Oleh : Korrie Layun Rampan
Lahir di Sumba, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Setelah
menyelesaikan pendidikan dasar (SD) hingga pendidikan menengah pertama (SMP)
di kampung halamannya, ia kemudian melanjutkan studinya di SMA BOPKRI di Yogyakarta
lalu meneruskan pendidikan tinggi di Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah
Mada sampai tingkat doktoral. Ia kemudian kuliah di Universitas Janabadra, juga
di Yogyakarta sampai memperoleh gelar Sarjana Muda Hukum.
Sebagaimana para sastrawan yang lahir di Indonesia Bagian Timur, khususnya
yang datang dari Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Jaya (Papua), seperti
L. Wairata, Sijaranamual, Gerson Poyk, Julius R. Sijaranamual, Otto J. Gaut,
Indonesia O’Galelano, Dami N.Toda, John Dami Mukese, Cannon, Maria Matildis
Banda, dan lain-lain, Umbu Landu Paranggi memiliki model pengucapan khusus yang
hanya bisa dijumpai di dalam karya sastra etnik yang mencirikan setting
tempat tertentu seperti Sumba, Timor, Rote, Flores, Ambon, Halmahera, Seram,
Papua, dan sebagainya. Pengucapan dan ungkapan khusus itu terasa khas dan unik,
terutama kalau mereka melukiskan alam dan karakter manusia dengan latar adat
sebagaimana novel L. Wairata Cinta dan Kewajiban (1940), novel Gerson Poyk
Cumbuan Sabana (1979), novel Otto J. Gaut Mawar Padang Ara (1997), novel Maria
Matildis Banda Bugenfil di Tengah Karang, Pada Taman bahagia, dan Liontin
Sakura Patah (2001), cerpen-cerpen Julius R. Sijanaramual yang tersebar di majalah
Horison dan Sastra akhir tahun 1960- an, serta sajak-sajak Indonesia
O’Galelano, Dami N. Toda, dan Cannon yang romantis mencirikan latar yang juga
romantis.
Umbu Landu Paranggi lahir dari latar alam yang sangat khas, Sumba, dan
seperti diberitakan, saat kelahirannya, lahir juga seekor kuda yang diberi nama
Olidedi. Kuda bagi masyarakat Sumba adalah bagian penting yang menyang- kut
identitas kebudayaan. Masyarakat pada umumnya memelihara kuda tunggang “kecil”
sandelwood yang sangat terkenal di zaman Hindia Belanda. Dengan latar belakang
seperti itu, tak heran jika dalam sajak-sajak Umbu Landu Paranggi kerap
muncul berbagai metafora tentang derap kuda, padang sabana, steva, angin
Australia yang kering, atraksi tradisi pasola, gereja gunung, padang ilalang,
dan sebutan-sebutan ekskotis lainnya. Metafor-metafor semacam ini memang
dikenal Umbu dengan akrab dan mendalam.
Yogyakarta menempa Umbu Landu Paranggi menjadi penyair. Kota ini memang
telah lama dikenal sebagai kota eksotik yang banyak melahirkan seniman besar.
Sebutan Yogyakarta sebagai Kota Budaya, Kota Pelajar, Kota Meditatif, dan kota
yang menyimpan ratusan seniman dan sastrawan amatlah berperan bagi keputusan
Umbu untuk bergelut dan berproses di tempat ini, sebelum pada akhirnya ia hijrah
menuju Denpasar, Bali.
Tak mungkin dilupakan nama-nama M. Dimyati, Rendra, Umar Kayam, Subagio
Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, B. Soelarto, Budi Darma, Mohammad
Diponegoro, Nugroho Notosusanto, Nasjah Djamin, Motinggo Busye, A. Bastari
Asnin, Danarto, Putu Wijaya, Abdul Hadi W.M., dan lain-lain sastrawan generasi
tahun 1950-an-1960-an-1970-an yang memulai prosesnya di Yogyakarta dan kemudian
hijrah ke Jakarta menjadi sastrawan Indonesia terkemuka. Barangkali Umbu Landu
Paranggi termasuk unik karena ia tidak ikut bertarung menuju Jakarta
sebagaimana dilakukan seniman-seniman lain. Ia justru hijrah ke Denpasar,
Bali, dan menciptakan medan tempur baru dengan membina seniman-seniman muda di
Bali sebagaimana yang pernah dilakukannya di Yogyakarta.
Umbu Landu Paranggi mulai dikenal sejak tahun 1962 lewat rubrik remaja
“Fajar Menyingsing” di majalah Mimbar Indonesia (1947-1962). Majalah ini,
memiliki dewan redaksi sastrawan dan budayawan seperti Sudjatmoko, Rosihan
Anwar, Rivai Apin, H.B. Jassin, A.D. Donggo, A.B. Loebis, dan lain-lain.
Nama-nama para penulis pemula di rubrik tersebut yang sering ditemui antara
lain: M. Poppy Hutagalung (kemudian menjadi M. Poppy Donggo- Hutagalung), Putu
Wijaya, dan lain-lain. Sajak-sajak Umbu bersaing dengan sajak-sajak para calon
sastrawan lainnya. Sejak itu, sajak-sajak Umbu muncul di media massa terkemuka,
khususnya di majalah sastra budaya seperti Basis, Pusara, Kompas, Sinar
Harapan, Mimbar/Tribun, dan lain-lain.
Di samping dikenal sebagai seorang penyair, Umbu Landu Paranggi adalah
seorang “guru”, motivator, dan apresiator sastra. Selama bermukim di
Yogyakarta, sejak awal 1960-an sampai 1975, ia membina sebuah kelompok sastra
“Persada Studi Klub” (PSK) yang didirikannya pada 5 Maret 1969 bersama beberapa
rekannya seperti Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Ipan
Sugiyanto Sugito, Suparno S. Adhy, Iman Budhi Santoso, dan Mugiyono Gito
Warsono. Komunitas ini berkembang dengan dukungan sejumlah pengarang muda saat
itu yang mulai menapak di dunia sastra seperti Faisal Ismail, Achmad Munif,
Mustofa W. Hasyim, Tolib Siregar, Miska M. Amin, Bagus Suryokusumo, Yutie
Gunarso, Inta Susilowati, Suryanto Sastroatmodjo, Arie Didiet Sabariyah, Menik
Sugiyah Kartamulya, Bambang Supriyohadi, Sunaryo Sastrowardoyo, Bambang Indra
Basuki, Naning Indratni, Sri Setya Rahayu Soehardi, dan lain-lain.
Untuk mengenal kiprah Umbu Landu Paranggi dalam mengelola Persada
Studi Klub (PSK), ada baiknya juga bicarakan selintas bentuk
organisasi sastra ini.
Dalam buku saya Suara Pancaran Sastra (Yayasan Arus, Jakarta, 1984
hlm. 65-75) telah saya kemukakan secara rinci mengenai PSK maupun Umbu sang
pengelola. Sebenarnya, Persada Studi Klub bukanlah kelompok akademisi atau
studi sastra formal, karena ia tidak punya laboratorium, kantor, atau
sekretariat tetap. Selama hidupnya PSK hanya menumpang alamat di mingguan
Pelopor Yogya (sekarang mingguan ini tidak terbit lagi, setelah terbit sebentar
sebagai harian di Semarang) yang bermarkas di Jalan Malioboro 175, Yogyakarta.
Umumnya anggota-anggotanya adalah mereka yang studi di sejumlah perguruan
tinggi di Yogyakarta dan tersebar di berbagai universitas, institut, akademi,
sekolah tinggi, ataupun SMP/SMA. Kebanyakan anggotanya berasal dari berbagai
daerah di Indonesia. Mereka bersatu secara ide dan emosi serta diikat secara
untuk kreatif menelurkan karya sastra.
Dalam tulisannya di koran Suara Merdeka (2 April 1975), Emha Ainun
Nadjib menjelaskan kekuatan kolektivitas PSK, di mana komunitas ini
bukanlah kelompok yang kaku. Peraturannya ialah pertimbangan kesadaran pribadi
yang berdiri harmonis dengan unsur-unsur emosi dan hati. Oleh karena itu, PSK
tidak memiliki kartu anggota, AD/ART, tak ada pendaftaran, tidak ada bingkai
kolektif apalagi yang fisik. Memang ada anggota resmi secara teknis, tetapi
siapa pun berdiri di atas cita-cita itu secara otomatis menjadi anggota. Mereka
yang dikenal sebagai anggota Persada Studi Klub ialah anggota lingkungan
pergaulan yang selalu mengadakan kontak, dialog, hubungan dari hati ke hati
dalam suatu atmosfer kebebasan kreatif yang terdidik dan sehat.
Demikianlah kebersamaan itu berjalan dalam heteroge- nitasnya, baik
heterogenitas karena pendidikan yang berbeda, latar belakang suku, dan bahasa.
Juga karena adanya kebebasan pribadi untuk menumbuhkan kehidupan sastra pada
masing-masing individu dalam heterogenitas kefisikan itu.
Hal menarik dari komunitas ini adalah sistem yang digunakan untuk memacu
kreativitas, produktivitas, dan inovasi para anggota. Umumnya para anggota
adalah penulis pemula yang masing-masing kemudian mendapat- kan rangsangan,
suntikan kreatif, serta motivasi agar terpacu untuk berbuat. Nyala api sastra
harus membakar jiwa mereka agar lebih intensif menemukan medan kreatif baru.
Itulah sebabnya dalam penerbitan di Mingguan Pelopor Yogya disediakan
ruang “Persada” (semacam rubrik sastra dan kebudayaan) yang merupakan wadah
kompetisi para pemula, serta ruang “Sabana” yang khusus diperuntukkan bagi
para penulis yang telah dianggap “jadi”. Para penulis pemula digodok lewat
ruang “Persada”, sampai karya mereka dianggap cukup dewasa, barulah karya-karya
mereka diangkat ke ruang “Sabana”. Ruang ”Sabana” ini dapat disamakan
dengan Horison, Budaya Jaya, dan Basis ketika itu, karena umumnya nama-nama
yang sempat bertengger di Ruang “Sabana” muncul pula di majalah sastra budaya
yang merupakan barometer sastra saat itu.
Menurut catatan Ragil Suwarna Pragolapati, ada 1555 orang
anggota Persada Studi Klub, dan dari jumlah itu tercatat nama-nama yang terus
berkembang hingga mereka ditahbiskan di dalam sejumlah leksikon sastra sebagai
sastrawan Indonesia. Di samping nama-nama yang sudah disebutkan di atas,
nama-nama lainnya ialah: Linus Suryadi AG., Bambang Darto, B. Priyono Soediono,
Fauzi Absal, R.S. Rudhatan, Emha Ainun Nadjib, Sujarwanto, Rusli S. Purma,
Suripto Harsah, Rusyanto Landung Laksono Simatupang, Bambang Sarwono, Slamet
Kuntohaditomo, Agus Dermawan T., Djihad Hisjam, Yoko S. Passandaran, Korrie
Layun Rampan, Arie Basuki, Darwis Khudori, Ahmadun Yosi Herfanda, Suminto A.
Sayuti, Andrik Purwasito, Gunoto Saparie, Yudhistira ANM Massardi, Frans R.
Passandaran, Atas Danusubroto, Mayon Soetrisno, Arwan Tuti Artha, Sutirman Eka
Ardhana, Saiff Bakham, dan lain-lain.
Sejak tahun 1975, Umbu Landu Paranggi hijrah dari
Jogjakarta ke Bali dan melakukan hal yang sama di koran Bali Post. Buah
kreativitas Umbu tampak dari nama-nama yang kemudian muncul di dalam kelompok
sastrawan yang digolongkan sebagai sastrawan Angkatan 2000 dalam Sastra
Indonesia di antaranya ialah Raudal Tanjung Banua, Oka Rusmini, Arief B.
Prasetyo, Putu Vivi Lestari, Wayan Sunarta, Cok Sawitri, Putu Fajar Arcana,
Tan Lioe Ie, dan lain-lain (bisa dilihat nama-nama lengkapnya dalam buku saya Angkatan
2000 dalam Sastra Indonesia, Buku I, II, dan III). Dalam kurun tiga dekade,
Umbu Landu Paranggi telah mendorong lahirnya dua angkatan sastra, yaitu
Angkatan 80 dan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Inilah karya terbesar
Umbu Landu Paranggi sebagai “guru” —motivator— dan apresiator sastra Indonesia
modern.
Sumber : blue4gie
Produk Lounger Rotan Bagus
ReplyDeleteProduk Ayunan Rotan Bagus
Produk Daybed Rotan Bagus
Produk Kursi Malas Rotan Bagus
Produk Pot Rotan Bagus
Produk Vas Rotan Bagus
Produk Tempat Tidur Rotan Bagus
Produk Dipan Rotan Bagus
Produk Basket Rotan Bagus
Produk Keranjang Rotan Bagus
Produk Keranjang Buah Rotan Bagus
Produk Sofa Rattan Bagus
Produk Kursi Rattan Bagus
Produk Meja Rattan Bagus
Produk Lounger Rattan Bagus
Produk Ayunan Rattan Bagus
Produk Daybed Rattan Bagus
Produk Kursi Malas Rattan Bagus
Produk Pot Rattan Bagus
Produk Vas Rattan Bagus
Produk Tempat Tidur Rattan Bagus
Produk Dipan Rattan Bagus
Produk Basket Rattan Bagus
Produk Keranjang Rattan Bagus
Produk Keranjang Buah Rattan Bagus