya, Abdul Hadi W.M., dan lain-lain sastrawan generasi tahun 1950-an-1960-an-1970-an yang memulai prosesnya di Yogyakarta dan kemudian hijrah ke Jakarta menjadi sastrawan Indonesia terkemuka. Barangkali Umbu Landu Paranggi termasuk unik karena ia tidak ikut bertarung menuju Jakarta sebagaimana dilakukan seniman-seniman lain. Ia justru hijrah ke Den­pasar, Bali, dan menciptakan medan tempur baru dengan membina seniman-seniman muda di Bali sebagaimana yang pernah dilakukannya di Yogyakarta.

Umbu Landu Paranggi mulai dikenal sejak tahun 1962 lewat rubrik remaja “Fajar Menyingsing” di majalah Mimbar Indonesia (1947-1962). Majalah ini, memiliki dewan redaksi sastrawan dan budayawan seperti Sudjatmoko, Rosihan Anwar, Rivai Apin, H.B. Jassin, A.D. Donggo, A.B. Loebis, dan lain-lain. Nama-nama para penulis pemula di rubrik tersebut yang sering ditemui antara lain: M. Poppy Huta­galung (kemudian menjadi M. Poppy Donggo- Hutagalung), Putu Wijaya, dan lain-lain. Sajak-sajak Umbu bersaing dengan sajak-sajak para calon sastrawan lainnya. Sejak itu, sajak-sajak Umbu muncul di media massa terkemuka, khususnya di majalah sastra budaya seperti Basis, Pusara, Kompas, Sinar Harapan, Mimbar/Tribun, dan lain-lain.

Di samping dikenal sebagai seorang penyair, Umbu Landu Paranggi adalah seorang “guru”, motivator, dan apre­siator sastra. Selama bermukim di Yogyakarta, sejak awal 1960-an sampai 1975, ia membina sebuah kelompok sastra “Persada Studi Klub” (PSK) yang didirikannya pada 5 Maret 1969 bersama beberapa rekannya seperti Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Ipan Sugiyanto Sugito, Suparno S. Adhy, Iman Budhi Santoso, dan Mugiyono Gito Warsono. Komunitas ini berkembang dengan dukungan sejumlah pengarang muda saat itu yang mulai menapak di dunia sastra seperti Faisal Ismail, Achmad Munif, Mustofa W. Hasyim, Tolib Siregar, Miska M. Amin, Bagus Suryokusumo, Yutie Gunarso, Inta Susilowati, Suryanto Sastroatmodjo, Arie Didiet Sabariyah, Menik Sugiyah Kartamulya, Bambang Supriyohadi, Sunaryo Sastrowardoyo, Bambang Indra Basuki, Naning Indratni, Sri Setya Rahayu Soehardi, dan lain-lain.
Untuk mengenal kiprah Umbu Landu Paranggi dalam mengelola Persada Studi Klub (PSK), ada baiknya juga bicarakan selintas bentuk organisasi sastra ini.

Dalam buku saya Suara Pancaran Sastra (Yayasan Arus, Jakarta, 1984 hlm. 65-75) telah saya kemukakan secara rinci mengenai PSK maupun Umbu sang pengelola. Sebe­nar­nya, Persada Studi Klub bukanlah kelompok akademisi atau studi sastra formal, karena ia tidak punya laboratorium, kantor, atau sekretariat tetap. Selama hidupnya PSK hanya menumpang alamat di mingguan Pelopor Yogya (sekarang mingguan ini tidak terbit lagi, setelah terbit sebentar sebagai harian di Semarang) yang bermarkas di Jalan Malioboro 175, Yogyakarta. Umumnya anggota-anggotanya adalah mereka yang studi di sejumlah perguruan tinggi di Yogya­karta dan tersebar di berbagai universitas, institut, akademi, sekolah tinggi, ataupun SMP/SMA. Kebanyakan anggotanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka bersatu secara ide dan emosi serta diikat secara untuk kreatif menelurkan karya sastra.

Dalam tulisannya di koran Suara Merdeka (2 April 1975), Emha Ainun Nadjib menjelaskan kekuatan kolektivitas PSK, di mana komunitas ini bukanlah kelompok yang kaku. Peraturannya ialah pertimbangan kesa­daran pribadi yang berdiri harmonis dengan unsur-unsur emosi dan hati. Oleh karena itu, PSK tidak memiliki kartu anggota, AD/ART, tak ada pendaftaran, tidak ada bingkai kolektif apalagi yang fisik. Memang ada anggota resmi secara teknis, tetapi siapa pun berdiri di atas cita-cita itu secara otomatis menjadi anggota. Mereka yang dikenal sebagai anggota Persada Studi Klub ialah anggota ling­kung­an pergaulan yang selalu mengadakan kontak, dialog, hubungan dari hati ke hati dalam suatu atmosfer kebe­bas­an kreatif yang terdidik dan sehat.

Demikianlah kebersamaan itu berjalan dalam heteroge- ni­tasnya, baik heterogenitas karena pendidikan yang ber­beda, latar belakang suku, dan bahasa. Juga karena adanya kebebasan pribadi untuk menumbuhkan kehidupan sastra pada masing-masing individu dalam heterogenitas kefisikan itu.

Hal menarik dari komunitas ini adalah sistem yang diguna­kan untuk memacu kreativitas, produktivitas, dan inovasi para anggota. Umumnya para anggota adalah penulis pemula yang masing-masing kemudian mendapat- ­kan rangsangan, suntikan kreatif, serta motivasi agar terpacu untuk berbuat. Nyala api sastra harus membakar jiwa mere­ka agar lebih intensif menemukan medan kreatif baru.

Itulah sebabnya dalam penerbitan di Mingguan Pelopor Yogya di­se­dia­kan ruang “Persada” (semacam rubrik sastra dan kebudayaan) yang merupakan wadah kompetisi para pemula, serta ruang “Sabana” yang khusus diperuntukkan ba­gi para penulis yang telah dianggap “jadi”. Para penulis pemula digodok lewat ruang “Persada”, sampai karya mereka dianggap cukup dewasa, barulah karya-karya mereka di­ang­kat ke ruang “Sabana”. Ruang ”Sabana” ini dapat disa­ma­kan dengan Horison, Budaya Jaya, dan Basis ketika itu, karena umumnya nama-nama yang sempat bertengger di Ruang “Sabana” muncul pula di majalah sastra budaya yang merupakan barometer sastra saat itu.

Menurut catatan Ragil Suwarna Pragolapati, ada 1555 orang anggota Persada Studi Klub, dan dari jumlah itu ter­catat nama-nama yang terus berkembang hingga mereka ditahbiskan di dalam sejumlah leksikon sastra sebagai sastrawan Indonesia. Di samping nama-nama yang sudah disebutkan di atas, nama-nama lainnya ialah: Linus Suryadi AG., Bambang Darto, B. Priyono Soediono, Fauzi Absal, R.S. Rudhatan, Emha Ainun Nadjib, Sujarwanto, Rusli S. Purma, Suripto Harsah, Rusyanto Landung Laksono Simatu­pang, Bambang Sarwono, Slamet Kuntohaditomo, Agus Dermawan T., Djihad Hisjam, Yoko S. Passandaran, Korrie Layun Rampan, Arie Basuki, Darwis Khudori, Ahmadun Yosi Herfanda, Suminto A. Sayuti, Andrik Purwasito, Gunoto Saparie, Yudhistira ANM Massardi, Frans R. Passandaran, Atas Danusubroto, Mayon Soetrisno, Arwan Tuti Artha, Sutirman Eka Ardhana, Saiff Bakham, dan lain-lain.

Sejak tahun 1975, Umbu Landu Paranggi hijrah dari Jogjakarta ke Bali dan melakukan hal yang sama di koran Bali Post. Buah kreativitas Umbu tampak dari nama-nama yang kemudian muncul di dalam kelompok sastrawan yang digolongkan sebagai sastrawan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia di antaranya ialah Raudal Tanjung Banua, Oka Rusmini, Arief B. Prasetyo, Putu Vivi Lestari, Wayan Sunarta, Cok Sawitri, Putu Fajar Ar­ca­na, Tan Lioe Ie, dan lain-lain (bisa dilihat nama-nama lengkapnya dalam buku saya Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, Buku I, II, dan III). Dalam kurun tiga dekade, Umbu Landu Paranggi telah mendorong lahirnya dua ang­katan sastra, yaitu Angkatan 80 dan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Inilah karya terbesar Umbu Landu Paranggi sebagai “guru” —motivator— dan apresiator sastra Indonesia modern.


Sumber : blue4gie


1 comment: