Tuesday, June 7, 2016

UMBU

oleh Putu Wijaya


"Kuda Sumba" itu, sudah puluhan tahun berlari di Bali. Namanya Umbu Landu Paranggi. Amat mengenalnya waktu masih ABG di ruangan sastra remaja "Fajar Menyingsing", majalah "Mimbar Indonesia."

"Kalimat sajak-sajaknya panjang, mengandung janji, kelak dia akan jadi penyair besar," kata Amat bercerita pada Ami, "Bapak yang waktu itu, juga ingin jadi penyair, kagum, lalu mengirim surat perkenalan kepadanya. Di zaman itu bersahabat pena, jadi mode gaul, seperti facebook dan twitter sekarang."


"Lalu kenapa Bapak tidak jadi penyair??"

"Karena dia tidak membalas surat perkenalan Bapak."

"Kenapa?"

"Belakangan waktu akhirnya ketemu setelah gede, bapak tanya, kenapa surat perkenalan bapak tidak dibalas?"

"Jawabnya?"

"Tidak dijawab juga."

Ami ketawa.

"Bapak tidak marah?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Sebab Bapak menghargai apa yang dilakukannya."

"Apa dia lakukan??"

"Dia menjadi guru, tapi bukan guru biasa yang hanya bisanya menggurui, memerintah. Dia guru yang menempatkan dirinya sebagai teman, pembimbing, pemberi motivasi, semangat, anak muda-anak muda berbakat yang mau menjadi penyair. Dia seorang bapak angkat dan guru dengan caranya sendiri. Dia tidak membalas surat perkenalan bapak, mungkin karena melihat di surat itu, bapak tidak berbakat jadi penyair. Kalau toh dipaksakan paling banter bapak hanya jadi penyair kelas kambing. Untuk apa? Jadi terimakasih banyak Bung Umbu. Untung surat bapak tidak dibalas, sehingga bapak kemudian mematikan keinginan jadi penyair, lalu memusatkan perhatian jadi guru, seperti dia. Seorang guru sejati yung harus mampu membaca masa depan muridnya, supaya muridnya tidak salah mengambil jalur keahlian untuk sandaran hidupnya kelak. Guru sejati bukan semata-mata berguna untuk menolong dapat ijazah! Tapi mengembangkan kepribadian murid sampai ke puncak kapasitas masing-masing anak didiknya. Yang delapan jadi delapan. Yang lima tetap bisa lima, stabil. Begitu!"

Ami mengangguk kagum.

"Wah hebat juga konsep guru Pak Umbu itu!"

"Itu dia. Bukan hanya itu. Dia sendiri bahkan rela mengorbankan semburan darah penyairnya. Rela mengorbankan kepentingan pribadinya demi kesuksesan murid-muridnya. Karena dia ingin menegakkan citra guru sejati. Guru dalam arti yang cocok di zaman sekarang. Bukan asal guru seperti yang berserakan seperti sekarang. Guru sejati kini sudah sangat langka. Bahkan mungkin sudah habis. Yang tinggal hanya orang yang mencari nafkah hidup untuk keluarganya dengan memakai pekerjaan guru. Sementara banyak anak-anak muda kita yang berbakat yang kandas, karena mereka seperti yatim piatu. Orang tuanya sibuk bekerja dan berkarier, guru tidak bisa mengisi kehilangan itu. Akibatnya kualitas generasi muda kita memble."

"Jadi kita sekarang krisis guru?"

"Betul! Kita krisis guru yang rela mengorbankan kepentingannya sendiri, demi kesuksesan anak-anak didiknya. Guru-guru sekarang jadi guru untuk cari makan!."

"Termasuk bli Sugi, menantu Bapak, suami Ami"?

Amat tertegun.

"Ya, kalau menantu, boleh dimaafkan."

Ami tersenyum.

"Baik kalau begitu, di mana Pak Umbu sekarang?"

"Opnam di RSU Sanglah."

"Kalau begitu, nanti Ami suruh bli Sugi ke situ menjenguk, mendoakan supaya beliau cepat sembuh. Sambil berguru supaya bisa menjadi guru sejati,"

Amat terkejut.

"Jangan!"

"Kok jangan? Kenapa?"

"Sugi tidak perlu jadi guru sejati!"

"Lho kenapa?"

"Nanti siapa yang cari uang untuk menghidupi kamu dan anakmu?! Tak usah! Jangan!! Bapak saja nanti yang menengok Umbu! Mendoakan supaya kuda Sumba itu kembali berlari di Bali"

Jakarta, 27 Oktober 2014


(sumber: Tabloid Tokoh, 2014)

No comments:

Post a Comment