Wednesday, July 16, 2014

Bidan Dua Angkatan Sastra Indonesia Modern

Oleh : Korrie Layun Rampan

Lahir di Sumba, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Se­telah menyelesaikan pendidikan dasar (SD) hingga pen­didikan menengah pertama (SMP) di kampung halamannya, ia kemudian melanjutkan studinya di SMA BOPKRI di Yogya­karta lalu meneruskan pendidikan tinggi di Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada sampai tingkat doktoral. Ia kemudian kuliah di Universitas Janabadra, juga di Yogya­karta sampai memperoleh gelar Sarjana Muda Hukum.

Tuesday, July 15, 2014

Umbu Landu Paranggi Menghadiri Pembukaan Pameran Seni Rupa "Kuta Art Chromatic", 30 Desember 2013.

Umbu Landu Paranggi menghadiri pembukaan pameran seni rupa "Kuta Art Chromatic", 
30 Desember 2013. Sumber foto : Jengki dan Dwija.


















Sunday, July 13, 2014

Pertemuan Dua Presiden Penyair, 2010


Pertemuan Dua Presiden Penyair

(Sutardji Calzoum Bachri, Janet DeNeefe, Umbu Landu Paranggi)

Pertemuan Sutardji Calzoum Bachri dan Umbu Landu Paranggi boleh jadi hal yang lumrah saja. Namun, mengingat peran dan mitos mereka selama ini sebagai tokoh perpuisian Indonesia, tak pelak perjumpaan dua sahabat lama ini mengandung sekian kemungkinan arti dan juga tafsir tersendiri: sebuah kilas balik sekaligus refleksi akan kehidupan susastra Indonesia di masa depan.

Dalam tahapan sejarah sastra Indonesia, keduanya terbilang angkatan 1970-an, yang tumbuh senyampang kemelut dan tragedi sosial politik tahun 1965. Apabila Chairil Anwar dan rekan-rekan seniman segenerasinya, melalui ”Surat Gelanggang”, memaklumatkan sebagai ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia serta menegaskan diri sebagai ”binatang jalang” yang meradang dan menerjang (individualis), Sutardji-Umbu bersama sejawatnya malahan menggaungkan kehendak untuk ”kembali ke akar”. Ini sesungguhnya tidak semata pertarungan keyakinan antargenerasi, tetapi mencerminkan pula apa yang disebut oleh para ahli sejarah sebagai ”jiwa zaman”.


Pertemuan Sutardji dan Umbu di sela-sela perhelatan Ubud Writers and Readers Festival 2010 di Bali, bukanlah sesuatu yang direncanakan atau bagian dari agenda festival itu. Di hadapan para seniman Indonesia dari generasi yang lebih kini, mereka saling menunjukkan secara spontan kehangatan persahabatan, yang sudah lebih dari 40 tahun tak bersua. Yang seketika mengemuka adalah sisi-sisi pribadi, sentuhan manusiawi penuh keharuan. Mitos yang selama ini membayang-bayangi eksistensi mereka di dunia sastra, dan membuat keduanya tampak ”angker” dan berjarak dari keseharian, di mana masing-masing menyandang sebutan yang serupa, Sutardji ”Presiden Penyair Indonesia” dan Umbu ”Presiden Malioboro”, seketika cair. Umbu yang dikenal sebagai sosok yang serba ”konon”, misterius, sulit ditemui, dan jarang hadir di ruang publik, kali ini tampil ekspresif, terbuka, dan spontan. Sedangkan Sutardji, yang hingga belakangan ini terus terpublikasi sebagai sosok nyentrik, heboh, dan fenomenal, memperlihatkan bagian dirinya yang sehari-hari.

(Salyaputra, Kompas 24 Oktober 2010)

Umbu Landu Paranggi Memberikan Workshop Sastra di Karangasem, 2009

Umbu Landu Paranggi dan beberapa sastrawan Bali memberikan workshop kesusastraan di SMA 2 Amlapura, Karangasem, Bali, pada 25 Agustus 2009. Selain Umbu, hadir juga Nyoman Tusthi Eddy, Wayan Arthawa (alm), Wayan Redika (pelukis), IBW Keniten, Wayan Jengki Sunarta, Nuryana Asmaudi. Umbu sangat bersemangat meladeni murid-murid sekolah yang ingin belajar sastra. Pada era 1980-an dan 1990-an, Umbu rajin mengunjungi pelosok-pelosok Karangasem untuk menggairahkan semangat para penyair muda menulis puisi. Sumber foto : ?
















Umbu Landu Paranggi Sedang Bersantai di Studio Pelukis Made Budhiana, 2005

Umbu Landu Paranggi sedang bersantai di studio pelukis Made Budhiana di kawasan Ubung, Denpasar. Foto-foto ini diambil 18 Mei 2005. Sumber : ?







Umbu Landu Paranggi dan Kuda Putih

Umbu Landu Paranggi dan Kuda Putih di sehampar pantai di Bali. Foto thn 2000.


Umbu Landu Paranggi Sedang Mengoreksi Puisi, Th 2000


Umbu Landu Paranggi saat bekerja memilih dan mengoreksi puisi-puisi untuk edisi Bali Post Minggu. Pada saat-saat seperti ini, Umbu tidak boleh diganggu.




Foto-foto Umbu Landu Paranggi tahun 2000

Foto-foto Umbu Landu Paranggi tahun 2000. 
Sumber: dokumentasi Jengki

















Friday, July 11, 2014

Sastra Indonesia di Bali Sebelum dan Semasa Umbu Landu Paranggi


oleh I Nyoman Darma Putra


Dalam eseinya ‘Puisi dari Bali’ di rubrik ‘Bentara’ Kompas, 1 September 2000, Sutardji Calzoum Bachri, menegaskan bahwa Bali telah memberikan kontribusi penting tidak saja pada dunia puisi tetapi juga prosa dan aktivitas sastra Indonesia lainnya. Pengakuan serupa juga bisa dilihat dalam bentuk yang lain yakni undangan buat penyair Bali untuk menghadiri forum sastra nasional dan internasional serta publikasi bersama. 

Disposisi dan Pencapaiannya dalam Arena Sastra Nasional

Oleh Asef Saeful Anwar

“Saya cuma menjalankan apa yang sudah digariskan oleh langit.”

            Demikian jawaban Umbu Landu Paranggi ketika ditanya Kompas (Minggu, 18 November 2012) mengapa ia tidak menekuni dunia kepenyairan seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Sutardji Calzoum Bachri, atau Rendra. Bagi Umbu, seseorang memiliki peran masing-masing dalam hidup ini dan Umbu merasa dirinya memiliki peran sebagai pengasuh para sastrawan. Apa yang diungkapkan Umbu bukanlah semata bentuk kerendah-hatian, melainkan juga sebuah upaya penciptaan posisi yang baru dalam arena sastra. Ia bukanlah sastrawan, tetapi pengasuh para sastrawan. Singkatnya, ia telah menempati posisi baru dalam arena sastra di antara sastrawan dan kritikus sastra. Bahkan, posisinya ini dianggap lebih tinggi daripada sastrawan (dan mungkin berpotensi mengancam posisi kritikus sastra?)

Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-kata

oleh Putu Fajar Arcana

Penyair selalu menempuh jalan sunyi dengan misi suci. Sunyilah yang menginspirasi untuk melahirkan buah berkah bagi kedalaman kemanusiaan. Percik permenungan yang dituliskannya adalah sari-sari dari kejujuran untuk membangun moralitas.

Umbu di Depanku

oleh Sigit Susanto

Aku coba mengingat-ingat, kapan tepatnya telingaku pertama kali mendengar nama Umbu. Kalau tak salah sekitar tahun 2002, ketika aku mengikuti berbagai mailing list sastra di internet. Nama itu buatku saat itu termasuk unik, pasti bukan orang Jawa, karena di Jawa lebih populer Bumbu atau Bambu.

Foto puisi tulisan tangan Umbu Landu Paranggi

(Puisi Kuda Merah tulisan tangan Umbu Landu Paranggi)



(Puisi Kuda Putih tulisan tangan Umbu Landu Paranggi)

Umbu Landu Paranggi dan Mantra Pengantar

(Umbu Landu Paranggi dan Mantra Pengantar, 2000-an awal. Sumber foto : ist)

Umbu Landu Paranggi membaca puisi di Fakultas Sastra, Universitas Udayana, 1996

(Umbu Landu Paranggi membaca puisi di Fakultas Sastra, Universitas Udayana, 1996. Sumber foto : Zen Hae)



(Umbu Landu Paranggi membaca puisi di Fakultas Sastra, Universitas Udayana, 1996. Sumber foto : Zen Hae)


(Umbu Landu Paranggi, Zawawi Imron, dan Tan Lioe Ie, 1996)


Umbu Landu Paranggi bersama perupa

(Umbu Landu Paranggi, Pande Gede Supada, dan Made Wianta, era 1990-an awal. Sumber: ist)

Umbu Landu Paranggi sedang membaca puisi, era 1980-an

Umbu Landu Paranggi sedang membaca puisi, era 1980-an...(sumber foto : ist )




Wednesday, July 9, 2014

Umbu Landu Paranggi bersama para penyair muda Bali di era 1980-an.


Umbu Landu Paranggi bersama para penyair muda Bali di era 1980-an. Sumber foto : Made Artha



Umbu Landu Paranggi, era 1980-an

Foto-foto Umbu Landu Paranggi era 1980-an. Sumber foto : Made Artha






(Umbu Landu Paranggi. Sumber foto : Made Artha)

Umbu Landu Paranggi sedang melatih I Gusti Putu Bawa Samar Gantang deklamasi puisi

(Umbu Landu Paranggi sedang melatih I Gusti Putu Bawa Samar Gantang deklamasi puisi. Sumber: Bali Post era 1980-an)

Umbu Landu Paranggi, 1979

(Umbu Landu Paranggi, 1979. Sumber: Bali Post)

Mengenang Umbu dan Gerakan 1970

oleh Agus Dermawan  

Apabila Persada Studi Klub (PSK) masih hidup, klub sastrawan itu akan berusia 45 tahun. Sebab, pada medio Maret 1968, klub tersebut mulai dibentuk lewat rubrik sastra di mingguan Pelopor Yogya. Sebuah koran amat sederhana yang terkategori jelek cetakannya. PSK ini dikomandani Umbu Landu Paranggi, penyair karakteristik kelahiran Waikabubak, Sumba Barat, yang pada 2013 genap berusia 70 tahun.

Malioboro, Umbu, dan Yogyakarta Kita

Oleh Warih Wisatsana

Nama Yogyakarta, bagi pelancong dari mana pun, pertama-tama selalu merujuk pada Malioboro. Sedangkan bagi pencinta sastra, utamanya para penyair, pedestrian nan populer itu lebih mengingatkan pada sosok penuh mitos: Umbu Landu Paranggi. Ustadz Umbu, begitu Emha Ainun Nadjib menyebutnya, memainkan peran yang hingga kini boleh dikata tak tergantikan. Lewat ruang budaya Mingguan Pelopor yang diasuhnya, ia menciptakan atmosfer pergaulan kreatif yang gayeng, hangat, dan guyub.

Umbu Landu Paranggi Belum Berhenti


Pantai berkabut di sini, makin berkisah dalam tatapan
sepi yang lalu dingin gumam berhantam di buritan

Juluran lidah nampak di bawah kerjap mata menggoda
dalam lagu siul, di mana-mana menghadang cakrawala


Bait ketiga sajak Percakapan Selat karya Umbu Landu Paranggi itu mengalun syahdu di gedung Ksirarnawa, Art Centre, Denpasar, Kamis malam pekan lalu. Empat remaja dari Teater SMU 3 Denpasar mengaransemen puisi itu menjadi musikalisasi memikat diiringi petikan gitar yang memainkan nada-nada Stairway to Heaven milik kelompok musik Led Zeppelin.

Pertemuan Dua Presiden Penyair


Salyaputra
Penyair

Pertemuan Sutardji Calzoum Bachri dan Umbu Landu Paranggi boleh jadi hal yang lumrah saja. Namun, mengingat peran dan mitos mereka selama ini sebagai tokoh perpuisian Indonesia, tak pelak perjumpaan dua sahabat lama ini mengandung sekian kemungkinan arti dan juga tafsir tersendiri: sebuah kilas balik sekaligus refleksi akan kehidupan susastra Indonesia di masa depan.

Menguak Ketajaman Seorang Guru Penulis dari Umbu Landu Paranggi

Alimuddin
Cerpenis

Kesuksesan novel Laskar Pelangi tidak saja menjadikan Andrea Hirata selaku penulisnya begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia—baik dengan status penikmat sastra maupun bukan penikmat sastra. Sosok lain yang tiba-tiba saja menjelma menjadi ‘ tokoh meteor baru’ efek dari meledaknya efek buku tersebut adalah Bu Muslimah. Dalam buku Laskar Pelangi The Phenomenon Karya Asrori S Karni, Andrea Hirata menyebutkan bahwa guru terbaiknya tetap Bu Muslimah, sekalipun ia telah pernah menempuh studi di Universitas Sorbonne (Paris). Bu Muslimah adalah guru abadi dari murid-murid laskar pelangi.

Belajar Bersastra dari Seorang Umbu

Oleh WillemB Berybe

SEBUT  nama Umbu, paling tidak bagi masyarakat Flobamora, langsung teringat akan sebuah pulau yang terletak di selatan wilayah Propinsi NTT yaitu Sumba. Mengapa? Etnik Sumba dengan marga (fam) Umbu berasal dari sana. Dari sekian nama Umbu salah satunya adalah Umbu Landu Paranggi, pria kelahiran Sumba 10 Agustus 1943, dan dikenal sebagai penulis puisi Indonesia.

Umbu dan Puisi Indonesia

Oleh F. Rahardi

Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
Aneh, aku jadi ingat pada Umbu
(Taufiq Ismail, Beri Daku Sumba, 1970)

Siapakah Umbu? Hingga penyair Taufiq Ismail, menyebut nama itu dalam salah satu puisinya? Umbu, nama lengkapnya Umbu Landu Paranggi, adalah sosok misterius. Ia selalu menghindar dari publisitas. Tetapi dialah sumber energi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan puisi Indonesia modern, sejak tahun 1960an sampai sekarang. “Saya bisa menjadi seperti sekarang ini, karena didikan Umbu”, Komentar demikian sangat sering saya dengar langsung dari penyair yang sedang naik daun.

Guruku Umbu Landu Paranggi


Oleh Riki Dhamparan Putra

Umbuwulang Landu Paranggi, lahir di Waikabubak Sumba 10 Agustus 1943, sebenarnya adalah orang yang biasa - biasa saja dan bersahaja. Misalpun saya dan beberapa teman sepakat untuk mengangkatnya sebagai penyair terlegendaris Indonesia pasca Amir Hamzah dan Chairil Anwar, tetap saja Umbu bakal begitu. Biasa saja. Tak ada yang khusus dan lebih dari dirinya kecuali dia seorang yang punya daya tahan luar biasa dalam mengabdi kepada pembangunan mental manusia Indonesia melalui kebudayaan, khususnya puisi. 

Malioboro, Umbu Landu Paranggi, dan Saya


Oleh Ebiet G. Ade

Tahun 1975, selepas SMA, saya lebih intens masuk ke wilayah kelompok seniman muda Jogja. Pada saat itu iklim berkesenian atmosfirnya sangat kental, terutama di sepanjang jalan Malioboro, seputar Seni-Sono dan tempat – tempat khusus lain, yang biasa dijadikan arena berkumpul para seniman-senima muda yang tengah berproses.

Presiden Malioboro

Oleh Emha Ainun Nadjib 

Syukur kepada Tuhan yang memperkenankan saya berjumpa dengan Umbu Landu Paranggi. Satu-satunya orang yang pernah digelari sebagai Presiden Malioboro oleh media massa, kalangan intelektual, aktivis kebudayaan 42 tahun yang lalu. Di zaman ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran.

UMBU LANDU PARANGGI “PRESIDEN MALIOBORO”

M.G. Wibisono
Penulis Lepas, Tinggal di Yogyakarta


Sifat Petualang

Umbu Wulang Landu Paranggi nama lengkapnya. Bangsawan kelahiran Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur 10 Agustus 1943. Suatu daerah pasti mempunyai nuansa dan citra tersendiri untuk membentuk suatu kelompok atau organisasi, seperti simbol-simbol dan predikat tertentu. Seperti daerah Sumba dengan simbol kuda dan kayu cendana. Umbu adalah sebutan nama depan untuk anak lelaki dan Rambu nama depan untuk wanita, khusus yang berdarah ningrat. Seperti anak remaja lain yang berasal dari kampung halamannya, setelah menamatkan pelajarannya di SMA melanjutkan pelajarannya ke perguruan tinggi di Pulau Jawa kebanyakan masuk ke Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Tetapi petualangan Umbu Landu Paranggi dimulai sejak SMP, begitu lulus langsung ke pulau Jawa dengan harapan bisa masuk Taman Siswa. Karena terkesan dengan model pengajaran Ki Hajar Dewantara yang diterapkan di Taman Siswa. Tetapi perjalanan kapal laut mengalami keterlambatan, sehingga sampai di Jogja pendaftaran di Taman Siswa sudah ditutup. Pilihannya mendaftar di SMA BOPKRI I, setelah lulus melanjutkan ke Fakultas Sosial Politik di Universitas Gadjah Mada Jurusan Sosiatri dan di Universitas Janabadra Jurusan Hukum. Tetapi kuliahnya di 2 universitas itu gagal, tidak dilanjutkan. Gagal juga memenuhi harapan orang tuanya untuk menggantikan kedudukan di kampung halamannya. Seperti pengakuannya ”tidak peduli segala gelar, hidup adalah puisi.” Ungkapannya dalam puisi:

Tuesday, July 8, 2014

Mantra Pengantar

        ucapan melati
dimekarkan matahari
        udara bakti
disemburkan matahati

maka para pengisap sezarrah
gelombang lengang
menanam ini sembahyang dialog
sawah ladang
maka adalah cuka duka
                      lupa luka
                               jantung hari

bahagia beta
                 alpa sendiri
                           bikin bikin puisi

        ucapan melati
pergelaran matahari
        udara bakti
persembahan matahati


(Umbu Landu Paranggi)


sumber : NUSA, 31 Desember 1997

Denpasar Selatan, Dari Sebuah Lorong…


anak angin ruh
           sembunyikan sajak airmatamu
hanya cakrawala sepagar halaman
           kali ini menyibak rahasia semesta
begitulah senantiasa perempuan
           ibunda setiap yang bertanda laki-laki
sigaran nyawa
           pecandu laknat air dewi katakatamu

bibit cahaya rumpun perdu
inilah perjalanan penemuan siangmalammu
           saban kali kau mengidung menembang
dan melabuh bara para kekasih dewata
           terowongan penjor nun
di dusun dusun jagatraya Bali
           resah menanti lalu menyulingmu kembali
memasuki gerbang kotamu tergesa metropolitan

ada juga titipan jalan pasir
           gubug ladang garam masa kecilmu
kaligrafi sungai payau, gaib aksara
terbungkus pujapujimu, mutlak laguan kawi
           kembali kau menyuruk ingatan
limbung mengguruk tanah kuru dengan darah cinta
           kesuir atau sipongang segara gunungkah itu
gagu merafal, mengeja eja mantra purba…


(Umbu Landu Paranggi)


Sumber : Bali Post Minggu, 23 Februari 1997

Dari Pura Tanah Lot

inilah bunga angin dan tirta air kelapa muda
para peladang yang membalik balik tanah dengan tugal
agar bermuka muka langit tinggal serta dalamku

bercocok tanam mengidungkan musik dwitunggal
dan seruling tidur ayam di dangau pinggir tegalan
atau sepanjang pematang sampai ke batang air
duduklah bersila di atas tumpukan
batu batu karang ini lakon lakon
rumput dan sayur laut mengirimkan gurau ombak
seraya uap air memercik pedihku

beribu para aku sebrang sana datang
mengabadikanmu pasang naik pasang surut
dan kini giliran asal bunyi sunyiku menggapai puncak meru
ke gunung gunung agung tengadah mataku mengail ufuk
tak teduh mengairi kasihku


(Umbu Landu Paranggi)

(sumber : Majalah Kolong Budaya No. 3 Th. I / 1996)
l

Jagung Bakar Pantai Sanur

Suatu senja
dengus cinta seperti jagung muda dihembus bara purba
seraya pasir
sepasang nganga luka buatan eropa direndam laut Sanur
belajar mengunyah berenang dan menyelami pesona timur
berpasang saksi bisu: perahu tembang jukung cakrawala
satu ransel senyum derita
             berbuka-buka
             satu jengkal lebih syair
             berjemur jemur
             satu tongkol lagi:
                          bakarkan, bakarkan
                          bagi dua kenangan
                          gombal rahasia
                          kesepian moderna


(Umbu Landu Paranggi)


Sumber : Majalah Budaya Kolong No 3 Th. 1. 1996: 17

Syair Rajer Babat

Rajer
bukan ke mana bukan di mana
bumi dipijak langit dijunjung
Babat
bukan di mana bukan ke mana
langit dijunjung bumi dipijak

             Suaka deskara siguntang
             hadir selalu menopangmu
             (kemanamana kau ayun langkahmu
             dimanamana kau tanam cintamu)

Rajer
bukan ke mana bukan di mana
Babat
bukan di mana bukan ke mana
langit dijunjung bumi dipijak

             Ilmu salak seni subak
             mengalir setia mengawalmu
             (dimanamana kau bongkar rindumu
             kemanamana kau tembakkan lagu)


(Umbu Landu Paranggi)


Ni Reneng


sebatang pohon nyiur
meliuk di tengah Denpasar
(akar-akarnya memeluk tanah
dan tanah memeluk akar-akarnya)
sudah terangkai sekar setangkai
menimba hawa tikar pandan
anyaman bulan di pelataran
maka kuapung-apungkan diri
berayun dan beriring menghilir
telah tereguk air telaga
dalam satu tarikan nafas
bangau tak pernah risau
akan warna helai teratai
lalu menebal dasar telaga
melayani turun-naiknya embun
datang dan perginya sekawanan pipit
perdu saja mengerti kesusahan langit
sandaran sikap kepala kita
dalam rimba babad prasasti
dan ritus tubuh tarian
selembar demi selembar daun sirih
menyalakan perbincangan senja senja
dalam perjalanan meraut kecemasan
antara sehari hari kefanaan
dan arah keabadian
sepasang mata angin
di sini, di pusaran jantung Bali
ibu, biar bersimpuh rohku
pada kedua tapak tanganmu
bekal ke sepi malam malam mantram
memetik kidung cipratan bening embun
menyusuri jelajahan jejak aksara
menjaga kemurnian rasa dahaga
dan lapar gambelan sukma kelana

jika kematian kebahagiaan kayangan
maka sia-sia derita mengempang raga
masih misteri sisa warna matahari
lalu kubaca-baca keriputmu
(ke mana-mana jalanan basah
bayang-bayang pohon peneduh)
dan gelombang riang di rambutmu
sebumbang kesadaran sunyi
melaut permainan cahaya
kesabaran ombak memintal pantai
jukung-jukung cakrawala menjaring angin
sambil mempermainkan punggung tangan
dan telapak bergurat rahim semesta
kata ibu keindahan itu
sedalam seluas samudera mistika
menyangga langit kerinduan kita
bersamamu kutemui pondok di dasar laut
di mana bunga-bunga bermekaran
harum bau nyawa tarian
dan semerbak syair selendang purba


(Umbu Landu Paranggi, Denpasar, Oktober-November 1984)


Sumber : Majalah Kolong, No.3. Th I, 1996
Nusa Tenggara, 10 Agustus 1997
Kompas, Jumat, 1 September 2000
Bentara, Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001, Sutardji Calzoum Bachri. Jakarta,Kompas, 2001. (halaman 120-121).

Fragmen Upacara XXXIX

versi 1

Fragmen Upacara XXXIX
(buat Inna Rambunaijati Pajijiara Marambahi)

Tujuh lapis langit kutapis
teratas:
            sungsang lapar dahaga
delapan peta bumi kukipas
terbawah:
            hening runtuhan sukma
mencium celah retak tanah tanah
serayaraya sawahladang terimakasihmu
dan ringkik kuda putih putus tali
                        ke negeri dewata terlupa
(ke mata air matahari ribuan ternak)
menggiring yang berumah di sajak sajak
                        membasuh debu tungkai
                        barisan anakanak sulungmu
                        barisan anakanak bungsuku


 (Umbu Landu Paranggi, Denpasar 1984)

 

versi 2

Fragmen Upacara XXXIX
        Kepada Inna

tujuh lapis langit kutapis
            teratas sungsang lapar dahaga

delapan peta bumi kukipas
            terbawah hening runtuhan sukma

mencium celah retak tanahtanah
            serayaraya sawah ladang terimakasih mu

dan ringkik kuda putih putus tali
ke negeri dewata terlupa
            (ke mataair matahari ribuan ternak)

menggiring yang berumah di sajak sajak
membasuh debu tungkai
             barisan anakanak sulungmu
             barisan anakanak bungsuku


(Umbu Landu Paranggi)

Sumber : Kuda Putih, Musikalisasi Puisi, Tan Lioe Ie, dkk (2000)

:

Upacara XXXVII

lepaslah rahasia sebagai rahasia percakapan sunyi
lelehan debu
      tegalan kalbu
           rayau waluku
(jam-jam pasir di waktu air
dipukul airwaktu pasir
       nyawa kembara
            di pohon raya
                 menala rindu
                      berkalam batu…)
peganglah rahasia sebagai rahasia percintaan sunyi
sedekah sesaji bumi
         dewi sri sepasang musim
                bimasakti seruling jisim
                      semantra setungku mentari
(tuak-tuak waktu di jam sajak
di pukul sajak waktu tuak :
                                                ombak mencapai pantai
                                 gamelan sudah mulai
                    tanah lot bergelora
        pura besakih purnama…)
dari kabut fajar sanur hingga megah senja kuta
bermalam siang tabuh gunung meru merasuki jiwa
di lambung lumbung lambang kedewatan balidwipa
berbanjar peri candi melontar genta yang purba
di luar teratai
       di dalam semadi
           di luar kepala
                di dalam semesta:
                                 langit ilmu manusiawi
                masuk ke luar kamus sukmaku
       bumi teknologi rohani
raung hutan hantu di lubuk tuhanku
      samudera galaksi pribadi
           membajak-bajak rawapaya payahku
                                rahasia seni puisi
           bermukamuka fanabakaku
(…beruas-ruas bambu tuak
      tuang tuang tualang gelegak
          bergaung parang perang tenggak ke puncak
                menatah patahkata sajak
           di luar kepala
        di dalam semesta
     di luar teratai
di dalam semadi….)


(Umbu Landu Paranggi, Kedewatan, Agustus-Desember 1982)


Sumber : Tonggak 3, Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 240). Puisi ini diambil dari Karya Bakti, No. 1. Th V, 25 Februari- 4 Maret 1985.